Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita meminta PLN memberikan tarif listrik yang kompetitif untuk sektor industri. Menyusul himbauan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang bakal mengurangi jumlah pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara di tingkat industri.
"PLN juga harus siap dengan memberikan harga (tarif listrik untuk sektor industri) yang kompetitif," ujar Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Advertisement
Menperin menyampaikan, saat ini beberapa industri atau perusahaan memang memiliki PLTU batu bara mandiri. Penggunaan PLTU batu bara skala kecil di level industri ini berguna untuk menekan ongkos produksi.
"Jadi ketika industri membangun pembangkit di masing masing industrinya, itu dengan hitungan bahwa sustainability dari supply listriknya dan dari cost listriknya ya," imbuhnya.
Beli Listrik dari PLN
Dia pun bakal mendukung kebijakan jika pemerintah mewajibkan sektor industri untuk membeli listrik langsung dari PLN. Dengan syarat, tarif listrik dari PLN juga harus kompetitif.
"Jangan sampai nanti dia beli listrik dari PLN, nah itu nanti daya saingnya kalau harga PLN tidak kompetitif, nanti produk dari industrinya daya saingnya akan berkurang, itu catatannya," tegas Menperin.
Lebih lanjut, ia juga meminta kesadaran PLN untuk mau bersama-sama mengurangi ketergantungan suplai listrik dari PLTU batu bara. Sehingga BUMN dan sektor industri bisa kompak menekan angka pembuangan emisi.
"Kedua, sumber listrik PLN itu dari mana? Itu juga harus kalian tanya. Jangan terus semata-mata mendorong industri untuk membeli listrik dari PLN. Tapi listrik PLN nya dari mana? dari fosil juga. Nah itu juga harus kalian tanya ke PLN. Jadi harus berdua ya," pintanya.
Permintaan Menko Luhut
Untuk diketahui, Menko Luhut melalui akun Instagram pribadinya sempat menuliskan, pemerintah akan mewajibkan industri menggunakan scrubber. Luhut juga mengatakan PLTU batu bara akan dikurangi.
Tak hanya itu, Luhut menuturkan regulasi pembagian kerja juga akan disampaikan ke seluruh perusahaan. Hal itu dilakukan agar bisa mengurangi macet yang menyebabkan polusi di jalan.
"Sebagai upaya pengendalian emisi, kami akan mewajibkan industri untuk menggunakan 'scrubber' dan mengurangi jumlah PLTU batu bara. Perluasan dan pengetatan uji emisi kendaraan untuk beroperasi di jalan akan segera diterapkan dalam waktu dekat," paparnya.
Tak Segera Pensiunkan PLTU Batu Bara, 180 Ribu Warga Indonesia Dalam Bahaya
Sebelumnya, pembatalan proyek-proyek PLTU batubara baru dan penghentian PLTU batu bara di Indonesia pada tahun 2040 dapat mencegah 180.000 kematian akibat polusi udara dan menekan biaya kesehatan sebesar USD 100 miliar atau Rp 1.500 triliun dalam beberapa dekade ke depan.
Hal ini berdasarkan penelitian terbaru dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia.
Penghentian penggunaan PLTU batubara pada tahun 2040 diperlukan untuk memenuhi target Persetujuan Paris, berdasarkan Badan Energi Internasional (IEA). Indonesia saat ini menargetkan penghentian penggunaan PLTU batu bara pada tahun 2050, dengan beberapa pengecualian.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menekankan bahwa pemerintah harus mendesak perusahaan listrik untuk mengevaluasi kembali rencana mereka untuk membangun pembangkit listrik baru dan segera mengambil tindakan untuk beralih ke pembangkit energi terbarukan. Peralihan ini akan menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan kesehatan yang signifikan.
"Pada pertemuan puncak G20 tahun lalu, Indonesia menandatangani pernyataan bersama Just Energy Transition Partnership (JETP), yang berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 dengan nilai absolut 290 juta ton CO2e. Untuk mencapai target ini, Indonesia harus menghentikan sekitar 9 GW pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dalam satu dekade ini. Namun demikian, diperlukan kepastian strategi mitigasi untuk mengurangi dampak negatifnya untuk PLTU batubara yang belum mencapai waktu penonaktifannya. Penerapan strategi ini harus menjadi bagian integral dari solusi untuk transisi energi yang berkeadilan," ujar Fabby.
Penelitian CREA dan IESR mengembangkan jalur pengakhiran operasional PLTU batubara berbasis kesehatan yang pertama di Indonesia, berdasarkan pemodelan atmosfer yang terperinci dan penilaian dampak kesehatan per pembangkit listrik (health impact assessments, HIA).
Jalur ini memaksimalkan manfaat kesehatan dari peralihan PLTU batubara ke energi bersih dengan mengakhiri operasional PLTU batubara yang paling berpolusi terlebih dahulu.
Advertisement
Emisi Polutan
Emisi polutan udara dari PLTU batubara bertanggung jawab atas 10.500 kematian di Indonesia pada tahun 2022 dan biaya kesehatan sebesar USD 7,4 miliar, menurut hasil penelitian tersebut.
Dampak kesehatan ini akan terus meningkat dengan beroperasinya PLTU batu bara yang baru. Pembangkitan energi dari PLTU batu bara akan meningkat selama satu dekade ke depan, kecuali jika pertumbuhan pembangkit listrik energi bersih dipercepat untuk memenuhi pertumbuhan permintaan.
Penghentian PLTU batubara membutuhkan investasi awal. Biaya kesehatan yang dihindari dari penghentian PLTU batubara yang lebih cepat pada tahun 2040, akan mencapai USD 130 miliar (Rp 1.930 triliun), sementara investasi sebesar USD 32 miliar (Rp 450 triliun) diperlukan untuk merealisasikan penghentian pengoperasian PLTU batubara, sehingga investasi ini akan sangat menguntungkan bagi seluruh masyarakat.
"Penelitian ini memberikan daftar PLTU batubara yang diurutkan berdasarkan dampaknya terhadap biaya kesehatan per unit pembangkit, yang sebenarnya dapat berfungsi sebagai metrik tambahan untuk dipertimbangkan dalam membuat prioritas penghentian pembangkit listrik. Hal ini merupakan masukan yang sangat penting karena sekretariat JETP saat ini sedang menyusun Comprehensive Investment Plan and Policy (CIPP), di mana pemensiunan pembangkit listrik tenaga batubara merupakan salah satu bidang investasi yang termasuk dalam dokumen tersebut," ujar Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR, yang juga merupakan salah satu kontributor dalam laporan ini.
Dampak Kesehatan
Besarnya dampak kesehatan masyarakat terjadi karena seluruh PLTU batubara tidak memiliki alat pengendali emisi polusi udara yang efisien untuk polutan seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan merkuri, mengingat standar emisi nasional yang lemah.
Standar yang lebih kuat membutuhkan investasi dalam pengendalian polusi udara, dapat mencegah hingga 8.300 kematian akibat polusi udara per tahun pada tahun 2035, dengan biaya kesehatan yang dapat dihindari jauh melebihi biaya yang terkait dengan teknologi tersebut.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa mengurangi emisi dari PLTU batubara tidak hanya baik untuk kesehatan dan kesejahteraan, tetapi juga dapat menguntungkan masyarakat Indonesia secara ekonomi," ungkap Lauri Myllyvirta, salah satu penulis laporan tersebut dan Analis Utama CREA.
"Biaya kesehatan yang dihindari dapat lebih dari sekadar mengkompensasi investasi yang diperlukan untuk menutup pembangkit listrik tenaga batu bara dan membangun pembangkit listrik bersih sebagai penggantinya," lanjut dia.
Advertisement