Liputan6.com, Jakarta - Indonesia merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia. Namun, nyatanya Indonesia justru tidak menikmati keuntungan seutuhnya dari kegiatan ekspor sawit tersebut. Melainkan, menguntungkan Malaysia dan Belanda.
Hal itu disampaikan akademisi dan Ketua LPEM UI dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha dalam workshop GAPKI 'HGU Perkebunan sawit dan kawasan hutan', di Bandung, Rabu (23/8/2023).
Advertisement
Eugenia mengatakan, sejak Tahun 2017 ekspor sawit Indonesia ke Malaysia selalu lebih besar daripada ekspor sawit Malaysia ke Belanda. Kemudian, mulai Tahun 2020 perbedaan tersebut semakin membesar, dimana seluruh produk yang diekspor Malaysia ke Belanda adalah berasal dari Indonesia.
Alhasil, Malaysia dan Belanda mendapatkan keuntungan besar dengan memperdagangkan produk sawit yang berasal dari Indonesia.
"Semua minyak sawit yang diekspor Malaysia ke Belanda adalah sawit dari Indonesia. Ini kita berbagi rezeki kepada Malaysia dan Belanda. Jadi, Belanda itu menikmati perdagangan sawit Indonesia, mereka juga yang menghambat kemajuan industri sawit di Indonesia ini," kata Eugenia.
Lebih lanjut, ia menjelaskan dalam perdagangan minyak nabati, tidak semua exportir merupakan produsen minyak nabati. Terdapat negara pengekspor yang tidak memproduksi, yakni negara-negara yang menjadi perantara perdagangan.
Negara pedagang perantara tidak hanya melakukan ekspor minyak sawit (palm oil) saja, melainkan mereka juga melakukan ekspor coconut oil, cottenseed oil, olive oil dan lainya. Namun, minyak Sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak terdapat pedagang perantaranya.
62 Negara Ekspor Sawit Tapi Tak Produksi
Terdapat 62 negara yang melakukan ekspor tetapi tidak memproduksi, atau negara pedagang perantara. Kemudian terdapat 5 negara memproduksi minyak sawit namun tidak mengekspor, dan ada 43 negara merupakan produsen sekaligus eksportir minyak sawit.
Biasanya, negara pedagang perantara melakukan ekspor dengan terlebih dahulu mengimpor minyak sawit dari negara produsen, lalu kemudian mengekspornya. Belanda merupakan salah satu negara pedagang perantara yang paling banyak melakukan perdagangan minyak kelapa sawit.
"Jadi, Belanda itu negara enggak punya sawit tetapi dia itu berdagang sawit. Belanda itu enggak cuma sendiri, ada 61 negara lainnya yang melakukan itu. Jadi, dia itu impor dari Indonesia kemudian dijual lagi ke negara lain," pungkasnya.
Adapun rata-rata impor minyak sawit Malaysia dari Indonesia setiap Tahunnya dari Tahun 2010 – 2022 adalah sebesar 934,067 tons. Pada Tahun 2021 adalah sebesar 1,015,239 ton, sementara impor Belanda dari Malaysia hanya sebesar 638,219 tons. Artinya seluruh minyak sawit yang dijual oleh Malaysia keBelanda berasal dari Indonesia.
Advertisement
Industri Sawit Indonesia Sedang Tak Baik-Baik Saja, Ini Penyebabnya
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengungkapkan, saat ini kondisi industri kelapa sawit di dalam negeri sedang kurang bagus. Hal itu dipengaruhi oleh menurunnya harga minyak nabati secara global.
Ia pun menilai perkembangan ekspor kelapa sawit dikuartal II-2023 memang mengalami kenaikan, namun jika dibandingkan dengan tahun 2022 pada periode yang sama, maka ecara nilai angkanya justru mengalami penurunan.
“Sekarang kondisinya memang kurang bagus, contoh ekspor kita dibandingkan tahun 2022 pada periode yang sama itu naik, tetapi secara angka, nilai itu turun karena harga minyak nabati dunia itu turun,” kata Eddy dalam workshop GAPKI 'HGU Perkebunan sawit dan kawasan hutan', di Bandung, Rabu (23/8/2023).
Lebih lanjut, Eddy menyebut kelapa sawit bukanlah satu-satunya minyak nabati di dunia. Walaupun kelapa sawit memiliki pangsa pasar terbesar di dunia sebanyak 33 persen, namun sisanya masih diisi oleh minyak nabati lainnya.
“Jadi, sawit ini tidak bisa berdiri sendiri. Apabila terjadi sesuatu dengan minyak nabati lain, sudah pasti nantinya juga akan berpengaruh terhadap harga minyak sawit,” katanya.
Harga Minyak Nabati
Menurutnya, jika terjadi sesuatu dengan minyak nabati lain maka hal itu akan memengaruhi harga minyak nabati dari sawit. Misalnya, ketika awal terjadinya perang Rusia-Ukraina, beberapa negara khawatir minyak nabati biji bunga matahari dari kedua negara tersebut tidak bisa di ekspor.
Alhasil, dengan dihentikannya ekspor minyak nabati yang berasal dari biji bunga matahari tersebut, membuat harga minyak nabati naik tajam, bahkan mendorong terjadinya penghentian ekspor sawit dari Indonesia.
“Harga minyak nabati naik tajam, dan terjadi tragedi ekspor Indonesia di stop. Apa yang terjadi? (Padahal) waktu itu produksi sedang bagus, akhirnya stok penuh, TBS petani juga tidak tertampung, dan akhirnya busuk dipohon. Karena kita tidak bisa minta ke pohon agar buahnya jangan dimatengin dulu, kan tidak bisa. Sehingga akhirnya harganya jatuh,” ujarnya.
Advertisement