Sawit dalam Pusaran Deforestasi dan Perubahan Iklim

Industri kelapa sawit di Indonesia menghadapi tekanan pasar Uni Eropa setelah benua biru itu mengeluarkan UU tentang Deforestasi (EU-DR). Peraturan ini mestinya membawa peluang untuk membenahi tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 28 Agu 2023, 12:03 WIB
Kondisi deforasti hutan di Kabupaten Tanjungjabung Barat, Jambi yang akan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Bila datang ke Provinsi Jambi menggunakan jalur udara, dari atas kita akan melihat hamparan tanaman kelapa sawit amat luas. Begitu pula menggunakan jalur darat, kanan-kiri kita masih akan disuguhkan tanaman kelapa sawit hampir di sepanjang jalan lintas Sumatra.

“Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”–sebutan untuk Provinsi Jambi memang terkenal dengan lahan kelapa sawit yang jembar. Dari 5 juta hektare total luasan daratan Jambi, sekarang telah didominasi sektor perkebunan kelapa sawit.

"Sawit telah menjadi roda penggerak perekonomian Provinsi Jambi," kata Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Agusrizal dalam Pertemuan Multipihak Menuju Sawit Berkelanjutan yang Dapat Bersaing di Pasar Global yang diselenggarakan kerjasama Kaoem Telapak dan Yayasan Setara di Jambi Rabu (23/8/2023).

Dinas Perkebunan setempat mencatat luas lahan perkebunan sawit di Provinsi Jambi mencapai 1,1 juta hektare. Provinsi Jambi yang dulu terkenal dengan hutannya, kini bentang alamnya perlahan berubah menjadi perkebunan.

Kawasan lahan basah atau gambut juga tak luput dari ekspansi komoditas ini. Penyusutan lahan gambut berdampak pada kehilangan sumber daya alam, satwa, dan memicu pemanasan global.

Perkebunan kelapa sawit ini jugas masih menjadi komoditi unggulan bagi Provinsi Jambi. Keberadanya pun tersebar hampir di seluruh kabupaten di Jambi.

Dalam peta sebaran perkebunan kelapa sawit yang dirilis dinas tersebut, dari 11 kabupaten/kota, hanya tiga daerah yang tidak terdapat perkebunan sawit, yakni Kota Jambi, Kota Sungaipenuh, dan Kabupaten Kerinci.

Adapun total jumlah perkebunan kelapa sawit mencapai 186 perusahaan. Sederet nama grup perusahaan kelas kakap telah mendominasi sektor perkebunan sawit, seperti Asian Agri, Sinar Mas, Astra. Sedangkan dari 186 perusahaan ini, belum semuanya terverifikasi. Saat ini baru 107 perusahaan telah terverifikasi.

Tanaman dengan nama ilmiah elaesis ini adalah penghasil minyak nabati sawit. Banyak turuan produk yang dihasilkan dari kelapa sawit ini: kosmetik hingga makanan, sehingga komoditas inipun menjadi primadona dan digandrungi pasar global.

Namun belakangan, pangsa pasar industri kelapa sawit mengalami tekanan. Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation) mulai diimplementasikan 6 Desember 2022.

Peraturan Uni Eropa (EU) terkait produk bebas deforestasi dan degradasi hutan, dikenal sebagai European Union Deforestation Regulation (EU-DR). Aturan ini telah memberikan dampak signifikan bagi petani kelapa sawit, tak terkecuali di Provinsi Jambi.

Dalam peraturan ini, Uni Eropa sebagai kosumen mewajibkan operator dan pedagang harus memastikan produk yang diekspor ke Eropa tersebut bebas deforetasi. Sebab, sebelumnya konsumsi Uni Eropa di rentang waktu 1990-2008 menyumbang 10 persen dari deforestasi global dan juga menjadi penyebab hilangnya 16 persen hutan tropis yang memparah perubahan iklim.

Syahdan, komoditas sawit Indonesia dikucilkan dan menjadi bulan-bulanan kampanye negatif Uni Eropa lewat undang-undang tentang deforestasi (EU-DR).

Sebagai informasi, EUDR adalah kebijakan negara Uni Eropa yang mewajibkan perusahaan yang memperdagangkan minyak kelapa sawit, ternak, kayu, kopi, kakao, karet dan kedelai, perlu verifikasi kalau barang yang dijual di Uni Eropa tidak menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan.

 


Bagaimana Nasib Petani Sawit di Jambi

Seorang pekerja sedang duduk di atas kapal yang bersandar hendak memuat kelapa sawit di Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Nasib petani kelapa sawit di Jambi tidaklah mudah. Kepala Dinas Perkebunan Agusrizal mengatakan, masalah kepemilikan lahan dan kemitraan antara petani dan perusahaan sering menjadi kendala.

"Banyak petani yang masih mengalami konflik lahan dan keterbatasan transparansi dalam biaya produksi dan pendapatan akhir,“ ujar Agus.

Ihwal peraturan EU-DR yang semakin tegas terkait keberlanjutan, pihak terkait, seperti pemerintah dan perusahaan, perlu mendukung petani dalam memenuhi persyaratan ini. Agus bilang, kemauan pasar memang perlu diperhatikan.

"Mau enggak mau, mengikuti kemauan pasar. Kalau soal ketelusuran produk sawit ini sebenarnya kita sudah ada ISPO dan RSPO. Sama dengan yang tercantum di EU-DR, ini juga persyaratannya tidak melanggar aturan, tidak deforestasi, tidak merusak hutan dan lainnya," kata Agus.

Agusrizal, menjelaskan bahwa di Provinsi Jambi sudah terbentuk gugus tugas dalam menjaga kelapa sawit yang dihasilkan sesuai dengan aturan. "Kita harus membuktikan bahwa setiap proses produksi kelapa sawit diikuti dengan mematuhi aturan yang berlaku," ujarnya dengan keyakinan.

Dia menekankan pentingnya pelacakan terhadap transmigrasi dan pemanfaatan lahan setelah pemetaan. Dalam hal ini, satu peta yang mencakup semua aspek perlu disepakati sebagai panduan di bawah batas yang telah ditetapkan.

Namun, dalam konteks kawasan hutan, Agusrizal menyampaikan pandangannya yang tegas. Hal ini menggambarkan komitmen untuk menjaga ekosistem hutan yang sangat penting bagi keberlanjutan alam.

"Sebaiknya kita hindari produksi kelapa sawit di dalam kawasan hutan karena dampak merusak yang mungkin timbul," tegasnya.

Kendala lain yang dihadapi petani sebut Agusrizal, adalah konflik lahan dan kepemilikan. "Masalah utama seringkali berakar pada masalah kemitraan yang belum sepenuhnya terjalin dengan baik," kata dia.

Dia mengamati bahwa kemitraan yang kuat dapat mengatasi masalah ini, tetapi diperlukan komitmen bersama dan transparansi dalam biaya produksi serta pendapatan akhir yang diperoleh pemilik plasma.

"Penting bagi kita mengikuti pedoman daerah untuk memastikan bahwa kemitraan mengikuti aturan yang berlaku," ucap Agus.

 


Membawa Peluang

Mardi Minangsari (kanan) dan Kadis Perkebunan Provinsi Jambi Agusrizal (kiri) saat memberikan tanggapan terkait peraturan Uni Eropa tentang Deforestasi kepada para pihak di Jambi, Rabu (23/8/2023). (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Industri sawit saat ini tidak hanya menghadapi perubahan peraturan. Namun, industri ini juga menghadapi perubahan budaya dan pola pikir pasar konsumen.

Saat ini konsumen di pasar global semakin sadar akan dampak negatif yang ditimbulkan dari praktik produksi komoditi sawit yang tidak berkelanjutan, termasuk kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Mardi Minangsari, Presiden Kaoem Telapak, menyatakan meski EU-DR membawa dampak pada petani sawit swadaya, namun sebenarnya memberikan peluang bagi perubahan yang lebih baik dan berkelanjutan dalam industri sawit di Indonesia, termasuk di Provinsi Jambi.

"EU-DR memang akan berdampak pada petani sawit swadaya. Namun, kita tidak perlu terlalu khawatir. Sebaliknya, kita harus melihat momentum ini sebagai langkah pembenahan komoditi sawit yang lebih berkelanjutan di Indonesia," ujar Minang.

EU-DR menurut dia, mendorong untuk mengambil langkah positif menuju praktik pertanian yang lebih ramah lingkungan. Dunia saat inisemakin sadar akan keberlanjutan, dan langkah ini menjadi semakin penting.

"Perauran Uni Eropa ini sebagai panggilan untuk memperbaiki kualitas produk dan meningkatkan praktik pertanian secara keseluruhan," kata Minang.

Mardi Minangsari juga menyoroti isu kepemilikan lahan yang menjadi masalah tahunan. Dalam pandangannya, memiliki jaminan kepemilikan lahan yang jelas adalah fondasi yang diperlukan dalam membangun industri kelapa sawit yang stabil dan berkelanjutan di Jambi.

"Kepastian kepemilikan lahan adalah kunci untuk membangun dasar yang kuat bagi pertumbuhan industri kita," ujarnya.

Sementara itu, upaya untuk menciptakan industri kelapa sawit yang berkelanjutan di Provinsi Jambi, Direktur Yayasan Setara, Nurbaya Zulhakim, memberikan pandangan berharga tentang peran penting pemerintah dan perusahaan dalam mendorong praktik yang lebih baik.

"Harus ada pelayanan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) kelapa sawit rakyat gratis bagi petani swadaya," kata Nurbaya Zulhakim.

Dia menegaskan bahwa lebih dari 2.000 petani sawit swadaya telah menerima sertifikat RSPO di Jambi. Ini adalah langkah penting untuk memberikan jaminan kepemilikan lahan yang lebih jelas.

Selain itu, Nurbaya Zulhakim juga menyoroti adanya petani swadaya yang telah memperoleh sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Ini menunjukkan komitmen mereka terhadap praktik pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

"Langkah ini menunjukkan kemajuan signifikan dalam menciptakan industri kelapa sawit yang lebih baik. Kami melihat peran mereka sebagai pemimpin dalam membentuk arah industri kelapa sawit," katanya.

Nurbaya berharap bahwa kolaborasi yang solid antara pemerintah, perusahaan, dan petani dapat menciptakan perubahan yang signifikan dalam industri kelapa sawit. Dengan langkah-langkah yang konkret dan komitmen nyata, Provinsi Jambi dapat memimpin perjalanan menuju praktik pertanian yang lebih baik.

"Dan pada akhirnya bisa berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan dan perekonomian regional," demikian Nurbaya menyampaikan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya