Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa lima negara anggota ASEAN yang berhasil menurunkan tingkat eksklusi inklusi keuangan di bawah 30 persen. Indonesia pun masuk dalam daftar lima negara tersebut.
"Ada lima negara anggota ASEAN yang berhasil menurunkan tingkat eksklusi inklusi keuangan di bawah 30 persen, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia Singapura, dan Thailand," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, dalam acara ASEAN Fest 2023: OJK Seminar on Financial Inclusion yang disiarkan secara daring pada Kamis (24/8/2023).
Advertisement
Namun, Mahendra menambahkan, masih ada lima negara anggota ASEAN yang tingkat eksklusi keuangannya lebih tinggi dari 30 persen.
"Karena meskipun kita mungkin sudah mencapai target, kita masih mempunyai risiko besar untuk gagal mencapai target tersebut di masing-masing negara ASEAN karena kesenjangan inklusi keuangan antar anggota," ujarnya.
Mahendra mengutip data dari UN Capital Development Fund (UNCDF), yang mencatat bahwa tingkat eksklusi keuangan di Indonesia berada di angka 14,9 persen pada tahun 2022.
Angka itu masih lebih besar dibandingkan Singapura dan Malaysia yang memiliki tingkat eksklusi keuangan masing masing hanya 2 dan 4 persen.
Adapun Thailand yang tercatat memiliki tingkat eksklusi keuangan di angka 5,6 persen, sedangkan Filipina dan Laos masih cukup tinggi yaitu di 44 persen dan 42 persen.
Ekonom UI: Capai Indonesia Emas, Inklusi Keuangan Jangan Cuma Sekedar Punya Rekening
Ekonom sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Teguh Dartanto mengatakan, pemerintah memiliki visi besar di ulang tahun Indonesia ke-100 yaitu mewujudkan Indonesia Emas 2045. Dalam visi ini, Indonesia diharapkan bisa menjadi negara maju dan sejajar dengan negara adidaya.
Menurut Teguh, mencapai visi ini tidak mudah. Pemerintah harus mendorong kualitas inklusi dan literasi keuangan, mengingat sektor keuangan sebagai pendukung utama perekonomian. Sektor keuangan adalah supporting dari sektor riil. Saat ini, peningkatan inklusi dan literasi keuangan memang tengah dipacu oleh pemerintah.
Terlebih untuk inklusi keuangan, pemerintah menargetkan mencapai 90 persen pada 2024. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen. Adapun indeks inklusi keuangan mencapai 85,10 persen.
Teguh menyebut, indeks literasi dan inklusi memang semakin membaik. SNLIK adalah survei 3 tahunan di mana pada 2019, indeks literasi keuangan hanya 38,03 persen, sedangkan indeks inklusi sebesar 76,19 persen.
“Inklusi yang sifatnya benar-benar memanfaatkan layanan untuk kepentingan produktif itu belum banyak. Artinya memang untuk ke depannya sektor keuangan yang perlu didorong adalah financial inclusion yang lebih berkualitas. Bagaimana mendorong masyarakat ini bisa memanfaatkan layanan dan jasa keuangan formal itu untuk kegiatan produktif,” ujar Teguh Dartanto dalam keterangan tertulis, Selasa (27/6/2023).
Inklusi menjadi indikator kemajuan dan kesejahteraan ekonomi karena masyarakat dinilai sudah mampu mengakses produk dan jasa layanan keuangan formal sesuai kebutuhan. Namun, lanjut Teguh, mayoritas inklusi hanya kepemilikan dan akses, sehingga kualitasnya perlu ditingkatkan agar masyarakat benar-benar sejahtera dan ekonomi menjadi maju.
Advertisement
Pemahaman Minim
Belum lama ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan tantangan terbesar untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 adalah sektor keuangan Tanah Air yang belum mampu berkembang secara cepat dan dinilai masih sangat dangkal.
Hal tersebut disampaikan Menkeu Sri Mulyani saat sosialisasi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) bagi pelaku usaha, baru-baru ini.
Oleh karena itu, Teguh menegaskan saat ini inklusi keuangan lebih banyak berupa tabungan. Sedangkan untuk keperluan yang lebih produktif seperti investasi masih kalah jumlahnya.
Teguh mencontohkan, sudah sering kali pemerintah mengeluarkan surat berharga negara (SBN) seperti sukuk. Namun minimnya pemahaman mengenai SBN juga sukuk membuat instrumen investasi tersebut hanya dimanfaatkan sebagian kecil masyarakat.
“Padahal instrumen investasi tersebut sudah dibuat yang kecil-kecil nilainya agar lebih banyak masyarakat memanfaatkan. Kalau informasi seperti ini bisa tersebar ke seluruh masyarakat, dan seluruh masyarakat Indonesia bisa memiliki itu, artinya apa? Imbal hasilnya itu bisa dirasakan seluruh masyarakat,” lanjut Teguh.
Dia pun mengambil contoh lain, yaitu sektor saham yang peningkatan investornya baru terjadi beberapa tahun ke belakang. Oleh karena itu, menurutnya terkait inklusi yang lebih produktif seperti investasi perlu terus ditingkatkan ke depan, utamanya melalui literasi yang berkualitas pula.