Liputan6.com, Jakarta - Al-Qur’an menjadi sumber ajaran bagi umat Islam yang mengandung hikmah dan pelajaran pada setiap ayatnya. Salah satu surah yang memuat makna mendalam adalah surah At-Tin, yang membawa pesan penting tentang manusia dan keberadaannya di dunia.
Ayat 4-6 dari surah At-Tin ini membicarakan tentang dua dimensi manusia. Pertama, kesempurnaannya yang luar biasa dan kedua, titik terendah yang mungkin dapat dicapai.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (6)
Artinya: "(4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (5) Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putusnya."
Baca Juga
Advertisement
Saksikan Video Pilihan Ini:
Ragam Tafsir Surah At-Tin Ayat 4-6
Setelah Allah bersumpah dengan empat (4) hal, yaitu, at-Tiin, az-Zaitun, Thuurisiiniin dan al-Baladil amiin, sebagaimana ayat 1-3, ayat 4 merupakan jawab sumpah-Nya, bahwa sesungguhnya Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baik dan seindah-indahnya bentuk.
Tegak lurus perawakannya, serasi anggota tubuhnya, indah struktur tubuhnya, makan dengan tangan, dan dapat membedakan (baik dan buruknya segala sesuatu) dengan ilmu, pikiran, dan ucapannya. Singkatnya, Allah menciptakan manusia dengan bentuk terbaik sebagaimana dikatakan mayoritas mufasir.
Berkaitan ayat 5 “asfala safiilin”, ada dua alternatif penafsiran. Pertama, dikembalikan pada umur paling lemah, yakni pikun dan lemahnya akal setelah masa muda dengan pikiran yang kuat. Maka, dengan keadaan itu amal kebaikannya tidak lagi dicatat. Kedua, dikembalikan pada tempat yang paling rendah, yakni neraka.
Dengan demikian maka ayat 6: “Illalladziina ‘aamanuu wa ‘amilusshaalihaati falahum ajrun ghairumamnuun”, jika mengikuti pendapat pertama, maka istisna’nya munqati’ (istisna’ yang mustasna’nya berlainan jenis dengan mustasna minhu).
Sehingga maknanya adalah kemudian Kami kembalikan pada keadaan yang serendah-rendahnya setelah bagusnya wajah, yakni dibalikkan keadaannya dengan bengkoknya punggung (bungkuk), lemah penglihatan dan pendengarannya. Akan tetapi orang-orang pikun yang saleh, baginya pahala terus-menerus yang tidak ada putusnya. Pendapat ini yang diamini Jalaluddin al-Mahalli sebagaimana dalam tafsirnya, Tafsir Jalalain. Syekh Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya berkata bahwa pendapat ini adalah pendapat yang rajih atau kuat menurutnya.
Adapun jika mengikuti pendapat kedua, maka istisna’nya muttashil, (istisna’ yang mustasnanya sejenis dengan mustasna minhu), dari dhamir pada ayat “radadnahu”.
Sehingga maknanya adalah kemudian kami kembalikan pada keadaan yang serendah-rendahnya yakni lebih jelek dari yang jelek, dan lebih rendah dari yang paling rendahnya tingkatan ahli neraka, kecuali orang-orang saleh tidak kami kembalikan ke tempat paling rendahnya orang-orang rendah (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Surabaya, al-Hidayah], juz II, halaman 455).
Advertisement