Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berencana melakukan lelang frekuensi 700 MHz yang sebelumnya dipakai TV analog.
Ada deviden pita frekuensi selebar 90 MHz yang siap untuk dilelang ke operator seluler, guna menggelar layanan seluler, utamanya 5G.
Advertisement
Namun, Indosat Ooredoo Hutchison menilai kalau pita frekuensi tersebut tidak cocok untuk 5G di Indonesia, pasalnya frekuensi rendah memiliki daya coverage yang luas. Sementara, sifat 5G di Indonesia yang berdasarkan use case membuatnya tak memerlukan coverage yang luas.
Diungkapkan oleh Director & Chief Business Officer IOH Muhammad Buldansyah, ketersediaan spektrum frekuensi yang dimiliki perusahaan jadi alasan Indosat belum menggulirkan 5G secara komersil.
Pemerintah sendiri sebelumnya telah membebaskan spektrum frekuensi 700 MHz seiring dengan dilaksanakannya Analog Switch Off (ASO). Dengan begitu, ada deviden frekuensi 700 MHz selebar 90 MHz yang diharapkan bisa dipakai operator seluler untuk mendukung implementasi 5G.
Kendati demikian, menurut Buldansyah yang akrab disapa Danny, pita selebar 90 MHz ini pas-pasan kalau dipakai untuk gelar 5G.
"Spektrum frekuensi 700 MHz hanya selebar 90 MHz, untuk 5G itu pas-pasan dan ekosistemnya belum kuat di 700 MHz untuk 5G," kata Danny, ditemui di Kantor Indosat Ooredoo Hutchison, Jakarta, Jumat (25/8/2023).
5G Tanpa Frekuensi yang Memadahi Seperti 4G
Danny beralasan, dengan dilakukannya lelang frekuensi tersebut, saat satu operator seluler mendapatkan pita frekuensi "hanya" selebar 10 MHz atau 20 MHz, tidak terlalu berdampak bagi penggelaran jaringan 5G. Dia menyebut penggelaran 5G tanpa spektrum frekuensi yang memadahi sebagai 5G rasa 4G.
"Kalau 700 MHz dapat 10 atau 20 MHz itu buat apa? Kami tertarik, tetapi kalau coverage untuk apa, itu tidak untuk 5G," tutur Danny.
Apalagi kalau operator mendapatkan hak pakai atas seluruh spektrum 700 MHz dengan 9 blok (90 MHz), jumlah biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yang harus dibayarkan sangatlah tinggi. Tentunya investasi tersebut dirasa sangat memberatkan bagi operator.
Advertisement
Biaya BHP Frekuensi yang Terlampau Tinggi Bebani Operator
Sekadar informasi, dalam lelang lalu, BHP Frekuensi per tahun untuk pita selebar 2,5 MHz hampir Rp 600 miliar. Kalau 9 blok yang didapatkan dari lelang, artinya BHP Frekuensi atau regulator cost-nya sebesar Rp 6 triliun.
Pembayaran yang harus dilakukan di tahun pertama adalah 3x lipat dari BHP Frekuensi (dengan hitungan 2 kali upfront free alias biaya izin awal dan 1x annual fee).
Jika dihitung, operator seluler pemenang alokasi pita frekuensi 90 MHz adalah Rp 18 triliun di tahun pertama. Ia pun menilai jumlah tersebut sangat memberatkan operator.
Pilih Frekuensi 2.6 GHz dan 3.5 GHz Buat Gelar 5G
Untuk itulah, alih-alih memperebutkan 9 blok frekuensi 700 MHz yang ekosistemnya belum mature untuk menggelar 5G, Danny menilai 5G akan lebih efektif digelar di spektrum frekuensi 2.6 GHz (2600 MHz) dan 3.5 GHz (3500 MHz).
Apalagi, menurut Danny, alokasi lebar pita untuk frekuensi 2.6 GHz --yang kini dipakai untuk satelit-- kurang lebih 200 MHz.
"Yang paling matang (untuk menggelar 5G) adalah 2.6 GHz MHz dan 3.5 GHz. Untuk 2.6 GHz ada alokasi 200 MHz, jika masing-masing operator mendapatkan 50 MHz, bisa dipakai untuk investasi jaringan," ia menuturkan.
Tentunya dengan harapan pemerintah merumuskan hitungan BHP Frekuensi yang lebih ramah buat operator. Pasalnya, tanpa spektrum frekuensi, operator tak bisa membangun infrastruktur yang lebih mumpuni.
"Pemerintah harus melihat lebih holistik, kalau dulu operator punya pita 5 MHz, bisa menghasilkan banyak karena layanan voice, sekarang hanya menghasilkan kecil," katanya.
Advertisement