Liputan6.com, Jakarta - Seorang peserta Multaqa Ulama di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Abdullah Romli dari Pesantren Bangkalan, Madura bertanya kepada Habib Umar bin Hafidz tentang ulama yang kerap mendatangi pemerintah atau pejabat, dalam tanda kutip, ulama dekat dengan pemerintah.
Inti pertanyaannya adalah apakah ulama yang demikian itu lantas dikategorikan sebagai ulama su'?
Habib Umar bin Hafidz menjawab bahwa ulama yang mendatangi pejabat dalam rangka menasihati tidak bisa dikatakan sudah merendahkan ilmu. Ia juga tidak tergolong sebagai ulama su'. Peran yang sangat penting dari seorang ulama di antaranya adalah menyampaikan nasihat-nasihat, tidak terkecuali terhadap pemerintah.
Baca Juga
Advertisement
"Bukan berarti orang yang menyampaikan nasihat kepada pemimpin bahwasanya dia telah merendahkan ilmu, tidak seperti itu. Ataupun orang yang datang kepada pejabat untuk menasihati dia, owh ini adalah ulama su'. Tidak!" katanya dalam bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Habib Jindan, dikutip dari laman NU Online, Sabtu (26/8/2023).
Dalam pandangan Habib Umar, hubungan ulama dengan pejabat atau pemerintah bisa jadi mengemban misi mulia. Seperti memastikan masyarakatnya atau rakyatnya dapat merasakan nilai manfaat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Hal lain misalnya, ulama bisa jadi menjembatani keamanan negara sekaligus rakyat di bawah pemerintahannya agar mereka betul-betul merasakan ketenangan. Atau hal lain untuk kemaslahatan negeri dan rakyatnya.
"Tidak berarti setiap orang yang punya kerja sama dengan pemimpin tertentu, dengan pejabat tertentu untuk memberikan nasihat memberikan manfaat kepada masyarakat ataupun juga memberikan keamanan buat negeri ataupun mencegah kezaliman di tengah-tengah masyarakat. Maka, itu bukan berarti menjadi ulama su', dia datang terkadang untuk memberikan nasihat atau untuk menolong orang yang kesusahan," jelasnya.
Simak Video Pilihan Ini:
Ciri-ciri Ulama Su'
Habib Umar melanjutkan, selama kedatangan ulama kepada seorang pejabat tidak ikrar akan kemaksiatan. Pun demikian tidak ikrar terhadap hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum Allah swt dan tidak mendukung kepada hukum-hukum tersebut maka ulama itu tidak tergolong sebagai ulama su'.
Sebaliknya, jelas Habib Umar bin Hafidz, ulama yang bekerja sama dengan dengan pejabat, justru mendukung akan terjadinya kemaksiatan dan kejahatan di antara keduanya atau di tengah-tengah masyarakat, ia sudah masuk dalam ketentuan ulama su'. Baik dia mendatangi pejabat secara langsung, ataupun tidak.
"Barangsiapa yang datang untuk menyetujui atau mendukung membela kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat tersebut walaupun tidak datang tapi dia mendukung, membela, membenarkan kejahatan yang dilakukan oleh pejabat tersebut maka dia baru ulama su', tidak harus datang untuk menjadi ulama su'," terang Habib Umar bin Hafidz.
Habib asal Tarim, Yaman ini menegaskan bahwa agama Islam telah melarang pengikutnya bekerja sama dalam kemaksiatan dan hukum-hukum yang disalahgunakan. "Oleh Karena itu rida terhadap hukum yang bertentangan dengan hukum Allah swt itu adalah sesuatu yang terlarang dalam agama," ungkapnya.
Dalam artikel NU Online berjudul Ini Ciri-Ciri Ulama Su’, Ulama Matre, dan Ulama Dunia dijelaskan bahwa ulama su’ bukan hanya ia yang menguasai ilmu agama, tetapi mereka yang menguasai ilmu di luar ilmu agama.
"Artinya, ilmuwan dalam bidang apapun bisa saja menyandang predikat ulama su’," demikian ketegangan Ustadz Alhafiz, penulis artikel tersebut.
Ia kemudian menyebutkan pengertian ulama su' dengan mengutip pernyataan Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kifayatul Atqiya. Disebutkan bahwa ulama su' adalah ulama jahat yang dengan ilmunya bertujuan untuk kesenangan dunia, mendapatkan pangkat dan kedudukan pada penduduk. (Sumber: nu.or.id)
Tim Rembulan
Advertisement