Liputan6.com, Jakarta - Beberapa hari lalu, sejumlah ruas jalan di DKI Jakarta disemprot air dengan harapan bisa mengurangi polusi udara. Rencana menyemprotan air dari atas gedung juga dicanangkan usai gagal menurunkan hujan buatan dengan metode Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).
Juru Kampanye Keadilan Perkotaan Greenpeace Indonesia, Charlie Albajili, menyebut bahwa langkah-langkah ini semata aksi reaktif, bukan solutif. "Yang terpenting itu menyelesaikan persoalan dari akar masalahnya, lalu bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan (polusi udara) pada warga," katanya usai acara peluncuran seri parfum terinspirasi polusi "Our Earth" di bilangan Jakarta Pusat, Jumat, 25 Agustus 2023.
Advertisement
Menyemprot air dan menerapkan work from home (WFH) disebutnya sebagai "solusi jangka pendek sekali." "Tidak akan menyelesaikan masalah kalau tidak menyasar sumber-sumber pencemar, entah dari transportasi, industri, pembakaran sampah, maupun pembakaran batubara dari industri PLTU," ia menyebut.
"Upaya (pemerintah) harus ambisius (dalam menuntaskan masalah polusi udara)," tegasnya. "Pada 2021, indeks kualitas udara di Jakarta juga buruk. PM2.5-nya masih jauh di atas standar WHO. Padahal di titik itu, mobilitas masyarakat minim, karena semua dilakukan dari rumah. Jadi, sumbernya dari mana?"
Menurutnya, sudah seharusnya pemerintah membuka data, menunjukkan "apa saja industri yang mencemari udara," dan menggagas upaya konkret untuk mengontrolnya. Apa yang dilakukan sekarang untuk mengatasi polusi "tidak bisa dinilai sebagai upaya serius," katanya lagi.
Solusi Berkelanjutan dan Berkeadilan
Di samping itu, Charlie juga mendorong publik untuk jadi bagian dari solusi. Salah satunya dengan menggunakan transportasi publik. "Gerakan bersepeda sebenarnya sudah banyak dilakukan, tapi persoalannya tentu tidak sampai di situ," sebutnya.
Ia menyambung, "Setelah dilakukan (bersepeda dan memakai transportasi publik), dan ada kekurangan, bisa evaluasi pemerintah untuk mendukung mereka lebih nyaman pakai transportasi publik dan aman bersepeda."
Mayarakat juga diajak lebih cerdas dalam memilah mana saja yang merupakan "solusi palsu" dalam mengatasi masalah polusi maupun dampak krisis iklim secara general. Caranya, sebut Charlie, dimulai dengan mengecek informasi yang didapatkan.
"Harus terus kritis pada informasi dan memeriksa faktanya," ucapnya. "Apakah solusi yang ditawarkan memang mengarah pada solusi berkelanjutan dan berkeadilan."
Ia melanjutkan, Greenpeace percaya bahwa krisis iklim disebabkan ketidakadilan yang kemudian menghasilkan ketidakadilan lain. "Menciptakan ketimpangan," sebut dia. "Solusi berkeadilan, misalnya, ketika langkahnya juga memikirkan kelompok paling rentan."
Advertisement
Waspada Solusi Palsu Atasi Polusi Udara
Dalam konteks ini, Chalie mencontohkan disabilitas sebagai kelompok rentan. Ia berkata, "Ketika ada cuaca ekstrem, apakah pemerintah memperhatikan kelompok disabilitas yang panas sedikit saja langsung kambuh."
"Jadi, kalau mau bicara keadilan, kita harus membicarakan dari kelompok paling rentan dulu. Ketika mereka sudah dijamin, semua kelompok masyarakat bisa menikmati itu. Dalam bahasa globalnya, 'No one left behind' dalam aksi mengatasi perubahan iklim," ujar dia.
Ia juga menyarankan publik memilah informasi dari sumber-sumber kredibel. "Di tengah semua orang bisa jadi media, ada beberapa media yang punya indikator lebih untuk nilai-nilai jurnalistiknya, itu bisa jadi pedoman mengecek informasi, sebenarnya ada enggak sih yang dirugikan dari satu solusi atau siapa yang paling diuntungkan dari satu solusi."
"Beberapa organisasi juga melakukan investigasi, termasuk Greenpeace dan WALHI (di Indonesia). Ada pula jaringan investigasi wartawan yang data-datanya menarik daripada hanya percaya (unggahan) media sosial," imbuh dia.
Catatan Penyakit Pernapasan Naik
Mengutip laporan kanal Health Liputan6.com per 24 Agustus 2023, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengungkap bahwa penyakit pernapasan di Jakarta sebelum pandemi COVID-19 sudah menyentuh angka 50 ribu kasus. Seiring kondisi kualitas udara Jakarta yang memburuk, jumlah pengidap penyakit pernapasan naik jadi 200 ribu kasus.
"Kanker paru, tuberkulosis (TB), paru kronis, asma, dan pneumonia merupakan penyakit pernapasan," kata Budi Gunadi Sadikin saat ditemui di sela-sela acara "ASEAN Finance and Health Ministerial Meeting" di kawasan Senayan, Jakarta, 24 Agustus 2023.
Kelima penyakit pernapasan di atas juga memakan biaya klaim BPJS Kesehatan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per April 2023, dari 10 penyakit di Indonesia dengan catatan kasus terbanyak per 100 ribu penduduk, empat di antaranya adalah penyakit pernapasan.
Keempatnya adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang mencatat 78,3 ribu kematian, kanker paru dengan 28,6 ribu kematian, pneumonia dengan 52,5 ribu kematian, dan asma dengan 27,6 ribu kematian.
Advertisement