Liputan6.com, Jakarta - Persoalan polusi udara di Jakarta sedang disorot oleh banyak pihak. Banyak yang merasakan dampak polusi udara yang begitu buruk hingga ikut batuk-batuk.
Dalam upaya menangani persoalan tersebut, pemerintah DKI Jakarta pun turun tangan yakni dengan melakukan penyemprotan air di sejumlah jalan raya. Harapannya, upaya itu bisa meminimalisir polusi udara.
Advertisement
Namun sayangnya, tindakan penyemprotan air untuk polusi udara di Jakarta mengundang pro dan kontra dari masyarakat. Lantas, apa kata pakar terkait upaya penyemprotan air untuk meminimalisir efek polusi udara?
Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) sekaligus Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Prof Tjandra Yoga Aditama menuturkan bahwa data ilmiah terkait penyemprotan air untuk polusi udara beragam.
"Sehubungan dengan upaya penyemprotan air di Jakarta dalam kerangka polusi udara, maka data ilmiah menunjukkan hasil yang beragam," ujar Tjandra melalui keterangan yang diterima Health Liputan6.com, Minggu (27/8/2023).
Penyemprotan Air untuk Polusi Udara
Tjandra mengambil salah satu penelitian di China yang dimuat dalam jurnal Toxics pada bulan Juni 2021 yang menyebut bahwa penyemprotan air di jalan raya untuk meredam efek polusi udara keliru.
"Penelitian di China yang dimuat dalam jurnal ilmiah Toxics bulan Juni 2021 jelas menyebutkan, 'Large-Scale Spraying of Roads with Water Contributes to, Rather Than Prevents, Air Pollution'. Jadi disebut bukannya mencegah, tapi justru menambah polusi," kata Tjandra.
"Jadi tegasnya penelitian ini menyatakan bahwa menyemprotkan air dalam jumlah besar ke jalan cenderung meningkatkan konsentrasi PM 2,5 dan juga kelembaban," sambungnya.
Bukti Ilmiah soal Penyemprotan Air untuk Polusi Udara
Lebih lanjut Tjandra memberikan contoh studi lain. Menurut Tjandra merujuk pada jurnal Environmental Chemistry Letters tahun 2014, ada dampak positif di balik upaya menyemprotkan air ke jalan raya untuk meredam polusi udara.
"Ada juga yang berpendapat berbeda, seperti dimuat di jurnal Environmental Chemistry Letters tahun 2014," ujar Tjandra.
"Jadi disebutkan bahwa penyemprotan air secara geoengineering dapat menurunkan kadar polusi PM 2.5 secara efisien."
Namun, Tjandra menyebut bahwa penelitian yang kedua ini tidak lengkap seperti pada penelitian pertama dalam jurnal Toxics.
"Tetapi memang metodologi penelitian tahun 2014 ini tidaklah selengkap penelitian di jurnal Toxics, yang juga tahunnya lebih baru, 2021. Sehingga secara ilmiah kita jelas membandingkan keduanya," kata Tjandra.
Advertisement
Teknik Penyemprotan Air Berbeda untuk Polusi Udara
Tjandra mengungkapkan bahwa laporan penelitian lanjutan yang dipublikasikan bulan Maret 2022 di jurnal Proc. ACM Interact. Mob. Wearable Ubiquitous Technol juga pernah memberikan perspektif lain.
"Peneliti ini menggunakan metode iSpray (Intellegent Spraying), suatu desain software baru tentang teknik penyemprotan air yang lebih baik," ujar Tjandra.
Tjandra menambahkan, hasil penelitian dalam jurnal ketiga ini menunjukkan cara penyemprotan air untuk meredam polusi udara dengan metode iSpray lebih efisien.
"iSpray dengan intelegensia memberi cara penyemprotan yang lebih efisien dan memberi dampak baik pula pada penanganan polusi udara," kata Tjandra.
Negara Lain yang Pernah Lakukan Penyemprotan Air
Dalam kesempatan yang sama, Tjandra mengungkapkan bahwa selain Indonesia, ada pula negara lain yang pernah melakukan metode penyemprotan air untuk polusi udara. Seperti India, misalnya.
"India pernah juga mencoba menyemprotkan air di polusi udara kota New Delhi, tetapi tidak memberikan hasil yang memadai," ujar Tjandra.
Sehingga, menurut Tjandra, upaya penyemprotan air ke jalan raya untuk mengurangi polusi udara sebenarnya harus dianalisa dengan menyeluruh.
"Dengan beberapa penjelasan di atas maka memang harus betul-betul dianalisa secara ilmiah cara apa yang akan kita gunakan untuk mengatasi polusi udara yang masih terus buruk pada hari-hari ini," pungkasnya.
Advertisement