HEADLINE: Heboh 67 Bacaleg DPR dan DPD Eks Terpidana Korupsi, Aturan dan Mekanismenya?

KPU mengungkapkan ada 67 mantan terpidana korupsi yang masuk DCS bakal Caleg DPR dan DPD. Harapan adanya kebijakan progresif dalam pemberantasan korupsi di masa mendatang pun akan menjadi angan-angan semu.

oleh Muhammad AliFachrur Rozie diperbarui 29 Agu 2023, 00:00 WIB
Ilustrasi Kantor Komisi Pemilihan Umum atau KPU. (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro)

Liputan6.com, Jakarta - KPU mengungkapkan ada 67 mantan terpidana korupsi yang masuk dalam daftar sementara (DCS) bakal Caleg DPR dan DPD. Mereka disokong sejumlah partai politik peserta Pemilu 2024.

Hal ini menuai sorotan publik, terutama kelompok masyarakat yang memiliki perhatian khusus terhadap pemberantasan korupsi. Dengan masuknya bakal caleg mantan narapidana korupsi ini, harapan adanya kebijakan progresif dalam pemberantasan korupsi di masa mendatang akan menjadi angan-angan semu.

Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menilai persoalan ini terus terjadi jelang pemilu lantaran lembaga politik lemah dalam menyaring kadernya yang akan ikut berkontestasi di ajang lima tahunan. Dalam benaknya, Parpol hanya mementingkan jangka pendek untuk menggapai kemenangan gemilang.

"Saya kira ini bagian dari cacat bawaan dari rekrutmen caleg yang saya kira selalu menjadi persoalan per 5 tahun sekali ya. Jadi partai politik itu berpikirnya cukup pendek. Mereka tidak terlampau peduli apakah caleg yang diusung itu memiliki rekam jejak yang baik ataupun tidak," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (28/8/2023).

"Pola pikir partai politik itu adalah bagaimana memenangkan pertarungan politik, jadi sekalipun para caleg itu memiliki rekam jejak yang buruk, tapi karena karena dinilai punya potensi menang, maka dikarenakan itu (dia menerimanya)," dia menambahkan.

Yang kedua, lanjut Direktur Parameter Politik Indonesia ini, tidak ada larangan dalam undang undang terhadap eks narapidana koruptor ikut kontestasi di pemilu. Kekosongan aturan ini dijadikan celah hukum oleh parpol untuk mengusung mereka. 

"Targetnya adalah menang, dan dalam prakteknya kan memang banyak kalau eks koruptor itu yang lolos sebagai anggota dewan lah," ujar dia.

Adi menyoroti akar persoalan tersebut. Menurutnya, masalah ini terjadi tidak terlepas dari lemahnya undang-undang Pemilu yang tidak membatasi secara ketat pelaku-pelaku ataupun eks koruptor untuk haram hukumnya bertanding di Pemilu. Yang terjadi justru mereka dibebaskan ikut Pemilu seperti yang lainnya.

"Ini kan menjadi problem. Mestinya undang-undang pemilu kita itu tegas kalau mantan koruptor yang jelas-jelas mereka itu merugikan negara, korupsi, enggak boleh terjun ke dunia politik. Begitu ya," katanya.

Selanjutnya, Adi menuturkan, kondisi ini tentu tidak terlepas dari fenomena bahwa masyarakat acap lupa dan acuh dengan rekam jejak para calon wakil rakyatnya. Mereka hanya mengetahui para caleg tersebut ketika menyapa sambil membawa bantuan logistik guna mempengaruhi pilihan.

"Pemilih kita itu suka lupa dan bahkan enggak peduli dengan rekam jejak para caleg gitu. Yang mereka tahu itu adalah bagaimana caleg, ya yim sukses dan partai mendatangi mereka dengan barter logistik seperti uang, sembako, dan bantuan-bantuan logistik lainnya untuk mempengaruhi pemilih dan memilih calon yang memang jelas-jelas memiliki latar belakang yang enggak bagus. Ini kan bahaya bagi demokrasi kita," tegas dia.

Seharusnya, Adi menegaskan, soal caleg eks koruptor ini palang pintunya ada dua. Yaitu di partai politik dan peraturan.

"Ya supaya (parpol) tidak merekrut orang-orang yang memang jelas-jelas mantan koruptor. Jadi harus selektif betul. Juga peraturan di pemilu kita. Bagi mereka yang sudah terbukti melakukan tindakan korupsi agar (tidak) kembali terjun ke dunia politik untuk jadi calon pejabat publik seperti caleg gitu," ucap dia.

"Nah tentu ini ditambah oleh ironi pemilih kita yang memorinya pendek, gampang disogok, gampang dipengaruhi oleh faktor-faktor logistik seperti uang beras dan seterusnya," dia menandaskan.

Sementara itu dosen dan Ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Catur Wido Haruni menjelaskan, bahwa tidak ada yang salah dengan aturan mantan napi korupsi maju sebagai bakal caleg. Menurutnya yang salah adalah mereka yang membuat undang-undang tersebut.

“Tentunya banyak mantan narapidana kasus korupsi yang ingin kembali berkecimpung di dunia politik. Kemudian dengan banyak siasat lahirlah peraturan ini karena kepentingan-kepentingan politik,” ujarnya yang dikutip dari umm.ac.id.

Lebih lanjut, para narapidana kasus korupsi ini dapat mendaftar sebagai caleg sebab pada Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 2017 Pasal 240 (1) huruf G tentang Pemilihan Umum (Pemilu) disebutkan, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar.

Pada poin ini dijelaskan bahwa calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana.

"Berarti, walaupun sudah lebih dari lima tahun penjara, jika ia mengatakan secara terbuka bahwa ia merupakan mantan terpidana ataupun koruptor, maka ia tetap memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai caleg," paparnya.

Lalu jika melihat UUD 1945 Pasal 28J (1), dikatakan bahwa kita harus menghormati hak asasi orang lain. Namun pada Pasal 28J (2) dijelaskan pula, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.

"Walaupun semua orang memiliki hak dan kebebasan dalam berpolitik, tapi tidak semua orang masuk ke dalam kriteria tersebut. Jadi memang ada batasannya, termasuk kriteria pendaftar caleg ini," jelas Catur.

Catur mengatakan, Pasal 240 ini pernah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Lalu lahirlah putusan MK yang menyatakan bahwa mantan narapidana korupsi boleh mencalonkan diri dengan syarat, telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasakan putusan pengadilan.

Lalu secara jujur atau terbuka, mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

“Tapi semua kembali kepada para pemilihnya atau rakyat, karena kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Maka dari itu, rakyat pun harus cerdas. Jangan memilih hanya karena fanatik terhadap partai. Lihatlah track record dari calon pemimpin yang ingin dipilih. Karena kedaulatan tertinggi ada d itangan rakyat, maka rakyat harusnya bisa memilih pemimpin yang baik dan berintegritas. Jika rakyat cerdas, maka para narapidana korupsi ini tidak akan terpilih," tegasnya mengakhiri.

Infografis Heboh 67 Mantan Terpidana Termasuk Eks Napi Koruptor Jadi Bacaleg DPR dan DPD. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Indonesia Corruption Watch (ICW)  sebelumnya melansir 15 nama mantan terpidana korupsi yang sedang berupaya mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, baik DPR RI maupun DPD RI. Langkah ini diambil karena Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) tak kunjung memenuhi hak asasi pemilih dalam hal pemenuhan informasi terkait rekam jejak para kandidat.

"Selain itu, ada kesan yang timbul di tengah masyarakat bahwa penyelenggara pemilu sengaja ingin menutupi sekaligus melindungi mantan terpidana korupsi tersebut dari pantauan masyarakat," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Liputan6.com, Senin (28/8/2023).

Setelah langkah itu diambil, ICW kemudian menelusuri kembali bakal calon anggota legislatif tingkat kabupaten, kota, dan provinsi yang di dalamnya terdapat mantan terpidana korupsi. Basis data ICW adalah pengumuman KPU tahun 2019 lalu yang menyebutkan ada 72 mantan terpidana korupsi sedang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tingkat kabupaten, kota, maupun provinsi.

"Setelah dilihat lebih lanjut, berdasarkan temuan ICW setidaknya ditemukan 24 mantan terpidana korupsi dalam daftar calon sementara bakal calon anggota legislatif yang sebelumnya dirilis oleh KPU RI," ujar dia. 

Sebagaimana diketahui, KPU RI belum juga mengeluarkan data mantan terpidana korupsi yang sedang mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, baik tingkat kabupaten, kota, maupun provinsi.

"Oleh sebab itu, sekali lagi, ICW mendesak KPU RI untuk tidak lagi melindungi mantan terpidana korupsi dan segera mengumumkan secara terbuka kepada masyarakat," kata dia. 

Adapaun Pengamat Pemilu sekaligus Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow menilai, mantan narapidana korupsi memang dibolehkan untuk maju menjadi bakal caleg. Menurut dia, aturan tersebut sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung

"Memang aturannya kan begitu ya, dulu juga memang boleh. Aturan yang dulu boleh tapi waktu itu dengan improvisasi dan keberaniannya KPU membuat PKPU tidak membolehkan, lalu berperkara kemudian lewat Bawaslu dikatakan boleh. karena memang di Undang Undang Nomor 7 itu tidak dilarang," kata dia.

"Jadi kalau MA keluarkan seperti itu hanya menguatkan apa yang ada di undang-undang. Nah secara legal boleh. KPU jangan lagi membuat aturan yang bertentangan dengan undang-undang," Jeirry mengimbuhkan.

Namun begitu, dia menilai secara substansial sebaiknya eks napi korupsi ini tidak diberi hak politik untuk menjadi calon legislatif. Tetapi juga tidak boleh dalam waktu berkepanjangan lantaran dinilai bertentangan dengan HAM.

"Harus ada batasannya, misalnya dalam jangka 10 tahun, setelah itu bisa. Karena kan meskipun mereka mantan napi koruptor, tetap ketika selesai menjalani hukuman hak politiknya mestinya dipulihkan. Karena dalam prinsip HAM, hak politik hanya bisa dicabut oleh pengadilan atau pengaturan undang-undang," ujar dia.

Jeirry menilai aturan eks napi koruptor mengikuti kontestasi Pileg memang tidak bertentangan dengan undang-undang. Namun secara etis, bisa menjadi pertimbangan agar parpol tidak mengajukan mereka untuk didaftarkan ke KPU.

"Sekarang kan dia diperbolehkan, cuma bagi saya, secara etis, baik juga bagi pemilu kita kalau napi koruptor itu tidak boleh serta merta, harus diberi jangka waktu," kata dia.

"Karena korupsi kejahatan berbeda dari lain. Dan praktik korupsi juga itu terjadi berhubungan dengan pemilu, karena mereka dipilih dalam pemilu. Jadi atas dasar argumentasi seperti ini memang sebaiknya eks napi koruptor, perlu istirahat seperti 10 tahun," Jeirry mengimbuhkan.

 

 

Infografis Ragam Tanggapan 67 Bacaleg DPR dan DPD Eks Terpidana. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Tanggapan Partai Penyokong Caleg dari Mantan Napi Korupsi

Ketua DPP Partai Nasdem Effendi Choirie (Gus Choi) menanggapi temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mengungkapkan ada 15 calon anggota legislatif atau caleg pada Pileg 2024 yang merupakan mantan narapidana atau napi korupsi. Bahkan, beberapa di antaranya merupakan kader Partai NasDem.

Gus Choi mengatakan, secara aturan memang tidak ada larangan bagi mantan napi korupsi untuk maju sebagai caleg, selagi hak politiknya tidak dicabut. Meski begitu, dia tak menampik bahwa secara moral masyarakat pasti mengharapkan sosok caleg yang bersih dari kasus korupsi.

"Ya memang pertama secara legal formal pasti diperbolehkan, cuma secara moral, gini kita ingin caleg-caleg itu memang punya jejak rekam yang bersih, yang baik, itu harapan kita," kata Gus Choi di Gedung Akademi Bela Negara NasDem, Jalan Pancoran Timur, Jakarta Selatan, Minggu (27/8/2023).

Ihwal adanya caleg NasDem mantan napi korupsi itu, Gus Choi menyerahkan sepenuhnya hak pilih di Pileg 2024 kepada masyarakat. Mengingat, kata dia kemenangan Pileg ditentukan dari hasil suara terbanyak.

"Jadi semua kita serahkan kepada rakyat. Jadi kalau sudah direkrut apakah di NasDem atau partai lain. Karena Pileg ini suara terbanyak bukan partai yang menentukan maka kita serahkan kepada rakyat, terserah rakyat pilih yang mana," jelas Gus Choi.

Lebih lanjut, Gus Choi meminta agar masyarakat melihat rekam jejak para calon pemimpin yang maju pada pemilihan umum (Pemilu) serentak 2024.

"Betul rakyat harus melek masa lalu, rakyat harus memelototi jejak setiap caleg, setiap calon presiden, calon wakil presiden," kata dia.

Sementara itu, dalam undang-undang, para mantan narapidana korupsi tersebut memang diperkenankan untuk maju sebagai bakal caleg. Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur soal persyaratan yang mesti dipenuhi untuk menjadi bakal caleg baik di tingkat DPR, DPRD provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota. Hanya saja, pasal tersebut tidak spesifik melarang eks napi, termasuk dari kasus korupsi, untuk kembali maju menjadi caleg.

Pada ketentuan Pasal 240 ayat 1 huruf g, hanya mengatur seorang mantan napi yang hendak mendaftarkan diri, wajib mengungkapkan ke publik kalau dirinya pernah dipidana serta telah selesai menjalani hukumannya.

“Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” bunyi pasal tersebut.

Sementara itu, Pasal 45A ayat (2) PKPU Nomor 31 Tahun 2018 memberikan penjelasan lebih lanjut soal syarat bagi eks koruptor bila hendak maju sebagai caleg pada pemilu. Syarat tersebut yakni memberikan lampiran keterangan soal statusnya.

“Dengan melampirkan surat keterangan dari kepala lembaga pemasyarakatan yang menerangkan bahwa bakal calon yang bersangkutan telah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” tulis pasal tersebut.

Mantan koruptor tersebut turut diwajibkan melampirkan salinan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak hanya itu, mereka diwajibkan melampirkan surat dari pemimpin redaksi media massa tingkat lokal atau nasional yang mengungkap calon dimaksud sudah terbuka dan jujur mengumumkan ke publik sebagai eks terpidana.

“Surat dari pemimpin redaksi media massa lokal atau nasional yang menerangkan bahwa bakal calon telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana; dan bukti pernyataan atau pengumuman yang ditayangkan di media massa lokal atau nasional,” bunyi ketentuan tersebut.


KPU Ungkap 67 Mantan Terpidana Korupsi Jadi Bacaleg

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) merilis bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang pernah terjerat kasus korupsi.

Selain bakal calon anggota DPR, KPU juga merilis bakal caleg Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang pernah dibui karena korupsi.

Data ini disampaikan KPU setelah Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap 15 bakal calon yang merupakan mantan koruptor. ICW juga diketahui meminta KPU mengumumkan semua calon yang pernah terjerat kasus korupsi.

Mengutip data KPU, setidaknya ada 52 bakal calon anggota DPR dan 15 bakal calon anggota DPD yang merupakan mantan narapidan korupsi.

Berikut daftar bakal calon anggota DPR yang pernah terjerat korupsi

1. Susno Duadji, PKB, Dapil Sumatera Selatan II, nomor urut 2.

2. Huzrin Hood, PKB, Dapil Kepulauan Riau, nomor urut 2.

3. Ali Maskur Masduqi, PKB, Dapil Jawa Tengah VIII, nomor urut 7.

4. Rino Lande, PKB, Dapil Jawa Timur V, nomor urut 7.

5. Abdul Halim, PKB, Dapil Bali, nomor urut 2.

6. Yansen Akun Effendy, PKB, Dapil Kalimantan Barat II, nomor urut 1.

7. Syaifur Rahman, Partai Gerindra, Dapil Jawa Timur IV, nomor urut 4.

8. Amry, Partai Gerindra, Dapil Sulawesi Selatan II, nomor urut 4.

9. Asep Ajidin, PDIP, Dapil Sumatera Barat II, nomor urut 4.

10. Mochtar Mohamad, PDIP, Dapil Jawa Barat V, nomor urut 3.

11. Rokhmin Dahuri, PDIP, Dapil Jawa Barat VIII, nomor urut 1.

12. Al Amin N Nasution, PDIP, Dapil Jawa Tengah VII, nomor urut 4.

13. Teuku Muhammad Nurlif, Partai Golkar, Dapil Aceh I, nomor urut 1.

14. Syahrasaddin, Partai Golkar, Dapil Jambi, nomor urut 6.

15. Syarif Hidayat, Partai Golkar, Dapil Sumatera Selatan I, nomor urut 8.

16. Wendy Melfa, Partai Golkar, Dapil Lampung I, nomor urut 5.

17. Iqbal Wibisono, Partai Golkar, Dapil Jawa Tengah I, nomor urut 2.

18. Mashur, Partai Golkar, Dapil Kalimantan Barat II, nomor urut 4.

19. Nurdin Halid, Partai Golkar, Dapil Sulawesi Selatan II, nomor urut 2.

20. Haris Andi Surahman, Partai Golkar, Dapil Sulawesi Tenggara, nomor urut 5.

21. Bernard Sagrim, Partai Golkar, Dapil Papua Barat Daya, nomor urut 2.

22. Abdillah, Partai NasDem, Dapil Sumatera Utara I, nomor urut 5.

23. Budi Antoni Aljufri, Partai NasDem, Dapil Sumatera Selatan II, nomor urut 9.

24. Eep Hidayat, Partai NasDem, Dapil Jawa Barat IX, nomor urut 1.

25. Dikdik Darmika, Partai NasDem, Dapil Jawa Barat XI, nomor urut 1.

26. Sani Ariyanto, Partai NasDem, Dapil Jawa Tengah VIII, nomor urut 4.

27. Krisna Mukti, Partai NasDem, Dapil Jawa Timur I, nomor urut 4.

28. Sungkono Ari Saputro, Partai Buruh, Dapil Jawa Timur I, nomor urut 8.

29. Rosalina Kase, Partai Buruh, Dapil Nusa Tenggara Timur I, nomor urut 5.

30. Iwan Krisnanto, Partai Buruh, Dapil Kalimantan Tengah, nomor urut 1.

31. Munir, PKS, Dapil Kalimantan Barat I, nomor urut 4.

32. Sumiadi, Partai Hanura, Dapil Kepulauan Bangka Belitung, nomor urut 2.

33. Idham Cholid, Partai Hanura, Dapil Jawa Tengah VI, nomor urut 2.

34. Muhamad Zainal Laili, Partai Hanura, Dapil Jawa Timur IV, nomor urut 1.

35. Sandi Suwardi Hasan, Partai Hanura, Dapil Jawa Timur IV, nomor urut 2.

36. Wa Ode Nurhayati, Partai Hanura, Dapil Sulawesi Tenggara, nomor urut 1.

37. Arnikeb Eben Tung Sely, Partai Garda Republik Indonesia, Dapil Nusa Tenggara Timur I, nomor urut 1.

38. M. Rasyid Rajasa, PAN, Dapil Nusa Jawa Barat I, nomor urut 5.

39. Nurul Qomar, PAN, Dapil Jawa Barat VIII, nomor urut 7.

40. Mujiono, PAN, Dapil Jawa Timur V, nomor urut 1.

41. Rudy, PAN, Dapil Kalimantan Barat II, nomor urut 4.

42. Evy Susanti, Partai Demokrat, Dapil Jawa Barat III, nomor urut 5.

43. Lukas Uwuratuw, Partai Demokrat, Dapil Maluku, nomor urut 4.

44. Thaib Armaiyn, Partai Demokrat, Dapil Maluku Utara, nomor urut 1.

45. Agus Kamarwan, PSI, Dapil Nusa Tenggara Barat II, nomor urut 1.

46. Vicky Prasetyo, Perindo, Dapil Jawa Barat VI, nomor urut 1.

47. Muhajir, Perindo, Dapil Jawa Tengah VIII, nomor urut 2.

48. Hendra Karianga, Perindo, Dapil Maluku Utara, nomor urut 1.

49. Soleman Sikirit, Perindo, Dapil Papua Barat, nomor urut 1.

50. Madini Farouq, PPP, Dapil Jawa Timur IV, nomor urut 3.

51. Djainudin, PPP, Dapil Nusa Tenggara Timur II, nomor urut 1.

52. Irsyadul Fauzi, Partai Ummat, Dapil Sumatera Barat I, nomor urut 2.


15 Bakal Calon Anggota DPD Mantan Terpidana Korupsi

Berikut daftar 15 bakal calon anggota DPD yang merupakan mantan terpidana:  

1. Edi Agusdin maju di Provinsi Bengkulu 

2. Patrice Rio Capella di Bengkulu 

3. Cinde Laras Yulianto di DI Yogyakarta 

4. Petrus Hilman Dapot Tuah Purba di Jambi 

5. Dody Rondonuwu di Kalimantan Timur 

6. Emir Moeis di Kalimantan Timur 

7. Rendi Susiswo Ismail di Kalimantan Timur 

8. Ismeth Abdullah di Kepulauan Riau 

9. Samson Yasir Alkatiri di Maluku 

10. Muhaimin Yahya Mutawalli di Nusa Tenggara Barat 

11. A. Abd. Waris Halid di Sulawesi Selatan 

12. Andi Baso Ryadi Mappasulle di Sulawesi Selatan 

13. Eva Susanti H Bande di Sulawesi Tengah 

14. Rinaldi Damanik di Sulawesi Tengah 

15. Sabam Parulian Parsaoran Manalu di Sumatra Utara.

Infografis Ada 204 Juta Lebih DPT di Pemilu 2024. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya