Liputan6.com, Jakarta Publik dibikin heboh dengan rencana pemerintah untuk membatasi penggunaan BBM dengan kadar oktan rendah seperti Pertalite (RON 90). Di sisi lain, penggunaan Pertamax (RON 92) bakal lebih diperbanyak.
Isu ini sempat dilontarkan Kementerian ESDM sebagai salah satu upaya untuk mengurangi polusi udara di DKI Jakarta yang semakin hari semakin parah.
Advertisement
Wacana lain yang juga menarik perhatian, demi meningkatkan penggunaan Pertamax dengan memberikan subsidi. Selama ini, Pertamax merupakan produk Pertamina yang harganya selalu mengikuti harga minyak dunia, tanpa ada campur tangan dari pemerintah.
"Kita sedang lakukan pendalaman itu segera, supaya memang bisa diambil langkah menyediakan BBM yang ramah lingkungan. Kita juga mengacu pada pengalaman di tempat-tempat lain," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di Kantor Kementerian ESDM.
Menurut dia, saat ini ada tiga penyebab utama polusi udara di Jakarta. Pertama dari sektor transportasi, lalu kegiatan industri, dan pembuangan emisi dari sektor pembangkit listrik.
Untuk sektor transportasi, Kementerian ESDM perlu berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Adapun salah satu solusi yang ditawarkan dengan mendorong pemakaian BBM dengan nilai oktan (RON) lebih tinggi.
"Kita memang ada solusi salah satunya dengan itu. Tapi dengan CO2 sama aja kan hidrokarbonnya yang dipakai untuk itu. Tapi untuk mengurangi monoksida, sulfat, timbal kalau ada, itu juga harus dilakukan perbaikan. Kita punya produksi BBM-nya," tuturnya.
Ditanya secara terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana melontarkan hal serupa dengan Menteri ESDM terkait rencana pemberian subsidi untuk Pertamax. Dia pun belum mau membocorkan lebih lanjut soal rencana itu.
"Kita lagi bahas, lagi lihat secara teknis maupun secara regulasi dan secara keekonomian, karena kan berbeda. Tapi kami masih bahas di internal," ujar Dadan
Pembahasan internal itu pun termasuk rencana mengalokasikan anggaran subsidi untuk Pertamax. "Itu termasuk yang sedang dibahas," imbuh Dadan.
Kementerian BUMN Tunggu Arahan
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga buka suara mengenai wacana Pertamax menjadi BBM bersubsidi pengganti Pertalite. Menurutnya, kebijakan itu ada di Kementerian ESDM.
Arya mengatakan, pihaknya di Kementerian BUMN dan PT Pertamina (Persero) sebagai operator adalah menjalankan kebijakan yang diputuskan pemerintah. Kendati usulan itu mencuat sejak pekan lalu, Arya mengaku belum ada bahasan antara Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM mengenai Pertamax jadi BBM subsidi.
"Itu kan kebijakan bukan kita, kebijakan tetap dari ESDM kan. Kalau kita kan pelaksana aja. Mau yang mana aja bisa," ujar dia saat ditemui di Kementerian BUMN.
"Kan kita, bagi kita kan mana aja yang (ditentukan) pemerintah kita ikut aja, sebagai pelaksana. Jadi bukan di kita ya kebijakannya. Apa saja yang dirumuskan Kementerian ESDM kita ikuti. Kami sebagai pelaksana aja," imbuhnya.
Kesiapan Pertamina Jual Pertamax Subsidi
Di kesempatan lain, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan pihaknya masih membahas poin-poin awal wacana tersebut. Soal Pertamax jadi BBM bersubsidi, dia menyerahkan hal itu merupakan kebijakan pemerintah melalui Kementerian ESDM.
"Pertamina sebagai operator, kami tentunya nanti akan berkoordinasi kepada Pemerintah/regulator," kata dia kepada Liputan6.com.
"Karena kalau bicara kebijakan, itu kewenangan regulator," sambung Irto.
Kendati demikian, Irto menyebut, Pertamina Patra Niaga sebagai penyalur BBM akan mengikuti kebijakan yang nantinya ditetapkan pemerintah. Termasuk juga dalam menyalurkan BBM bersubsidi kepada masyarakat dengan harga yang sudah ditentukan nantinya.
"Pertamina Patra Niaga selaku operator akan berkomitmen menjalankan kebijakan penyaluran BBM Penugasan dan Subsidi sesuai dengan regulasi yang ditetapkan Pemerintah," urainya.
Perlu diketahui, Pertamax memiliki kada RON 92 dan dijual Rp 12.400 per liter. Pertamax merupakan kategori Jenis BBM Umum (JBU). Sementara, Pertalite memiliki RON 90 dan dijual Rp 10.000 per liter. Pertalite masuk dalam kategori Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yang mendapat porsi subsidi atau kompensasi dari pemerintah.
Konsumsi Pertalite
Seperti diketahui, realisasi konsumsi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite hingga April 2023 mencapai 28,44 persen dari kuota yang ditetapkan.
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Erika Retnowati mengungkapkan, realisasi Pertalite tercatat sebesar 9,26 juta kiloliter (kl).
"Jadi sekitar 28,44 persen dari kuota 32,56 juta kl," kata Erika.
SVP Retail Fuel Sales Pertamina Patra Niaga Pramono mengungkapkan, realisasi empat bulan pertama tahun ini memang lebih tinggi ketimbang periode sama di tahun sebelumnya.
Peningkatan pengguna Pertalite yang notabene BBM memiliki kadar emisi tinggi inilah yang mencoba diantisipasi pemerintah dengan mewacanakan subsidi untuk Pertamax.
Advertisement
Untung Rugi Pertamax Jadi BBM Subsidi
Soal rencana subsidi Pertamax ini, memang keuntungannya akan mengurangi emisi gas buang yang berasal dari kendaraan bermotor. Hanya saja, di sisi lain juga ada kerugian yang perlu diantisipasi.
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Daymas Arangga, mengatakan lebih baik Pemerintah memperhatikan lagi terkait revisi Perpres Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Lantaran aturan tersebut masih belum jelas.
Menurutnya, revisi aturan tersebut diperlukan agar subsidi bahan bakar minyak bisa lebih tepat sasaran.
"Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah revisi Perpres No 191 tahun 2014 terkait siapa yang berhak untuk menerima bahan bakar bersubsidi, karena sampai saat ini belum ada kejelasan terkait revisi yang menjelaskan target siapakah yg memang berhak untuk membeli JBT dan JBKP," kata Daymas kepada Liputan6.com.
Selain itu, ia menilai pemberian subsidi untuk BBM jenis Pertamax dikhawatirkan akan mengulang skema Premium dan Pertalite yang pada akhirnya akan menambah beban subsidi negara.
Pihaknya mengaku telah berulang kali menyuarakan bahwa subsidi sebaiknya diberikan langsung kepada yang berhak, dibandingkan dengan pemberian subsidi pada komoditas bahan bakarnya.
"Karena kencenderungan subsidinya tidak tepat sasaran sangatlah tinggi," ujarnya.
Kondisi APBN Cukup?
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya menilai pemberian subsidi untuk BBM jenis Pertamax (RON 92) butuh perhitungan matang.
Ia mengaku belum menghitung lebih jauh terkait nilai keekonomian dengan pemberian subsidi tersebut. Sebab, pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga belum membocorkan lebih lanjut, apakah pemberian subsidi untuk Pertamax ini akan mencopot status Pertalite sebagai BBM subsidi atau tidak.
Namun, Berly tak ingin penyertaan dana negara untuk BBM Pertamax justru memberatkan APBN. "Skemanya perlu disusun supaya subsidi Pertamax tidak membengkak tinggi di APBN," ujar dia kepada Liputan6.com.
Selain dari sisi APBN, dia juga ingin pemerintah memperhitungkan alokasi subsidi di mata pasar. Sebab, berkaca terhadap penyaluran BBM bersubsidi jenis Pertalite, itu masih rentan dipermainkan oleh konsumen yang semustinya tak berhak.
"Secara prinsip dan untuk kasus BBM subsidi barang rentan digunakan oleh masyarakat berpendapatan menengah atas dan atas," kata Berly.
Menurut dia, sudah seharusnya alokasi subsidi BBM ditujukan pada sektor konsumen, bukan untuk produknya. Sehingga itu bisa turut mengajak pengguna kelompok menengah atas secara perlahan beralih ke moda transportasi publik.
Belum Tentu Atasi Masalah Polusi Udara
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kebijakan penghapusan Pertalite dan meminta masyarakat bergeser ke pertamax cenderung bias kelas sekaligus tidak menyelesaikan masalah polusi.
"Bias kelas karena orang miskin akan keluarkan biaya lebih besar untuk membeli BBM. Meski disubsidi tapi harga Pertamax tetap tidak mungkin setara BBM Pertalite," kata Bhima Yudhistira kepada Liputan6.com.
Bhima menyoroti, emisi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor akan tetap tinggi selagi jumlah kendaraan bermotor nya naik terus tiap tahun.
Dia pun menyarankan solusi yang lebih permanen untuk menurunkan polusi udara di Jakarta, yaitu melalui subsidi lebih besar ke semua transportasi publik.
"Subsidi disini bukan hanya tarifnya semakin terjangkau, tetapi juga penambahan moda transportasi dari kawasan pemukiman atau feeder. Jadi penggunaan kendaraan pribadi akan turun signifikan ketika dari rumah menuju tempat kerja full menggunakan transportasi publik," jelasnya.
Bhima membeberkan contoh di manacanegara, seperti yang dilakukan Spanyol misalnya, yang sudah mencontohkan mekanisme subsidi dengan menggratiskan tiket pada commuter line untuk menekan polusi udara secara signifikan.
Advertisement