Liputan6.com, Jakarta Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkap kemungkinan tingkat suku bunga Amerika Serikat akan meningkat hingga tahun depan. Ini berarti akan berdampak pada tingkat pertumbuhan ekonomi global.
Perry menyebut, ini juga seiring dengan tingginya inflasi di AS. Tren peningkatan Fed Fund Rate atau suku bunga bank sentral AS masih diprediksi meningkat di 2024.
Advertisement
"Inflasi masih tinggi, bahkan di Amerika pun juga sekarang masih di atas 4 persen. Tahun depan sampai akhir tahun 2024 itu masih juga diatas 2 persen," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, di Jakarta, Selasa (29/8/2023).
"Sehingga menyebabkan Fed Fund Rate bisa 5,75 persen dan bahkan bisa 6 persen dan kemungkinan masih aka tinggi sepanjang tahun 2024 higher for longer dan jadi tantangan di global," sambungnya.
Tantangan
Dia menguraikan, faktor tantangan lainnya juga datang dari AS. Sebut saja, masih kuatnya posisi dolar diantara mata uang lain. Alhasil, perlu adanya antisipasi dari sisi kebijakan di negara lain, termasuk Indonesia.
"Dolar itu yang paling kuat di dunia, karenanya kenapa di seluruh dunia, termasuk kami, harus betul-betul mempertahankan nilai tukar," kata dia.
Ini yang dihadapi seluruh negara di dunia. Diantaranya, pertumbuhan ekonomi yang melambat, inflasi yang tinggi, tingkat suku bunga atau Fed Fund Rate, dan posisi Dolar yang masih kuat.
"Komitmen kami bersama Menteri Keuangan untuk jaga ekonomi tetap stabil dan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi," ucapnya.
Andalkan Domestik
Pada kesempatan yang sama, Perry memperkirakan pertumbuhan ekonomi global masih melambat di 2024. Perkiraannya, ekonomi global hanya naik 2,7 persen tahun ini, dan 2,8 persen di tahun 2024.
"Masalahnya mitra dagang utama kita mengalami pelambatan, Amerika melambat ke 0,8 (persen), Tiongkok dari 5 persen tahun ini ke 4,6 persen, harapannya Jepang sedikit membaik dan India," urainya.
"dan karenanya memangbharus banyak mengandalkan dalam negeri untuk mendorong ekonomi kita karena ekonomi global melambat," imbuh Perry Warjiyo.
Advertisement
Modal Kuat Lewati Tantangan Global
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku optimistis Indonesia bisa melewati berbagai tantangan pertumbuhan ekonomi kedepannya. Mengingat, saat ini ekonomi global tengah bergejolak.
Dia mengungkap, salah satu modal kuat Indonesia adalah rasio utang yang dimiliki yang terus menurun. Kemudian, tingkat defisit anggaran dan juga ruang fiskal yang masih memadai.
Maka, modal-modal tadi dinilai mampu menguatkan posisi Indonesia menghadapi beragam tantangan kedepan.
"Alhamdulillah untuk Indonesia tadi dengan debt yang makin kita kelola menurun, defisit mengecil kita menciptakan fiscal space, sehingga ketika Indonesia dihadapkan pada berbagai guncangan insyaaAllah kita selalu memiliki cara meresponsnya," jelas dia dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, di Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Sri Mulyani menyebut, realisasi defisit anggaran di tahun 2022 menurun tajam dari tahun sebelumnya. Pada 2022 tercatat defisit anggaran sebesar Rp 460,4 triliun atau 2,35 persen.
Angka ini jauh dibawah prediksi defisit anggaran dalam APBN awal sebesar Rp 840,2 triliun. Sementara itu, di 2021 realisasi defisit anggaran mencapai sekitar Rp 775 triliun.
Jika dilihat dari sisi rasio utang pun, Sri Mulyani masih tetap percaya diri. Menurutnya, rasio utang Indonesia masih jauh lebih rendah ketimbang banyak negara lain.
Sebut saja, data rasio utang yang dikantonginya saat ini sebesar 37,5 persen. Jauh di bawah India dengan rasio utang diatas 80 persen.
Tantangan yang Tak Mudah
Pada kesempatan yang sama, Sri Mulyani mengungkap ada sejumlah tantangan yang dihadapi semua negara. Mulai dari kondisi geopolitik hingga perubahan iklim yang berdampak ke ekonomi.
"Tantangan pasca pandemi tidak lebih mudah. Dunia kompleks dengan geopolitik yang meruncing, perubahan iklim, dan juga digitalisasi yang menimbulkan dampak terhadap labor market dan pasar tenaga kerja," ungkapnya.
Bendahara Negara juga mencatat, ekonomi dunia melemah dengan inflasi yang masih relatif tinggi yang direspons dengan pengetatan moneter. Yakni adanya kenaikan suku bunga dan likuiditas yang semakin ketat.
"Ini menimbulkan debt distress di berbagai negara yang memiliki suku bunga meningkat dengan debt ratio yang tinggi dan fiscal space yang sangat kecil atau bahkan tidak ada. Sehingga mereka tidak bisa merespons berbagai guncangan yang masih akan terjadi," paparnya.
Advertisement