Jadi Negara Maju, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Harus Tembus 6%

Pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen diperlukan agar Indonesia bisa menjadi negara maju dan dapat menghindari middle-income trap

oleh Septian Deny diperbarui 29 Agu 2023, 20:40 WIB
Pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen diperlukan agar Indonesia bisa menjadi negara maju dan dapat menghindari middle-income trap. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Pascatiga tahun pandemi Covid-19 yang telah melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia, isu ekonomi kini mendapatkan sorotan utama dari pemilih Indonesia pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

Dalam rangkaian upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi pascapandemi, pemilihan calon pemimpin yang mampu mengatasi tantangan ekonomi menjadi semakin penting.

Sekretaris Jenderal BPP Hipmi Anggawira menyoroti berbagai aspek penting terkait isu ekonomi pada Pilpres 2024, salah satunya transformasi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) melalui digitalisasi.

“Negara yang maju memiliki banyak pengusaha, namun bukan hanya pengusaha mikro. UMKM harus memiliki kesempatan untuk naik kelas. Transformasi dan digitalisasi dapat menjadi kunci untuk percepatan transformasi UMKM, khususnya di sektor pertanian,” ujarnya dikutip Selasa (29/8/2023).

Anggawira juga mengapresiasi kepemimpinan Joko Widodo yang berhasil menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi Indonesia salah satunya melalui ekspor berbagai komoditas.

Pertumbuhan Ekonomi

“Pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen diperlukan agar Indonesia bisa menjadi negara maju dan dapat menghindari middle-income trap. Strategi kolaborasi dan stabilitas kepemimpinan Jokowi patut diapresiasi karena stabilitas merupakan kunci bagi pertumbuhan positif,” tuturnya.

Di sisi lain, situasi di lapangan, para pengusaha daerah dalam sektor swasta seringkali bersaing dengan BUMN dalam hal dukungan pendanaan. Anggawira menyoroti peranan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mencakup tidak hanya aspek finansial, tetapi juga lebih kepada Pelayanan Publik (PSO).

“Sebagai entitas yang seharusnya melayani kebutuhan publik, ukuran keberhasilan BUMN seharusnya bukan hanya keuntungan finansial saja, tetapi juga profitabilitas dalam arti yang lebih luas. Untuk mencapai hal ini, perlu adanya rumusan dan strategi bersama, sehingga Indonesia dapat terwujud sebagai entitas yang bersatu, dengan BUMN yang kuat berperan dalam meningkatkan daya saing nasional di pasar global,” tegasnya.

 


Suku Bunga

Sekretaris Jenderal BPP Hipmi Anggawira dalam diskusi ”Top Of Mind Isu Ekonomi Pada Pilpres 2024: Kalkulasi Pasangan Capres Cawapres Harapan Pengusaha.

Anggawira juga mengangkat isu suku bunga yang masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Ia menyatakan bahwa langkah perlahan untuk mengurangi suku bunga perlu diambil ke depan agar roda pembangunan seperti hilirisasi dan industrialisasi dapat berjalan lebih cepat.

“Terkait tingginya suku bunga, kita perlu merumuskan solusi, termasuk formulasi subsidi bunga dan kredit, perlu ada skema perbankan yang mendukung program hillirisasi kita," ujar Anggawira yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo).

Dengan berbagai pandangan yang dihadirkan oleh para narasumber, masyarakat Indonesia akan mendapatkan wawasan lebih dalam tentang peran ekonomi dalam Pilpres 2024 dan bagaimana hal ini dapat membentuk arah pembangunan ekonomi di masa depan.

“Kita belajar dari Pilpres sebelumnya tentang kondusifitas dan harapannya adanya keberlanjutan dari berbagai platfom pembangunan yang ada. Harapannya ada isu ekomoni yang dirumuskan oleh Capres dan Cawapres kita nanti secara detail sehingga itu bisa menjadi bahan kami didunia usaha untuk menggali potensinya,” tutupnya.


Indonesia Punya Modal Penting Hadapi Gejolak Ekonomi Global, Apa Saja?

Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 menjadi minus 1,5 persen pada Oktober, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada Juni sebesar minus 0,3 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku optimistis Indonesia bisa melewati berbagai tantangan pertumbuhan ekonomi kedepannya. Mengingat, saat ini ekonomi global tengah bergejolak.

Dia mengungkap, salah satu modal kuat Indonesia adalah rasio utang yang dimiliki yang terus menurun. Kemudian, tingkat defisit anggaran dan juga ruang fiskal yang masih memadai.

Maka, modal-modal tadi dinilai mampu menguatkan posisi Indonesia menghadapi beragam tantangan kedepan.

"Alhamdulillah untuk Indonesia tadi dengan debt yang makin kita kelola menurun, defisit mengecil kita menciptakan fiscal space, sehingga ketika Indonesia dihadapkan pada berbagai guncangan insyaaAllah kita selalu memiliki cara meresponsnya," jelas dia dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, di Jakarta, Selasa (29/8/2023).

Defisit AnggaranSri Mulyani menyebut, realisasi defisit anggaran di tahun 2022 menurun tajam dari tahun sebelumnya. Pada 2022 tercatat defisit anggaran sebesar Rp 460,4 triliun atau 2,35 persen.

Angka ini jauh dibawah prediksi defisit anggaran dalam APBN awal sebesar Rp 840,2 triliun. Sementara itu, di 2021 realisasi defisit anggaran mencapai sekitar Rp 775 triliun.

Jika dilihat dari sisi rasio utang pun, Sri Mulyani masih tetap percaya diri. Menurutnya, rasio utang Indonesia masih jauh lebih rendah ketimbang banyak negara lain.

Sebut saja, data rasio utang yang dikantonginya saat ini sebesar 37,5 persen. Jauh di bawah India dengan rasio utang diatas 80 persen.

 

 


Tantangan yang Tak Mudah

Suasana gedung pencakar langit di Jakarta, Selasa (15/11/2022). Berdasarkan data Kementerian Investasi, ekonomi AS per kuartal III adalah 1,8%, sementara ekonomi Korea Selatan adalah 3,1%. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pada kesempatan yang sama, Sri Mulyani mengungkap ada sejumlah tantangan yang dihadapi semua negara. Mulai dari kondisi geopolitik hingga perubahan iklim yang berdampak ke ekonomi.

"Tantangan pasca pandemi tidak lebih mudah. Dunia kompleks dengan geopolitik yang meruncing, perubahan iklim, dan juga digitalisasi yang menimbulkan dampak terhadap labor market dan pasar tenaga kerja," ungkapnya.

Bendahara Negara juga mencatat, ekonomi dunia melemah dengan inflasi yang masih relatif tinggi yang direspons dengan pengetatan moneter. Yakni adanya kenaikan suku bunga dan likuiditas yang semakin ketat.

"Ini menimbulkan debt distress di berbagai negara yang memiliki suku bunga meningkat dengan debt ratio yang tinggi dan fiscal space yang sangat kecil atau bahkan tidak ada. Sehingga mereka tidak bisa merespons berbagai guncangan yang masih akan terjadi," paparnya.

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya