Apakah Persentuhan Kulit Perempuan dan Laki-laki Membatalkan Wudhu?

Hukum bersentuhan kulit antara lawan jenis setelah berwudhu.

oleh Putry Damayanty diperbarui 30 Agu 2023, 20:30 WIB
Ilustrasi toilet. Sumber foto: unsplash.com/Tim Mossholder.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam lingkaran cendekiawan agama, khususnya di kalangan ulama, terlihat perbedaan yang khas dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Salah satu contoh yang mencolok adalah perbedaan interpretasi tentang QS. Al Maidah ayat 6

Pada ayat tersebut dengan kalimat “aw lamastumu al nisa” (persentuhan kulit), mengundang berbagai pemahaman dan pandangan beragam di antara para ulama yang berusaha untuk menguraikan maksud sebenarnya. Melansir dari laman muhammadiyah.or.id, menjelaskan bahwa Ali dan Ibnu Abbas merupakan dua tokoh ulama terkemuka, yang memiliki pandangan mengarah pada dimensi yang lebih intim. 

Mereka berpegang pada pandangan bahwa maknaaw lamastumu al nisa adalah bersetubuh. Perspektif ini memandang bahwa sentuhan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks hubungan suami-istri adalah bagian dari relasi yang alami dan diakui dalam norma kehidupan berkeluarga.

Namun, sudut pandang yang berbeda muncul dari Umar bin Khattab dan Ibnu Mas'ud. Mereka mengartikan ayat ini sebagai persentuhan kulit, lebih mengarah pada sentuhan fisik yang mungkin lebih ringan atau tidak berhubungan dengan hubungan seksual.

Ini memberi dimensi baru pada makna ayat tersebut, lebih menekankan pada aspek ketertiban dan batas-batas pergaulan.

 

Saksikan Video Pilihan ini:


Pandangan Hukum dari Keempat Mazhab 

Perbedaan ini kemudian mengarah pada pandangan berbeda terkait batalnya wudhu akibat persentuhan tersebut. Ulama-ulama dari mazhab Hanafiyah, menganut pandangan pertama, yaitu bahwa persentuhan kulit laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini menganggap bahwa sentuhan semacam itu masih dalam lingkup yang diperbolehkan dalam ritual keagamaan.

Namun, ulama-ulama dari mazhab Hambaliyah dan Syafiiyah memiliki pandangan berbeda. Mereka berpendapat bahwa persentuhan seperti itu membatalkan wudhu dan memerlukan pengulangan. Pandangan ini mendasarkan pada interpretasi mereka terhadap makna ayat dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi kesucian individu dalam perspektif keagamaan.

Lalu, ada juga pandangan ulama Malikiyah, yang beranggapan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan perempuan hanya membatalkan wudhu jika menimbulkan syahwat, yaitu rangsangan seksual. Ini menunjukkan nuansa yang lebih halus dalam penafsiran dan penerapan hukum keagamaan, dengan mempertimbangkan faktor-faktor psikologis dan emosional.

Dalam sejarah, suatu peristiwa menarik perhatian diceritakan pada malam di mana ‘Aisyah, istri Nabi, kehilangan sang suami dari tempat tidur. Dalam pencariannya, ia merabanya dan secara fisik merasakan kaki Nabi yang sedang sujud. Ini diberikan sebagai contoh konkret dalam mendukung pandangan bahwa persentuhan semacam itu tidak membatalkan wudhu.

“Pada suatu malam saya kehilangan Rasulullah Saw dari tempat tidur, kemudian saya merabanya dan tanganku memegang dua telapak kaki Rasulullah yang sedang tegak karena beliau sedang sujud” (HR. Muslim dan at Tirmidzi serta menshahihkannya).

Melalui berbagai sudut pandang ulama ini, kita melihat betapa kompleksnya proses penafsiran dan penerapan hukum dalam kehidupan beragama. Perbedaan dalam interpretasi ayat-ayat suci menggambarkan keragaman dalam pemikiran dan pandangan yang menghasilkan berbagai pendekatan dalam menjalankan praktik keagamaan sehari-hari.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya