Jokowi: 96 Negara Jadi “Pasien” IMF, Tantangan Dunia Makin Tak Mudah

Presiden Joko Widodo (Jokowi) prediksi tantangan yang dihadapi dunia pada era endemi malah semakin sulit meski Indonesia mampu melampaui masa krisis pandemi COVID-19.

oleh Agustina Melani diperbarui 30 Agu 2023, 18:13 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan sekitar 96 negara menjadi “pasien” Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF). (Dok Biro Pers Sekretariat Presiden RI)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan sekitar 96 negara menjadi “pasien” Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF). Hal ini mengingat berbagai tantangan global pada era endemi COVID-19.

Melihat kondisi itu, Jokowi menilai tantangan dunia semakin tidak mudah. "Saya bertanya kepada managing director-nya IMF, terakhir berapa negara yang jadi pasiennya IMF? 96 negara, hampir separuh negara di dunia sekarang ini menjadi pasiennya IMF. Artinya sekali lagi, tantangan dunia saat ini semakin tidak mudah,” ujar Jokowi saat buka Mahasabha XIII KMDHI di Universitas Tadulako, Palu, dikutip dari Antara, Rabu (30/8/2023).

Jokowi prediksi tantangan yang dihadapi dunia pada era endemi justru semakin sulit meski Indonesia mampu melampaui masa krisis pandemi COVID-19 yang melanda selama tiga tahun dengan baik.

Jokowi menuturkan, tidak sedikit pula ekonomi sejumlah negara di dunia yang ambruk setelah beberapa saat melampaui masa krisis pandemi COVID-19.

"Krisis ekonomi bisa mengatasi pandeminya, tapi tidak bisa mengatasi ekonominya. Krisis pangan bisa diatasi, tapi pangan harganya di banyak negara naik lebih dari 50 persen, ada yang lebih dari 100 persen,” ujar dia.

Selain itu, Jokowi menyoroti situasi negara Uni Eropa yang saat ini dilanda krisis energi. “Krisis energi di beberapa negara Uni Eropa, gas, BBM naik, bahkan ada yang sampai 700 persen. Kita kalau dinaikkan (harga) bensin 10 persen saja, mahasiswa saja demonya 2 bulan, naik 20 persen demonya 6 bulan. Itu ada yang naik (harga) gas sampai 700 persen,” ujar dia.

Jokowi menuturkan, tantangan global yang kini belum mereda adalah rivalitas dan geopolitik akibat pengaruh perang Rusia dan Ukraina.

“Bukan hanya di kawasan barat, perang Rusia dan Ukraina, tetapi juga di dekat kita juga mulai memanas,” tutur dia.

Selain itu, Jokowi mengingatkan perubahan iklim yang saat ini dampaknya mulai dirasakan hampir semua negara.

“Yang biasanya dingin, jadi panas, yang biasanya panas jadi lebih panas. Gelombang panas, Super El Nino, sebuah hal yang harus kita sikapi dengan bijak,” tutur dia.


IMF: Inflasi dan Utang Masih Menjadi Tantangan Ekonomi Global

IMF (IMF)

Sebelumnya, dikutip dari Kanal Bisnis Liputan6.com, Dana Moneter Internasional (IMF) menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global di 2023 dari 2,8 persen menjadi 3 persen.

Prospek ekonomi dunia IMF untuk tahun depan tidak berubah, tetapi organisasi tersebut memperingatkan bahwa masih banyak tantangan yang membayangi perekomonian dunia, terutama inflasi dan utang.

Kepala divisi Studi Ekonomi Dunia di Departemen Riset IMF, Daniel Leigh mengungkapkan bahwa telah terjadi pertumbuhan yang "berbeda" antara ekonomi maju dan berkembang.

"Ekonomi maju adalah yang memimpin perlambatan. 93 persen negara maju pertumbuhannya lebih lambat tahun ini dibandingkan tahun depan," kata Daniel Leigh, dikutip dari Channel News Asia, Jumat (28/7/2023).

"Kami mengalami penurunan pertumbuhan dari 2,7 menjadi 1,5 persen untuk ekonomi maju. Beberapa di antaranya, seperti Jerman, malah mengalami pertumbuhan negatif," bebernya.

Sebaliknya, pasar negara berkembang memiliki pertumbuhan yang lebih stabil yang diperkirakan akan menembus 4 persen tahun depan.

Inflasi globalSementara inflasi global, turun lebih cepat dari yang diperkirakan, dari 8,7 persen pada 2022 menjadi 6,8 persen tahun ini.

IMF telah merevisi proyeksi inflasinya sedikit menurun untuk memperhitungkan China, yang merupakan seperlima dari ekonomi dunia, dan yang tingkat inflasinya di bawah target, ungkap Leigh.

Ia menambahkan, penurunan inflasi akan berlanjut pada tahun depan, namun baru mendekati level target pada tahun 2025 atau 2026.

"Ada beberapa kasus dalam sejarah di mana bank sentral memberhentikan pertarungan terlalu cepat, hanya untuk melihat ekspektasi semacam normalisasi di atas level target, dan kemudian jauh lebih sulit untuk melawannya nanti," jelasnya.

"Inflasi bisa lebih berat dari yang diharapkan, dan kemudian kita harus memiliki tingkat pengetatan, pendinginan pasar perumahan dan pertumbuhan yang melambat, bahkan lebih dari yang kita harapkan," imbuh Leigh.

 


Beban Utang

(Foto: aim.org)

Leigh juga menyoroti bagiaman utang di berbagai negara menjadi sumber perhatian, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah.

"Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dan suku bunga yang lebih tinggi berarti bahwa beberapa dari mereka – sebenarnya lebih dari setengah – hampir gagal bayar atau sudah dalam krisis utang," ungkapnya.

Leigh mengatakan bahwa di Asia, utang dan leverage perusahaan sudah meningkat sebelum pandemi.

"Tetapi sekarang dengan pertumbuhan yang lebih lambat dan tingkat yang lebih tinggi, hal itu menjadi semakin terkonsentrasi di sektor-sektor di mana perusahaan (memiliki) risiko kebangkrutan yang tinggi. Jadi ini merupakan kerentanan," kata Leigh.

Sektor perbankan di Asia dikapitalisasi dengan baik, jadi jika mereka mengambil kerugian dari perusahaan-perusahaan ini yang berpotensi gagal bayar, mereka seharusnya dapat menyerapnya, kata Leigh. Namun, pengawas keuangan tetap harus waspada.

 


Ekonomi Global Diramal IMF Bakal Tumbuh Segini pada 2023

Dana Moneter Internasional menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global, berubah sedikit lebih positif meskipun China masih menghadapi momentum perlambatan.

Melansir CNBC International, Rabu (26/7/2023) IMF dalam laporan World Economic Outlook terbarunya menaikkan prediksi pertumbuhan ekonomi global 2023 sebesar 0,2 poin persentase menjadi 3 persen.

Ini menandai kenaikan dari proyeksi pertumbuhan 2,8 persen pada bulan April 2023. Sementara itu, IMF mempertahankan perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2024 mendatang sebesar 3 persen.

Dari sisi inflasi, badan tersebut juga memperkirakan perbaikan dari tahun lalu.

Inflasi utama global diproyeksikan mencapai 6,8 persen tahun ini, turun dari 8,7 persen pada 2022. Namun, laju inflasi inti, yang tidak termasuk barang-barang volatil, diprediksi akan lebih lambat menjadi 6 persen tahun ini, dari 6,5 persen tahun lalu.

"Ekonomi global terus pulih secara bertahap dari pandemi dan invasi Rusia ke Ukraina. Dalam waktu dekat, tanda-tanda kemajuan tidak dapat disangkal," kata Pierre-Olivier Gourinchas, kepala ekonom IMF, dalam sebuah postingan blog.

"Namun banyak tantangan yang masih membayangi cakrawala, dan masih terlalu dini untuk merayakannya," tambahnya.

IMF menyoroti kekhawatiran dengan kondisi kredit yang lebih ketat, tabungan rumah tangga yang terkuras di AS dan pemulihan ekonomi yang lebih dangkal dari perkiraan di China imbas lockdown Covid-19.

"Di Amerika Serikat, kelebihan tabungan dari transfer terkait pandemi, yang membantu rumah tangga mengatasi krisis biaya hidup dan kondisi kredit yang lebih ketat, semuanya habis. Di China, pemulihan setelah pembukaan kembali ekonominya menunjukkan tanda-tanda kehilangan tenaga di tengah berlanjutnya kekhawatiran tentang sektor properti, dengan implikasi terhadap ekonomi global," jelas Gourinchas.

 

Infografis IMF Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Baik (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya