Liputan6.com, Jakarta - Bukan rahasia lagi anak muda Korea Selatan kian menghindari pernikahan dan menjadi orangtua. Hal ini ditunjukkan dari penurunan drastis angka kelahiran di Negeri Ginseng.
Dikutip dari CNN, Rabu, 30 Agustus 2023, laporan baru pemerintah Korea Selatan menekankan tren tersebut meningkat tajam selama satu dekade terakhir. Ini lantas menimbulkan masalah demografis bagi negara ini di tahun-tahun mendatang.
Advertisement
Laporan yang menyurvei penduduk berusia antara 19 hingga 34 tahun setiap dua tahun tersebut resmi dirilis pada Senin, 28 Agustus 2023 oleh Badan Statistik resmi Korea. Temuan survei menjelaskan bahwa hanya 36,4 persen responden yang disurvei tahun lalu mengatakan mereka memiliki persepsi positif terhadap pernikahan.
Angka tersebut diketahui turun dari 56,5 persen pada 2012. Penurunan ini mencerminkan meningkatnya tekanan terhadap anak muda Korea Selatan, termasuk permasalahan ekonomi seperti harga tempat tinggal yang tidak terjangkau dan meningkatnya biaya hidup.
Alasan umum yang disebutkan dalam laporan mengenai anak muda yang tidak menikah adalah karena tidak mempunyai cukup uang untuk menikah. Hasil sepertiga responden yang punya persepsi positif terhadap pernikahan didominasi pria, sedangkan hanya 28 persen perempuan yang menanggapi positif.
Temuan tersebut memunculkan berbagai alasan. Banyak perempuan Korea Selatan yang menyebut kepada CNN di 2019 bahwa mereka punya kekhawatiran akan keamanan saat berkencan. Ketakutan kaum Hawa ini diperburuk oleh berita terkenal tentang kejahatan seks, voyeurisme, dan diskriminasi gender.
Alasan Anggap Menikah Kurang Penting
Perempuan masa kini kian melesat dengan karier dan pendidikannya. Ketika memilih menikah, mereka mungkin harus berkompromi dengan karier atau pendidikan mereka, terutama mengingat norma gender yang sudah mengakar dan kesulitan untuk kembali bekerja setelah melahirkan, menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Hal ini berarti banyak perempuan berpendidikan dan memiliki pekerjaan tetap, malah menunda pernikahan dan menjadi orangtua. Bahkan ada kata "bihon" yang mengacu pada perempuan yang memilih untuk tidak menikah.
Laporan Statistik Korea menemukan bahwa sikap responden terhadap persalinan juga sama buruknya. Dari responden yang disurvei pada 2022, lebih dari setengahnya mengatakan mereka tidak melihat pentingnya memiliki anak, bahkan setelah menikah.
Jumlah temuan tak ingin memiliki buah hati terus meningkat sejak 2018. Namun seiring dengan pergeseran pandangan konservatif di Korea Selatan, gagasan tentang single parenting kini semakin populer.
Hampir 40 persen responden mengatakan mereka bisa memiliki anak tanpa menikah. Ini adalah sebuah hal yang menyimpang dari norma tradisional di Korea Selatan.
Advertisement
Tingkat Kesuburan yang Rendah
Meski memiliki bayi merupakan hal yang sangat diharapkan oleh pasangan yang menikah di Korea Selatan, sebagian besar masyarakat masih tidak menyukai orangtua tunggal. in vitro fertilization (IVF) atau bayi tabung tidak ditawarkan kepada perempuan lajang, menurut angka resmi rumah sakit.
Sementara itu, pasangan yang menjalin hubungan di luar norma juga menghadapi diskriminasi. Korea Selatan tidak mengakui pernikahan sesama jenis dan peraturannya mempersulit pasangan yang tidak menikah untuk mengadopsi anak.
Namun para ahli mengatakan pihak berwenang mungkin perlu mengubah sikap ini sesegera mungkin. Hal tersebut dilakukan untuk membawa negara ini keluar dari krisis demografi yang mengancam.
Tahun lalu, tingkat kesuburan Korea Selatan jadi yang terendah di dunia, turun ke rekor terendah 0,78. Bahkan angkanya tidak setengah dari 2,1 yang diperlukan untuk menjaga populasi stabil.
Angka tersebut bahkan jauh di bawah Jepang (1,3). Upaya untuk memperbaiki masalah sejauh ini terbukti tidak efektif. Pemerintah telah menghabiskan lebih dari 200 miliar dolar AS selama 16 tahun terakhir untuk mendorong lebih banyak orang untuk memiliki anak, namun tidak banyak membuahkan hasil.
Zona Bebas Anak Tengah Meluas di Korea Selatan
Rendahnya tingkat kelahiran di Korea Selatan memunculkan berbagai fenomena. Salah satunya "No Kids Zone," begitu bunyi pengumuman yang dilaporkan muncul di banyak tempat umum di Korea Selatan, terutama ibu kotanya, Seoul. Sesuai namanya, tanda itu berarti suatu tempat, yang kebanyakan merupakan kafe, perpustakaan, dan galeri seni, melarang anak-anak masuk ke sana.
Zona bebas anak disebut telah membuat para orangtua di Negeri Ginseng frustrasi. Di jagat maya, situasi ini dianggap akan memengaruhi tingkat keramahan wilayah itu sebagai tujuan liburan keluarga, kendati sampai sekarang belum ada dampak signifikan yang dilaporkan.
Dalam antisipasinya, baru Pulau Jeju yang akan memberlakukan aturan larangan pemilik perusahaan, terutama restoran atau kafe, menetapkan bisnis mereka sebagai zona bebas anak. Mengutip Korea Times, 10 Mei 2023, pulau tersebut akan jadi wilayah pertama yang memiliki peraturan seperti itu.
Di antara yang menentang zona bebas anak adalah anggota parlemen Korea Selatan, Yong Hye In. Dilansir dari Japan Today, Sabtu, 29 Juli 2023, Yong bercerita meninggalkan rumah setelah melahirkan dan menangis ketika ditolak masuk ke kafe karena bayinya.
Pengalaman itu memberi Yong sebuah misi baru: memberantas "zona bebas anak" yang sedang berkembang di Korea Selatan. Di negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia, munculnya semakin banyak fasilitas yang melarang anak-anak membuat marah para orangtua seperti Yong.
Katanya, aturan ini juga secara tidak sengaja menggagalkan kebijakan pemerintah negara itu yang berupaya meningkatkan angka kelahiran bayi selama beberapa dekade. Seoul telah menggelontorkan ratusan miliar dolar untuk mendorong warga Korea Selatan memiliki lebih banyak anak.
Advertisement