Liputan6.com, Jakarta - Sekitar 10 tahun lalu, ibu kota China sering kali diselimuti kabut asap berwarna kuning dan abu-abu. Saking tebal, polusi udara itu menutupi hampir semua hal dari pandangan. Orang-orang mengunci jendela, memakai masker, dan menyalakan alat pembersih udara untuk menghindari apa yang dikenal sebagai "kiamat udara bersih" di Beijing.
Kualitas udara saat itu sangat buruk, dan jadi terkenal secara global, sehingga para pemimpin Tiongkok melancarkan "perang melawan polusi" bernilai miliaran dolar AS. Satu dekade kemudian, dilansir dari CNN, Kamis, 31 Agustus 2023, upaya tersebut membuahkan hasil.
Advertisement
Tingkat polusi di China pada 2021 turun 42 persen dibandingkan tahun 2013, menurut sebuah laporan baru yang dirilis pada Selasa, 29 Agustus 2023. Catatan ini menjadikannya kisah sukses yang jarang terjadi, terutama di wilayah Asia Selatan.
Laporan Indeks Kualitas Udara tahunan, yang dilaporkan Institut Kebijakan Energi di Universitas Chicago, memuji "keberhasilan luar biasa Tiongkok dalam memerangi polusi." Tingkat polusi secara global telah sedikit menurun dari tahun 2013 hingga 2021, yang menurut laporan tersebut "sepenuhnya disebabkan keberhasilan Tiongkok."
Tanpa perbaikan yang dilakukan China, rata-rata polusi dunia akan meningkat. Peningkatan ini berarti umur rata-rata warga Tiongkok kini 2,2 tahun lebih panjang, kata laporan itu. Kota-kota di China dulunya mendominasi peringkat global dalam hal kualitas udara terburuk di dunia.
Pada 2021, Beijing mencatat kualitas udara bulanan terbaiknya sejak pencatatan dimulai pada 2013. "'Beijing blue' secara bertahap telah jadi kondisi normal baru," kata Menteri Lingkungan Hidup negara tersebut saat itu, melansir media pemerintah.
Masih Punya PR
Kendati demikian, laporan tersebut memperingatkan, ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan karena China masih jadi negara paling tercemar ke-13 di dunia. Disebutkan bahwa polusi partikulat di Beijing, polutan kecil namun sangat berbahaya, masih 40 persen lebih tinggi dibandingkan di wilayah paling tercemar di Amerika Serikat.
Meski tingkat polusi partikulat di China berada dalam standar nasional, namun angka tersebut "secara signifikan melebihi" pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kata laporan itu. Kemajuan yang dicapai China menunjukkan bahwa perubahan mungkin terjadi, jika pemerintah dan rakyatnya mau dan mampu mengupayakannya.
Misalnya, laporan tersebut mengatakan, sejak 2014, pemerintah Tiongkok telah membatasi jumlah mobil di jalan raya di kota-kota besar. Pihaknya pun melarang pembangkit listrik tenaga batu bara baru di wilayah yang paling tercemar dan mengurangi emisi atau menutup pabrik yang ada.
Mereka juga mengurangi aktivitas industri yang berpolusi tinggi, seperti pembuatan besi dan baja. "Yang mendasari tindakan-tindakan tersebut adalah unsur-unsur yang sama: kemauan politik dan sumber daya, baik manusia maupun finansial, yang saling memperkuat," kata laporan itu.
Advertisement
Polusi Udara Kurangi Angka Harapan Hidup
Di laporan yang sama, tercatat bahwa polusi udara telah mengurangi rata-rata angka harapan hidup hingga 2,3 tahun secara global. Institut Kebijakan Energi di Universitas Chicago itu kemudian mencatat hubungan antara menghirup udara kotor dengan risiko kesehatan.
Mereka menemukan bahwa bahaya yang ditimbulkan polusi udara setara dengan merokok, dan berdampak tiga kali lebih buruk daripada konsumsi alkohol atau mengonsumsi air yang terkontaminasi. Dampak ini bahkan melebihi risiko yang disebabkan kecelakaan mobil sebanyak lima kali lipat.
Melansir New York Post, 29 Agustus 2023, Afika dan Asia menyumbang lebih dari 92 persen penurunan harapan hidup di seluruh dunia. Di daerah-daerah tersebut, polusi udara kini setara dengan ancaman HIV/AIDS dan malaria bagi kesehatan publik. Ditambah, belum tersedia infrastruktur yang cukup untuk memperbaiki kualitas udara.
"Sebanyak 75 persen dampak polusi udara pada harapan hidup global terkonsentrasi di enam negara, yaitu Bangladesh, India, Pakistan, China, Nigeria, dan India, di mana warganya kehilangan antara satu hingga enam tahun hidup akibat kualitas udara yang mereka hirup," kata Michael Greenstone, pendiri Indeks Kehidupan Kualitas Udara dan profesor ekonomi, dalam sebuah pernyataan.
Alokasikan Dana untuk Atasi Polusi Udara
Para peneliti melihat situasi ini sebagai kesempatan mengalokasikan lebih banyak dana dalam rangka membangun infrastruktur untuk mengatasi polusi udara yang saat ini belum ada, sebut Christa Hasenkopf, kepala program kualitas udara di Energy Policy Institute dan AQLI.
Menurut Hasenkopf, ketersediaan data kualitas udara yang akurat, dapat diandalkan, dan terbuka bagi publik adalah esensi dari upaya masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan udara yang lebih bersih. Ini juga memberi wawasan yang sebelumnya tidak dimiliki publik dan pemerintah, yang akhirnya akan memfasilitasi kebijakan yang lebih berpihak pada menciptakan udara bersih untuk semua orang.
WHO sbeleumnya memperkirakan bahwa 99 persen populasi dunia menghirup udara yang mungkin berbahaya. "Setelah menghadapi pandemi, adalah sebuah tragedi melihat 7 juta kematian yang bisa dicegah, serta banyaknya kerugian kesehatan tahunan akibat polusi udara," ucap Dr. Maria Neira, direktur Departemen Kesehatan Publik dan Lingkungan WHO.
Sayangnya, menurut Neira, lebih banyak dana dialokasikan untuk "menciptakan" lingkungan berpolusi daripada upaya menciptakan udara yang sehat dan bersih.
Advertisement