Liputan6.com, Jakarta Kualitas udara yang buruk di Jakarta dan sekitarnya dapat berpengaruh buruk pada kesehatan. Sadar akan bahaya polusi udara, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengambil pelajaran soal penanganan polusi udara dari China.
Menurutnya, Negeri Tirai Bambu menangani polusi udara dengan alat yang canggih, salah satunya gas chromatography–mass spectrometry (GC–MS).
Advertisement
Untuk menggunakan alat serupa, maka diperlukan pembelajaran dari China terlebih dahulu, kata Budi.
“GC-MS kan meniru dari China, jadi ketika ini kejadian, saya meminta teman-teman mempelajari dari China,” ucap Budi usai Launching Nasional Integrasi Layanan Primer dan Penguatan Perencanaan Pembangunan Kesehatan di Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Upaya China dalam menanggulangi polusi udara sejalan dengan data yang dimiliki Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
WHO dalam topik kesehatan lingkungan menjelaskan bahwa polutan yang paling berbahaya bagi kesehatan adalah PM2.5.
“Kan kesehatan lingkungan tuh ada kesehatan air, kesehatan tanah, dan kesehatan udara. Nah kalau kesehatan udara guideline-nya WHO ada enam yang diukur. Empat dalam bentuk gas, kalau enggak salah ada ozon, co (karbon monoksida), no2 (nitrogen dioksida), dan so2 (sulfur dioksida).”
“Dua dalam bentuk material, particulate matters (PM) lah mereka bilangnya. Itu yang PM10 sama PM2.5 mikron. Nah yang paling bahaya di kesehatan yang PM2.5 karena bisa masuk ke dalam tuh, kecil sekali, bisa masuk ke paru,” jelas Budi.
PM2.5 Sulit Dideteksi Sumbernya
Mengingat bahaya PM2.5, maka penting untuk mengetahui sumbernya. Sayangnya, untuk mengetahui sumber PM2.5 tidaklah mudah.
Pasalnya, PM2.5 bisa datang dari berbagai macam sumber, biasanya dari pembakaran karbon. Bisa dari pembakaran sampah, bensin, solar, dan pembakaran lainnya.
Perbedaan sumber ini menjadi penyebab sulitnya intervensi. Pasalnya, dalam melakukan intervensi yang tepat, maka perlu diketahui terlebih dulu sumber masalahnya.
“Kalau satu daerah tinggi PM2.5-nya, kadang-kadang kita sulit mengidentifikasi penyebabnya yang mana. Apa mobil, pabrik, pembangkit listrik. Itu kan susah dan kadang-kadang saling menyalahkan.”
Advertisement
Deteksi Sumber PM2.5 Sudah Bisa Dilakukan di China
Namun, di Negeri Tirai Bambu, hal seperti ini sudah bisa diketahui dengan alat.
“Di China udah punya alatnya, setiap partikel PM2.5 ini kita perlu ukur dari tiga aspek. Bentuknya, beratnya, sama jenis kimianya. Nah beratnya diukurnya pakai GC-MS, bentuknya diukur pakai X-ray, dan kimianya pakai infrared.”
“Jadi kalau kita punya tiga alat ini, GC-MS, X-ray, dan Infrared, kita bisa tahu beratnya, bentuknya, sama senyawa kimianya. Kalau kita tahu tiga hal ini maka kita bisa tahu asal PM2.5-nya dari mana.”
Budi memberi contoh, jika di Bekasi ditemukan banyak PM2.5 maka bisa diteliti berat, bentuk, dan senyawa kimianya. Misal, jika ternyata PM2.5 berasal dari pembakaran sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang, maka yang perlu dibereskan adalah TPA-nya.
“Makanya di China tuh mereka bisa lebih tepat program intervensinya karena mereka tahu sumber polutannya,” Budi menjelaskan.
Alat di Indonesia Masih Gunakan Teknologi Lama
Sayangnya, tidak seperti di China, alat pendeteksi udara di Indonesia masih menggunakan teknologi lama.
Selama ini, puskesmas memang memiliki fungsi kesehatan lingkungannya yang dilengkapi dengan alat. Sayangnya, alat tersebut bukan alat tercanggih.
“Di puskesmas sebenarnya ada sanitarian kit, itu yang kita minta untuk fokus. Cuma sanitarian kit ini seringnya dipakai di dalam. Nah itu yang sekarang kita pelajari,” kata Budi.
Budi menambahkan, sanitarian kit adalah alat lama, sementara di era sekarang sudah ada alat baru yang menggunakan teknologi digital yang bisa dipasang di puskesmas.
“Sekarang saya sedang minta review, alat-alat apa sih yang paling bagus untuk dipasang di puskesmas karena toh kita ada dananya. Memang nanti apapun datanya, itu harus terintegrasi dengan data Kementerian Kesehatan,” ujar Budi.
Advertisement