Liputan6.com, Libreville - Perwira militer yang merebut kekuasaan melalui kudeta di Gabon pada Rabu (30/8/2023) telah menunjuk Jenderal Brice Oligui Nguema (48) sebagai pemimpin transisi negara tersebut. Jenderal Nguema sebelumnya diangkut dengan penuh kemenangan melalui jalan-jalan ibu kota Libreville oleh pasukannya.
Gabon, yang merupakan mantan koloni Prancis, merupakan salah satu produsen minyak terbesar di Afrika.
Advertisement
Dalam perkembangan lain, Uni Afrika telah menangguhkan partisipasi Gabon dalam semua kegiatannya pasca kudeta militer. Mereka mengutuk keras pengambilalihan kekuasaan dari Presiden Ali Bongo Ondimba.
Penggulingan Ali Bongo mengakhiri 55 tahun kekuasaan keluarganya di negara Afrika Tengah tersebut.
Kudeta militer Gabon terjadi tidak lama setelah hasil pemilu menunjukkan kemenangan bagi Ali Bongo. Namun, setelah mengumumkan pengambilalihan kekuasaan, pengudeta membatalkan hasil pemilu dengan alasan diwarnai kecurangan.
Para pengudeta juga mengatakan bahwa mereka telah menangkap salah seorang putra Ali Bongo atas tuduhan makar.
Dalam beberapa jam, para jenderal menggelar pertemuan untuk membahas siapa yang akan memimpin transisi. Pada akhirnya mereka dengan suara bulat menyetujui menunjuk Jenderal Nguema, yang merupakan mantan kepala pengawal presiden.
Jenderal Nguema mengatakan kepada surat kabar Prancis Le Monde bahwa rakyat Gabon sudah muak dengan pemerintahan Ali Bongo dan dia seharusnya tidak mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga.
"Semua orang membicarakan hal ini tetapi tidak ada yang bertanggung jawab," katanya seperti dilansir BBC, Jumat (1/9). "Jadi, tentara memutuskan untuk membalik halaman."
Massa di Libreville dan tempat lain dilaporkan merayakan deklarasi tentara tersebut. Namun kudeta tersebut dikutuk oleh PBB dan Prancis, yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga Ali Bongo.
Rakyat Gembira
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mendesak militer Gabon untuk mempertahankan pemerintahan sipil dan membebaskan serta menjamin keselamatan anggota pemerintahan. Adapun Inggris mengutuk pengambilalihan kekuasaan secara inkonstitusional oleh militer.
Kebencian terhadap keluarga Ali Bongo disebut telah lama membara dan terdapat ketidakpuasan masyarakat atas sejumlah isu yang lebih luas seperti biaya hidup. Keluarga Ali Bongo sendiri telah memerintah Gabon selama hampir 56 tahun.
"Awalnya saya takut, tapi kemudian saya merasa gembira," kata seorang warga Libreville, yang tidak ingin disebutkan namanya, kepada BBC. "Saya takut karena menyadari bahwa saya sedang di tengah kudeta, namun kegembiraannya adalah karena kami telah menunggu begitu lama hingga rezim ini digulingkan."
Jenderal Nguema tidak hadir dalam pernyataan pertama yang dibacakan oleh perwira senior militer di televisi nasional saat mengumumkan kudeta. Jenderal Nguema cukup lama menjadi ajudan dari Omar Bongo, ayah dari Ali Bongo, yang memerintah selama hampir 42 tahun hingga kematiannya pada tahun 2009.
Di bawah kepemimpinan Ali Bongo, Jenderal Nguema pertama kali bekerja sebagai atase militer di Kedutaan Besar Gabon di Maroko dan Senegal. Dia kemudian menggantikan saudara tiri Ali Bongo sebagai kepala Garda Republik Gabon pada Oktober 2019.
Garda Republik merupakan unit pasukan elite yang bertugas melindungi presiden, keluarganya, dan tokoh-tokoh penting lainnya.
Advertisement
Kecurangan Pemilu
Seperti pemilu sebelum-sebelumnya di Gabon, terdapat kekhawatiran serius mengenai proses pilpres pada Sabtu (26/8).
Kandidat utama oposisi Albert Ondo Ossa mengeluhkan bahwa banyak TPS tidak memiliki surat suara yang mencantumkan namanya, sementara koalisi yang dia wakili mengatakan bahwa nama beberapa orang yang mengundurkan diri dari pilpres masih ada di surat suara.
Kedua kemenangan Ali Bongo sebelumnya juga dianggap curang oleh lawannya.
Pada tahun 2018, Ali Bongo menderita stroke yang membuatnya absen selama hampir satu tahun. Desakan untuk mundur tidak digubrisnya.
Tahun berikutnya, upaya kudeta yang gagal menyebabkan tentara yang memberontak dikirim ke penjara.