Liputan6.com, Jakarta - Ganjar Pranowo jadi sasaran tembak sejumlah pelaku ekonomi kreatif (ekraf) dalam acara IdeaFest 2023: Leap the Lead di Djakarta Theater, Jakarta, pada Kamis malam, 31 Agustus 2023. Ia ditantang untuk memberi solusi atas keluhan sejumlah pelakuk ekraf yang merasa kehilangan figur ayah dari pemerintah alias fatherless.
"Bantuan pemerintah oke ada Bekraf. Kita connect, udah ada pondasi. Di pemerintahan selanjutnya, tiba-tiba hilang. Ada tapi enggak ada bantuan pemerintahnya. Father issue, Pak, seperti anak-anak Indonesia lainnya. Mungkin ciri khas Indonesia itu fatherless ya? Bayangin untuk sebuah negara, di ibu kota bernapas aja susah. Agak susah berharap sama pemerintah," celoteh Gina S. Noer, sutradara, co-founder dan Kepala Konten Wahana Kreator, tertuju pada Ganjar.
Advertisement
Ia mencontohkan kondisi industri perfilman di Indonesia saat ini sebagai salah satu subsektor ekraf. Gina menyebut Indonesia sebagai salah satu pasar film terbesar di dunia. Namun, ia menilai pihak asing melihat Indonesia semata pasar untuk produk-produk film mereka.
Di sisi lain, ia mengkritik pemerintah yang hanya melihat industri perfilman dari kacamata angka, bukan sebagai ekosistem. Para pemain industri perfilman merasa dibiarkan bergerak sendiri tanpa dukungan serius dari pemerintah. Padahal, Gina menyebut bahwa kolaborasi erat antara pemerintah dan swasta bisa berdampak besar.
"Korea itu angkanya bagus sekali. Tapi bicara Korea, mereka membentuk kerja sama strategis. Swasta dan pemerintah bergabung dalam Cool Korea. Mereka cabut sensor yang ngekang kontennya atau kreatornya. Dengan dicabutnya itu, bisa banyak yang dihasilkan. Mereka bisa ngomongin polisi tanpa takut dikejar-kejar. Mengkritik presiden atau tokoh-tokoh lainnya yang buat mencerdaskan penonton," sambung Gina.
Jawaban Ganjar Pranowo
Hal senada juga dilontarkan Kiki Ucup Aulia, pendiri Pestapora Festival, yang hadir sebagai narasumber. Sebagai pelaku seni pertunjukan, ia mengaku tidak lagi berharap pada negara, tetapi pada swasta, dari tahun ke tahun. Menurut dia, kalau pun pemerintah hadir, biasanya hanya dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
"Jadi gini Pak Ginanjar, Pak Ganjar, isunya mungkin sama. Dijelasin edukasi, investasi, dan lain-lain, masih jauh. Dari edukasi aja, setelah bikin event, kita baru tahu oh itu IP (intellectual property) yaa. Nggak ngeh dengan keberadaan itu. Kita masih jauh banget dari visi bisnis. Dari tahun ke tahun fokus kita gimana bisa sustain," ucap Ucup.
Mendengar sindiran itu, Ganjar mengakui bahwa saat ini negara belum memilih memfokuskan diri pada penguatan ekosistem ekonomi kreatif. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi, dengan tiga faktor utama yang harus dikuatkan, yakni edukasi, kolaborasi, dan investasi.
Di sisi edukasi, Ganjar menyoroti soal kesadaran publik untuk membayar royalti. Orang bisa seenaknya menggunakan karya orang lain tanpa bertanggung jawab membayar royalti, meski undang-undang sudah mengatur hal itu. Di sisi lain, penegakan hukum pelanggaran hak cipta atau hak intelektual harus dipertegas agar memberikan efek jera.
Advertisement
Kolaborasi hingga Diplomasi
Terkait kolaborasi, ia mengusulkan hal itu sebagai cara meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di sektor ekraf. Opsinya adalah dengan menyekolahkan pelaku ekraf ke luar negeri atau mengundang ahli dari luar negeri berbagi ilmu di Indonesia.
Sementara, investasi diperlukan untuk mendapatkan dukungan inrastruktur dan finansial. Ia mengusulkan agar para duta besar diarahkan tidak hanya merepresentasi Indonesia di luar negeri antar-negara, tetapi berperan juga menjadi tenaga penjual, makelas, dan biro jasa untuk siapapun yang akan berkarya ke luar negeri.
"Pengusaha bisa nyaman karena diuruskan. Insentif banyak ke kita. Selama ini, kita punya nasi goreng. Rendang terkenal. Tapi begitu mau buka usaha di luar, semua urus sendiri," katanya.
Ia juga mengusulkan agar para pelaku seni tertentu diberikan paspor biru agar bisa menjadi diplomat seni Indonesia. "Nah, sebelum nyanyi, mereka bisa kampanye nasi goreng, destinasi wisata, apapun yang populer, ekonomi sirkular, macam-macam," imbuhnya.
Anggaran Ditingkatkan
Ganjar juga mengusulkan agar digelar festival pelat merah untuk mengakomodasi kebutuhan para pelaku ekonomi kreatif. Yang dimaksud pelat merah adalah bahwa festival itu dibiayai sepenuhnya oleh negara. "Saya punya peminatan, hobi pada olahraga. Borobudur Marathon itu kita biayai... untuk jaga marwah dari event. Jadi, gimana kalau kita kolaborasi bikin event skala nasional, yang tentukan kawan-kawan ini. Ada satu event besar dilakukan dan dibiayai negara, kenapa enggak?"
Sebelumnya, Ganjar menilai porsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk ekonomi kreatif (Ekraf) bisa ditingkatkan. Hal ini menurut dia demi mendukung pengembangan pelaku dan industri ekraf nasional.
Saat ini, porsi belanja negara untuk Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebesar Rp3,6 triliun atau sekitar 0,16 persen dari total APBN. Padahal, kata dia, berdasarkan masukan dari para pelaku ekraf, salah satu permasalahan utama penguatan Industri Ekraf saat ini adalah dukungan dari pemerintah untuk pembiayaan.
Misalnya, pembuatan acara berskala nasional yang menurutnya potensial untuk dikembangkan, lantaran sudah banyak acara yang terselenggara dengan bagus seperti Pestapora. "Cuma keluhannya sama, dukungan pemerintah. Makanya, dukungan apa yang diperlukan? Uang. Maka, perlu budget, perlu anggaran, untuk bisa membuka ruang festival agar industri kreatif kita bisa muncul," ungkap Ganjar.
Advertisement