Ahli Prediksi Semenanjung Korea Jadi Lokasi Realistis Pecahnya Perang Nuklir, Bukan di Ukraina

Para ahli memprediksikan potensi pecahnya konflik nuklir di Semenanjung Korea lebih realistis ketimbang di Pakistan, Ukraina, Rusia Atau Iran, Indo-Pasifik.

oleh Therresia Maria Magdalena Morais diperbarui 04 Sep 2023, 19:10 WIB
Ilustrasi Rudal Balistik. (Korean Central News Agency/Korea News Service via AP)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah ahli mengungkap prediksi mengejutkan soal wilayah yang lebih realistis berpotensi terhadap pecahnya perang nuklir. Secara tak terduga, Korea menjadi jawabannya.

Dalam situasi kekhawatiran global tentang penggunaan senjata nuklir taktis oleh Rusia di Ukraina, para ahli telah memperingatkan bahwa Semenanjung Korea memiliki potensi lebih besar untuk terlibat dalam konflik nuklir.

Dalam sebuah diskusi dengan EurAsian Times seperti dikutip dari situsnya, Senin (4/9/2023), Shashank S Patel, seorang ahli geopolitik yang aktif memantau dinamika di Asia Timur berbagi pandangan tentang potensi konflik nuklir di Semenanjung Korea.

Patel menyatakan bahwa semenjak Perang Dunia II, Semenanjung Korea telah menjadi area potensial bagi konflik nuklir antara kekuatan regional utama, dan situasinya masih relevan bahkan hingga saat ini.

Terlepas dari "masalah warisan", kepemimpinan Korea Utara memiliki dorongan strategis yang mempengaruhi pilihan mereka untuk mengembangkan kapabilitas nuklir.

Ketika diminta untuk menjelaskan alasan di balik pandangannya, dia merincikan beragam faktor yang bisa mendorong Korea Utara untuk mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir.

Patel menjelaskan bahwa Semenanjung Korea memiliki makna simbolis yang sangat mendalam sebagai wilayah yang dianggap sebagai milik 'Matahari Terbit' oleh Kim Il Sung, pendiri Korea Utara. Oleh karena itu, hal ini menjadi tujuan utama bagi Kim Jong Un untuk merebut kembali harta simbolis ini bagi negaranya.

"Yang kedua, wilayah ini memberikan peluang besar bagi Korea Utara untuk menjalin hubungan politik dengan tetangganya seperti Tiongkok dan Rusia. Trio ini sendiri mewakili blok anti-Barat terbesar di belahan timur dunia. Kesamaan dalam kepemilikan senjata nuklir mengikat mereka dalam hubungan yang erat," tambah Patel.


Diplomasi Camp David dan Potensi Pengaruhnya terhadap Situasi Asia Timur

KTT trilateral antara Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat yang dilaksanakan di Camp David, Maryland, AS pada Jumat (18/8/2023). (AP/Andrew Harnik)

Poin ketiga, kata Patel, adalah bahwa memiliki kemampuan nuklir yang ditujukan ke Korea Selatan memberikan Korea Utara keunggulan strategis di Asia Timur.

Patel mengemukakan bahwa hal ini berperan sebagai aset strategis bagi Korea Utara di wilayah Asia Timur untuk menyerang kedua musuh mereka, yaitu Jepang dan Korea Selatan, dengan satu serangan. Memiliki instalasi nuklir yang mengarah ke Korea Selatan akan mendorong Korea Selatan untuk lebih memanfaatkan perjanjian Camp David, sehingga menjadikannya sebuah trilateral front.

Hal tersebut secara langsung membuka peluang bagi Korea Utara untuk melibatkan sekutu-sekutu mereka yang dekat secara strategis dalam situasi perang, membuat perang yang melibatkan seluruh wilayah Asia Timur.

Dalam poin keempat, Patel menjelaskan bahwa karena penggunaan bahan bakar cair, rudal ICBM Korea Utara masih belum mampu menembus sistem anti-rudal Barat untuk mencapai target di jarak jauh. Dalam hal teknis, serangan dengan beberapa rudal balistik ke arah Selatan, yang hanya dijaga oleh penempatan THAAD yang terbatas, akan memberikan hasil yang menguntungkan bagi Korea Utara.

Aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah keinginan Korea Utara untuk membangun superioritas budaya atas Korea Selatan, dengan tujuan menjadikan diri mereka sebagai keturunan sejati 'Hongik Ingan.' Aspirasi ini memotivasi mereka untuk menggunakan segala cara yang diperlukan dan sejalan dengan pandangan budaya Korea tentang pemerintahan yang benar.

Namun, Patel bukanlah satu-satunya ahli yang meyakini bahwa Korea Utara mungkin akan menggunakan senjata nuklir terhadap Korea Selatan untuk mencapai tujuan strategisnya.


Kecenderungan Meremehkan Bahaya Korea Utara

Ilustrasi Korea Utara. (Korean Central News Agency/Korea News Service via AP)

Baru-baru ini, Markus Garlauskas, yang mengawasi penilaian strategis intelijen Amerika Serikat terhadap Korea Utara dari tahun 2014 hingga 2020 sebagai pejabat intelijen nasional untuk Korea Utara di Dewan Intelijen Nasional, mengatakan bahwa ada kecenderungan konstan untuk meremehkan bahaya yang signifikan yang ditimbulkan oleh Korea Utara.

Menurutnya, bahaya tersebut terutama terletak pada pengabaian terhadap perhitungan risiko, kemauan untuk memprovokasi, dan kemauan untuk terlibat dalam tindakan agresi yang terbatas.

Mantan pejabat intelijen ini menyoroti bahwa meningkatnya keyakinan Korea Utara dalam kemampuan dan pencegahannya, yang didukung oleh Tiongkok dan Rusia, sedang mengubah perhitungan strategisnya.

Dampak dari perubahan ini meningkatkan peluang konflik yang lebih besar di Semenanjung Korea karena ketegangan yang meningkat. Apabila terlibat dalam konflik semacam itu, terdapat risiko yang nyata bahwa Korea Utara mungkin akan memilih untuk meluncurkan serangan nuklir terbatas sebagai alternatif dari menghadapi kekalahan.

Garlauskas juga berpendapat bahwa jika Korea Utara menganggap perubahan posisi Tiongkok sebagai tindakan pengabaian atau permusuhan, hal ini juga bisa memicu Korea Utara untuk mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir.

Sementara fokus utama militer Amerika Serikat tertuju pada dua rival nuklir utama, yaitu Rusia dan Tiongkok, kehadiran negara ketiga yang memiliki kemampuan nuklir, yaitu Korea Utara, membawa dimensi baru dalam situasi tersebut.

Meskipun stok senjata nuklir Korea Utara lebih kecil, pertimbangan yang memengaruhi keputusannya untuk menggunakan senjata tersebut memiliki perbedaan yang mencolok dibanding pertimbangan yang memengaruhi Rusia dan Tiongkok.

Konon ada peluang bahwa konfrontasi yang melibatkan Korea Utara bisa meluas hingga ke wilayah Tiongkok, atau sebaliknya. Konflik antara AS dan Tiongkok bisa membesar dan berpotensi menjadi krisis regional di Semenanjung Korea.

Tetapi, prestasi ekonomi dan kekuatan Korea Selatan dibandingkan dengan Korea Utara membuat setiap konflik menjadi upaya untuk menjaga kelangsungan rezim Korea Utara, sehingga meningkatkan motivasi untuk menggunakan senjata nuklir secara terbatas pada tahap awal.


Inisiatif Amerika Serikat untuk Membujuk Denuklirisasi Semenanjung Korea

Jabatan tangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di Metropole Hotel, Hanoi, Vietnam (AP)

Terlepas dari hal ini mendapat pengakuan internasional secara resmi atau tidak, mayoritas para ahli sepakat bahwa Korea Utara telah berhasil mencapai status sebagai negara bersenjata nuklir.

Dengan perkiraan memiliki puluhan senjata nuklir, negara ini telah mencapai kemajuan teknologi yang signifikan, memungkinkannya untuk efektif mengoperasikan senjata-senjata ini dalam berbagai jarak, mulai dari jarak pendek, menengah bahkan hingga jarak jauh.

Upaya melalui saluran diplomasi tidak berhasil dalam menghentikan kemajuan nuklir Korea Utara.

Dalam beberapa tahun terakhir, Amerika Serikat telah memimpin berbagai inisiatif, berkolaborasi dengan negara-negara lain, dan terlibat dalam diplomasi pertemuan satu lawan satu, semuanya bertujuan untuk membujuk para pemimpin Korea Utara untuk memenuhi komitmen yang telah dibuat pada tahun 1991 untuk denuklirisasi Semenanjung Korea.

Namun, perlu dicatat bahwa tidak ada interaksi diplomatik yang berarti dengan Pyongyang sejak kegagalan pertemuan antara Kim Jong Un dan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada tahun 2019.

Sebaliknya, ketegangan nuklir di Semenanjung Korea terus meningkat secara cepat dan signifikan. Di sisi lain, Korea Selatan sangat mengandalkan aliansi kuatnya dengan Amerika Serikat.


Konfrontasi Diplomatik dan Eskalasi Ketegangan di Semenanjung Korea

Seorang pria menonton layar televisi yang menayangkan siaran berita dengan rekaman file pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, di sebuah stasiun kereta api di Seoul, Sabtu (31/12/2022). Ketegangan militer di semenanjung Korea telah meningkat tajam pada tahun 2022 karena Korea Utara telah melakukan uji senjata penghancur sanksi hampir setiap bulan. (Jung Yeon-je / AFP)

Pada bulan April, negara tersebut mengumumkan bahwa mereka tidak berencana untuk mengembangkan program senjata nuklir secara independen.

Komitmen ini merupakan bagian dari sebuah kesepakatan yang disebut sebagai Deklarasi Washington, yang juga memperkenalkan mekanisme konsultasi nuklir bilateral baru. Mekanisme ini didasarkan pada kerangka kerja yang digunakan selama Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Eropa.

Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Amerika Serikat juga mengungkapkan niatnya untuk mengambil tindakan yang lebih terlihat di Semenanjung Korea. Tindakan ini meliputi penempatan rutin aset strategis Amerika Serikat, termasuk unit pengebom dan kapal induk, serta kehadiran rutin kapal selam rudal balistik bertenaga nuklir Amerika Serikat.

Namun, tindakan ini telah memicu reaksi keras dari Korea Utara, yang memperingatkan Amerika Serikat untuk tidak terlibat di wilayah tersebut dan mengaitkan eskalasi ketegangan di Semenanjung Korea dengan tindakan Amerika Serikat.

Negara dengan senjata nuklir terbesar

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya