Liputan6.com, Libreville - Brice Oligui Nguema (48), jenderal yang berhasil menggulingkan dinasti berkuasa di Gabon selama 55 tahun melalui kudeta militer pekan lalu, telah mengambil sumpah jabatan sebagai presiden sementara. Dia menjanjikan pemilu yang bebas, transparan, dan kredibel untuk memulihkan pemerintahan sipil.
Namun, Nguema tidak memberikan jangka waktu tertentu. Dia mengklaim bahwa kudeta militer telah menyelamatkan Gabon dari pertumpahan darah pasca pemilu yang jelas-jelas sarat muatan.
Advertisement
Nguema, yang merupakan mantan kepala Garda Republik, Rabu (30/8/2023) lalu memimpin sejumlah pasukan menahan Presiden Ali Bongo Ondimba (64), di mana keluarganya telah memerintah Gabon yang kaya mintak sejak 1967. Penggulingan terjadi beberapa saat setelah Ondimba dinyatakan menang Pilpres, hasil yang menurut oposisi diwarnai kecurangan.
Dalam pidatonya setelah diambil sumpahnya pada Senin (4/9), Nguema mengungkapkan pemilu yang dijanjikannya akan menjadi batu loncatan untuk menyerahkan kekuasaan kembali kepada warga sipil. Demikian seperti dilansir The Guardian, Selasa (5/9).
Dia mengaku bahwa dia mengupayakan partisipasi semua kelompok inti Gabon untuk merancang konstitusi baru, yang akan diadopsi melalui referendum.
Nguema yang mengenakan kostum seremonial berwarna merah saat pengambilan sumpahnya menuturkan bahwa dia akan menginstruksikan pemerintahan masa depan untuk memberikan amnesti kepada tahanan hati nurani dan memfasilitasi pemulangan semua orang buangan dari luar negeri.
Setelah menahan Ondimba, para pemimpin kudeta militer Gabon mengatakan pada Rabu bahwa mereka telah membubarkan lembaga-lembaga negara, membatalkan hasil pemilu, dan menutup sementara perbatasan.
Gabon Jadi Negara Afrika Terbaru yang Alami Kudeta Militer
Negara-negara lain belum mengakui Nguema sebagai pemimpin sah Gabon dan pada saat bersamaan dia menghadapi tekanan untuk menjelaskan rencananya memulihkan pemerintahan sipil.
"Tanpa kekerasan, bentrokan atau pertumpahan darah, komite transisi dan pemulihan institusi mengubah rezim yang selama bertahun-tahun telah merampas kekuasaan institusi publik, melanggar aturan demokrasi," kata Nguema dalam pidatonya pasca pengambilan sumpah, di mana dia merujuk pada nama junta militer.
Mengutip pahlawan anti-apartheid Afrika Selatan Desmond Tutu, dia mengatakan, "Jika Anda netral dalam situasi ketidakadilan, Anda telah memilih pihak yang menindas."
Nguema turut mengecam organisasi internasional, yang tidak dia sebutkan namanya, karena mengkritik pengambilalihan kekuasaan oleh militer.
"Kami sangat terkejut mendengar organisasi internasional tertentu mengutuk tindakan yang dilakukan oleh tentara yang hanya menjunjung tinggi sumpah mereka – untuk menyelamatkan negara mereka dengan mempertaruhkan nyawa mereka," ujar Nguema.
Gabon bergabung dengan Mali, Guinea, Sudan, Burkina Faso, dan Niger sebagai negara-negara Afrika yang mengalami kudeta dalam tiga tahun terakhir – sebuah tren yang menimbulkan kekhawatiran di Afrika dan sekitarnya.
Advertisement
Nguema: Tidak Ada Toleransi bagi Korupsi
Nguema, yang selama bertahun-tahun bekerja di bawah Ondimba dan ayahnya, Omar Bongo Ondimba, telah mengadakan diskusi tingkat tinggi selama berjam-jam dengan para pemimpin bisnis dan agama, serikat pekerja, partai politik, LSM, diplomat dan jurnalis.
Dia memperingatkan para pemimpin dunia usaha bahwa korupsi tidak akan lagi ditoleransi dan mengumumkan rencana untuk mengubah sistem pensiun Gabon yang tidak berfungsi, yang menjadi momok bagi banyak orang.
Kelompok bekas oposisi mendesak Nguema untuk menyerahkan kekuasaan, namun banyak masyarakat di Gabon tampak senang dengan penggulingan Dinasti Ondimba. Perayaan dilaporkan berlangsung di jalan-jalan ibu kota, Libreville, dan pusat ekonomi Port-Gentil.
Ondimba sedang mengincar masa jabatan ketiganya setelah berkuasa pada tahun 2009 pasca kematian ayahnya, yang memerintah selama lebih dari empat dekade dan mendapatkan reputasi sebagai kleptokrat.
Tayangan di TV nasional pada Jumat (1/9) menunjukkan putra Ondimba, Noureddin Bongo Valentin, dan pejabat lainnya ditangkap di depan koper berisi uang tunai yang diduga disita dari rumah mereka.
Militer menuduh mereka melakukan pengkhianatan, penggelapan, korupsi, memalsukan tanda tangan presiden, dan sejumlah tuduhan lainnya.