Tak Diatur, Social Commerce Jadi Ancaman Besar UMKM

Jika tidak diatur, Social Commerce bisa membuat industri UMKM dan e-commerce lain bakal kolaps.

oleh Septian Deny diperbarui 05 Sep 2023, 14:00 WIB
Tokopedia kedepannya akan #SelaluAdaSelaluBisa mendorong kemajuan para pegiat usaha lokal, khususnya UMKM, lewat pemanfaatan teknologi agar dapat #BangkitBersama di tengah pandemi dan meraja di negeri sendiri (Sumber: Tokopedia)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan akan merilis aturan main platform social commerce seperti Tiktok. Menurutnya, jika tidak diatur, Tiktok Shop bisa membuat industri UMKM dan e-commerce lain bakal kolaps.

"Tiktok itu socio commerce. Keuangan, perdagangan, dan social media jadi satu. Kalau tidak diatur, kolaps kita tiga bulan saja," kata Zulkifli dikutip Selasa (5/9/2023).

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengaku, Pemerintah tidak bisa begitu saja melarang operasional Tiktok. Sebab, cara itu bisa membuat Indonesia digugat di World Trade Organization (WTO). Itu sebabnya, Zulkifli akan menata aturan main Tiktok dengan menggunakan instrumen Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).

"Saya usul ke Pak Teten, kita larang saja. Tapi kita enggak boleh larang-larang karena kita bisa masuk WTO. Melarang tidak bisa, tetapi mengatur bisa," ujar Zulkifli.

Aturan Main Social Commerce

Untuk itu, Pemerintah akan membuat aturan main social commerce seperti perusahaan asal Tiongkok itu melalui revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).

Perubahan beleid itu sudah sampai tahap harmonisasi antar kementerian dan lembaga sejak 1 Agustus lalu.

Pria yang akrab disapa Zulhas itu mengatakan, ada sejumlah aturan yang akan diberlakukan untuk social commerce seperti Tiktok Shop dalam revisi Permendag tersebut. Pertama, media sosial tidak bisa otomatis menjadi e-commerce. Untuk bisa menjadi e-commerce, media sosial harus memiliki izin terpisah.

Kedua, e-commerce maupun social commerce tidak diperbolehkan menjadi produsen atau wholesaler. Jika ingin jadi produsen, perusahaan tersebut harus memiliki izin tersendiri.

 

 


Impor

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ketiga, impor langsung atau lintas batas akan dibatasi. Impor diutamakan hanya untuk produk yang tidak ada di Indonesia. Untuk produk yang ada dan bisa diproduksi di dalam negeri, impor bisa dilakukan melalui prosedur impor pada umumnya.

Keempat, terkait pembatasan impor, Kemendag akan menyusun daftar produk yang boleh diimpor. Kelima, produk yang diperdagangkan di social commmerce harus memiliki standar produk dan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).

"Ini beberapa usulan dari kami. Kalau social commerce ini tidak ditata, e-commerce yang ada paling dalam enam bulan akan tutup semua. Karena Tiktok ini tahun depan mau investasi US$ 10 milir," tegas Zulkifli.

Terkait ancaman Tiktok ini, Pada Juli lalu, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan untuk melindungi usaha mikro kecil menengah (UMKM) dari ancaman platform social commerce.

Menurut Menteri Budi Arie, Project S dari salah satu platform digital disinyalir beberapa pihak akan mengancam pertumbuhan pelaku UMKM dalam negeri. Seperti diketahui, Project S merupakan proyek yang dijalankan Tiktok melalui Tiktok Shop untuk memperbesar bisnisnya di berbagai negara, termasuk Indonesia.

 


Project S Tiktok

TikTok hadirkan feed STEM untuk konten yang berorientasi pada sains dan teknologi. (unsplash/Mariia Shalabaieva)

Melalui Project S, Tiktok diduga akan menggunakan data mengenai produk yang laris di suatu negara untuk kemudian diproduksi di China.

Jauh-jauh hari, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki juga sudah mengkhawatirkan agresivitas platform social commerce seperti Tiktok yang terus memperbesar pangsa pasarnya di Indonesia.

Menurut laporan Momentum Works, pada tahun 2022 konsumen Indonesia menghabiskan USD 52 milliar atau sekitar Rp 777 triliun untuk berbelanja online. Jumlah itu lebih dari setengah belanja online di seluruh Asia Tenggara yang mencapai USD 99,5 miliar atau sekitar Rp 1,487 triliun.

Bahkan sebagai negara muslim terbesar, Indonesia kini hanya mampu memasok 25% kebutuhan jilbab dalam negeri. Sisanya atau 75% produk jilbab sudah dikuasai oleh produk impor, terutama dari Tiongkok. Padahal nilainya transaksi jilbab di Indonesia mencapai lebih dari USD 1,02 miliar atau lebih dari Rp 15 triliun per tahun.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya