Liputan6.com, Palembang - Terdapat 5 orang eks narapidana (napi) kasus korupsi yang masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) calon legislatif di partai-partai besar di Sumatera Selatan (Sumsel).
Di Sumatera Selatan (Sumsel) sendiri, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) memberikan kesempatan bagi dua eks napi korupsi yang terjerat kasus tipikor, yakni Lucianty Fahri dan Heri Purnomo.
Di Partai Amanat Nasional (PAN) mengusung mantan napi Zulmi Oganda, yang juga Ketua Badan Pemenangan Pemilu dan Saksi Daerah dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Lalu ada Suzana J yang didapuk oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem), serta Susno Duadji yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Baca Juga
Advertisement
Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum (Bappilu) Pimpinan Daerah (Pimda) PKN Sumsel M.Albahori mengatakan, tidak ada pembatasan bagi masyarakat untuk bisa bergabung dan menjadi bakal calon legislatif (bacaleg) dari PKN, termasuk dengan eks napi korupsi.
Karena, sepanjang sudah sesuai dengan ketentuan diperbolehkan dan ada keinginan masing-masing pribadi untuk mengabdi ke masyasrakat, masa kelam caleg tersebut tidak menjadi soal.
“Yang penting bersangkutan punya keinginan kuat berpolitik dan ada UU yang memperbolehkan. Kecuali memang dibatasi untuk mantan narapidana. Mereka juga berpeluang untuk berpolitik, karena terpanggil memajukan daerahnya,” ucapnya, Selasa (5/9/2023).
Dia mencontohkan Anas Urbaningrum yang menjadi pesakitan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung Jawa Barat (Jabar) selama lebih dari 9 tahun. Anas yang bebas dari penjara pada Selasa (11/4/2023) lalu.
Anas Urbaningrum terjerat kasus dugaan korupsi di proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang tahun 2013 lalu. Karena Anas Urbaningrum berjiwa politik, akhirnya dia dipercaya sebagai Ketua PKN di tahun 2023 ini.
Sosok Anas Urbaningrum membuat kader PKN terinspirasi untuk melakukan politik yang sehat dan mereka juga optimistis PKN bisa mendapatkan simpati dari masyarakat.
PKN juga tidak terlalu memusingkan stigma negatif yang menyebut caleg eks napi korupsibisa menurunkan citra partai. Karena calegnya sudah dipastikan berkompeten, tidak asal mempromosikan diri tanpa aksi dan menunjukkan prestasi.
“Biarlah masyarakat yang memilih, karena masyarakat punya persepsi masing-masing. Belum tentu juga yang divonis itu bersalah, ada yang menjadi korban politik sehingga dituduh bersalah,” ungkapnya.
Mantan Napi Koruptor
Walau berstatus mantan narapidana, Lucianty, eks istri dari mantan Bupati Musi Banyuasin (Muba) mendiang Fahri Azhari bahkan didapuk menjadi Ketua Pimda PKN pada 2021 lalu.
Mantan anggota DPRD Sumsel tersebut ingin kembali ke masyarakat, demi meningkatkan kesejahteraan warga Sumsel, dengan mencalonkan diri sebagai caleg DPRD Sumsel Dapil IX Kabupaten Muba.
Namun akademisi Sumsel Ferdian menyebut, partai politik (parpol) yang mengusung caleg mantan napi tidak punya kontrol terhadap organisasi. Mungkin ada banyak hal yang dilihat dari caleg mantan napi itu, mulai dari kaya raya, punya jabatan tinggi atau bisa menarik massa.
“Mantan napi boleh-boleh saja ikut, tetapi poin moralnya itu jadi bagian penting untuk menilai, apakah mantan napi itu bisa dipilih atau tidak, jangan dipilih lagi,” katanya.
Menurutnya, ada semacam double concept. Di satu sisi masyarakat Sumsel berharap calon-calon legislator adalah orang yang mumpuni dan siap dalam semua aspek. Tapi nyatanya, moralnya saja menjadi salah satu yang tidak bisa dijabarkan secara baik.
Advertisement
Jangan Dipilih Lagi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri) tersebut merasa miris, karena parpol seakan tidak bisa mencari kandidat lain yang lebih baik, alih-alih memilih mantan napi yang pernah terjerat kasus korupsi.
Walau caleg mantan napi itu mengusung konsep kembali ke nol, tetapi track record-nya yang buruk masih melekat di masyarakat. Jika ingin mengambil yang terbaik, masyarakat seharusnya tidak memilih partai yang mencalonkan mantan napi.
“Kalau mantan napinya tidak masalah, tetapi setiap partai ada merekrut mantan napi. Partainya juga jangan dimenangkan. Parpol yang mendukung mantan napi jadi caleg, tidak harus didukung, partai apapun itu, saya tidak menunjuk partai mana,” ungkapnya.
Dia juga menyangsikan jika caleg mantan napi itu dipilih untuk bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat. Akademisi Unsri ini menilai, dipilihnya caleg mantan napi hanya untuk kepentingan parpol saja, bukan untuk masyarakat.
Terlebih jika caleg mantan napi terjerat kasus korupsi, kemungkinan besar berpeluang bisa melakukan tindakan korupsi lagi kalau menjabat. Karena sudah ada cikal bakalnya melakukan penggelapan dana negara.