BNPB: 32 Kali Bencana Karhutla dan Kekeringan pada 28 Agustus sampai 3 September 2023 di Indonesia

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menyebut, pada periode 28 Agustus sampai 3 September 2023, terdapat kejadian bencana yang dominan, seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

oleh Rahma Vania Indriani Putri diperbarui 06 Sep 2023, 12:05 WIB
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menyebut, pada periode 28 Agustus sampai 3 September 2023, terdapat kejadian bencana yang dominan, seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla). (Liputan6.com/Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari menyebut, pada periode 28 Agustus sampai 3 September 2023, terdapat kejadian bencana yang dominan, seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Dia menjabarkan, dari total 46 kali terjadinya bencana, diketahui bahwa bencana karhutla telah terjadi sebanyak 32 kali.

"Bisa kita lihat secara detail jadi pada tanggal 28 sampai 3 september kita ada 46 kali kejadian bencana dominan itu kebakaran hutan dan lahan 32 kali," ujar Abdul dalam live streaming di YouTube BNPB Indonesia, Selasa 5 September 2023.

Abdul menyampaikan bahwa saat ini Indonesia sudah mencapai puncak kemarau dan ada beberapa kejadian bencana diakibatkan olehnya. Kemudian. Indonesia juga ada transisi dari musim kemarau ke musim hujan yang akan terjadi pada Oktober 2023.

"Tapi dari sini saja kita sudah melihat bahwa 70 persen dari 46 kejadian bencana itu adalah hidrometeorologi kering ini artinya memang kita sudah ada pada puncak kemarau," ucap Abdul.

"Kita masih ada September, mungkin yang kita harapkan intensitas kemarin sudah turun dan oktober nanti kita ada di transisi dari kemarau ke musim hujan lagi," sambungnya.

Abdul menjelaskan bahwa kejadian bencana selama sepekan tersebut didominasi oleh hidrometeorologi kering dengan angka yang mencapai 70 persen.

Lalu menurut Abdul, meskipun Indonesia berada di khatulistiwa dan di puncak kemarau. Namun, beberapa daerah masih mengalami peristiwa banjir dan hutan.

"Kita kan ada di khatulistiwa meskipun kita pada puncak kemarau, kita masih punya banyak banjir, kita masih punya hujan," papar dia.

 


Adanya Fenomena Regional

Puluhan kasus kebakaran terjadi hampir setiap hari di wilayah Yunani selama berminggu-minggu. (AP Photo/Thanassis Stavrakis)

Tak hanya itu, banjir dan hujan yang dirasakan di berbagai daerah disebabkan oleh adanya fenomena regional, seperti gelombang ekuator.

"Ada beberapa lokasi di negara kita khususnya Sumatera bagian Tengah ke utara yang dipengaruhi oleh fenomena-fenomena regional, seperti gelombang ekuator dan lainnya yang menyebabkan terjadinya akumulasi dari awan dan menyebabkan intensitas hujan cukup tinggi," kata dia.

Abdul menyampaikan jika di daerah Sumatera rata-rata masih terdapat bencana banjir. Namun, untuk daerah Kalimantan dan Jawa, terdapat bencana karhutla dan kekeringan murni hidrometeorologi kering.

"Meskipun di sumatera rata-rata banjir masih ada tapi kalo Kalimantan dan jawa, terutama jawa cuma 2 bencananya minggu ini, karhutla dan kekeringan murni hidrometeorologi kering," terang dia.

Sementara itu, di daerah Sulawesi, Maluku Utara dan Papua saat ini telah didominasi oleh kebakaran hutan.

"Sulawesi yang sebelumnya masih ada banjir, maluku utara yang biasanya masih ada banjir tapi sekarang juga sudah dominan oleh kebakaran hutan dan termasuk juga Papua," ucap Abdul.

 


Karhutla Bukanlah Bencana yang Signifikan

Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. (Liputan6.com/Aslam Mahfuz)

Menurut Abdul, kebakaran hutan dan lahan juga kekeringan bukanlah tipikal bencana yang signifikan terdapat korban jiwa maupun korban luka. Namun, bencana ini akan berdampak pada masyarakat yang membutuhkan air bersih.

"Tapi memang untuk kasus kebakaran hutan dan lahan, kekeringan ini bukan tipikal bencana yg signifikan dalam menyebabkan korban jiwa atau korban luka," ucap dia.

"Terutama kekeringan ini yg menjadi sebab terkadang peristiwa kekeringan itu tidak terlaporkan sebagai bencana karena korban dalam artian korban meninggal, korban luka itu tidak ada, tetapi yang dialami masyarakat adalah kesulitan air bersih, gagal panen dan lainnya," tambah Abdul.

Dia menyebut, adanya bencana karhutla dan kekeringan tersebut membuat masyarakat mendapatkan droping air bersih yang dapat mereka gunakan.

"Paling banyak kesempatan terdampak kekeringan dan sudah memerlukan dukungan droping air bersih," papar Abdul.

Dia menjelaskan jika masyarakat yang terdampak kekeringan tersebut tidak mendapatkan droping air bersih, maka mereka akan kesulitan dalam mendapatkan air bersih tersebut.

"Jadi kalo tidak di droping air bersih maka masyarakat akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya," ujar Abdul.

Sementara itu, bencana ini menjadi fase darurat yang harus diantisipasi dampaknya. Tak hanya itu, adanya fase darurat ini membuat kebutuhan air bersihnya harus dilengkapi.

"Nah ini sebenarnya sudah pada fase darurat sebenernya, tapi memang pada kondisi seperti ini yang bisa kita lakukan ya memang untuk antisipasi kedaruratannya dahulu masyarakat butuh air, airnya yg harus kita lengkapi," jelas Abdul.

Infografis Kebakaran Hutan dan Bencana Kabut Asap di Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya