Liputan6.com, Jakarta Sepanjang awal pekan September, pergerakan harga Bitcoin cenderung mengalami penurunan terbatas dengan berupaya bertahan di atas level support di angka USD 25.000 atau setara Rp 383,7 juta (asumsi kurs Rp 15.351 per dolar AS).
Financial Expert Ajaib Kripto, Panji Yudha mengatakan September secara historis merupakan bulan yang menantang bagi Bitcoin karena harganya cenderung menurun.
Advertisement
“Sayangnya, secara historis harga Bitcoin juga tidak terlihat terlalu cerah untuk bulan September. Sejarah menunjukkan Bitcoin cenderung bearish di setiap bulan September sejak 2013 sampai 2022,” kata Panji dalam siaran pers, dikutip Kamis (7/8/2023).
Panji menjelaskan, melemahnya harga Bitcoin di September ini memberikan peluang investor aset kripto untuk melakukan strategi Buy The Dip. Menurut Panji, pergerakan harga Bitcoin pada Oktober dan November dari 2013 hingga 2022 cenderung positif dengan rata-rata kenaikan 22,34 persen di September dan 50,61 persen di Oktober.
“Kami melihat adanya potensi hal ini akan kembali terulang, didukung dengan potensi melunaknya sikap The Fed terhadap kenaikan suku bunga acuan dan mengingat fakta kita mendekati tahun yang besar di tahun 2024 yaitu Bitcoin Halving,” jelas Panji.
Pantau Harga Bitcoin Dikisaran Berikut
Dari pergerakan harga Bitcoin pada September, Panji menyarankan untuk memantau dengan cermat kisaran USD 23.800 atau setara Rp 365,3 juta hingga USD 24.500 atau setara Rp 376 juta sebagai zona potensial untuk masuk selanjutnya jika BTC gagal bertahan di atas USD 25.000 sepanjang September 2023 ini.
Mayoritas koin kripto juga bergerak negatif sejak Kamis, 31 Agustus 2023 setelah Securities and Exchange Commission (SEC) memutuskan untuk menunda pengambilan keputusan terkait proposal ETF Bitcoin Spot.
Keputusan ini memberikan SEC waktu tambahan sekitar 45 hari untuk meninjau proposal ETF Bitcoin Spot yang diajukan oleh keenam perusahaan, yaitu BlackRock, Fidelity, Invesco/Galaxy, VanEck, WisdomTree, dan Bitwise.
“Hal ini akan memberikan waktu lebih panjang kepada SEC untuk mempertimbangkan adanya perubahan peraturan dan melakukan penilaian terhadap berbagai potensi risiko dan peluang yang akan timbul dari hadirnya ETF Bitcoin ini,” ujar Panji Yudha.
Pengaruh Data Ekonomi AS
Melemahnya kripto juga terjadi di tengah masih bervariasinya data tenaga kerja AS. Tingkat pengangguran AS secara mengejutkan melesat menjadi 3,8 persen pada Agustus. Angka ini jauh di atas ekspektasi pasar yakni 3, persen ataupun pada Juli yang tercatat 3,5 persen.
Meski angka pengangguran naik, tetapi penciptaan lapangan kerja non-pertanian (non-farm payrolls/NFP) naik menjadi 187.000 pada Agustus. Angka ini lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar sebesar 170.000 ataupun NFP pada Juli sebesar 157.000.
Sementara dari laporan inflasi Personal Consumer Expenditure (PCE) yang mengalami kenaikan menjadi 3,3 persen (yoy) pada Juli 2023, dari 3 persen pada Juni.
“Kenaikan PCE menimbulkan kekhawatiran bank sentral AS sulit melunak terhadap kebijakan moneternya. Namun, di tengah masih variasinya data ekonomi AS, pasar pun tetap memperkirakan bahwa The Fed akan menahan suku bunga acuannya pada pertemuan bulan ini," pungkas Panji.
The Fed menggelar pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang dijadwalkan pada 19-20 September ini. CME Fedwatch menunjukkan 93 persen investor yakin The Fed akan menahan suku bunga acuan di 5,25 persen sampai 5,5 persen dalam pertemuan September.
Sementara, sebanyak 7 persen memperkirakan The Fed masih akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin. Salah satu data sebagai petunjuk terkait perubahan suku bunga acuan AS, pelaku pasar akan mencermati rilis data Consumer Price Index (CPI) atau data inflasi AS untuk Agustus yang akan dijadwalkan pada 13 September.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.