Liputan6.com, Jakarta - Asia Tenggara berisiko kembali mengalami bencana kabut asap lintas batas pada akhir tahun ini di tengah upaya Indonesia memerangi peningkatan jumlah kebakaran hutan dan kebakaran hutan selama musim kemarau yang berkepanjangan, kata para pengamat.
Melansir CNA, Jumat (8/9/2023), cuaca kering, yang diperburuk El Nino yang menyebabkan curah hujan lebih rendah, semakin meningkat di seluruh negeri dan diperkirakan mencapai puncaknya pada September 2023. Ini sebagian besar terjadi di Sumatra.
Advertisement
"Yang kita butuhkan saat ini adalah kombinasi tindakan pencegahan dan respons proaktif, yang berarti kita harus meningkatkan kerja sama antar negara dalam hal pertukaran informasi mengenai kabut asap dan potensi dampak kesehatannya," kata Profesor Ketua Provost. Rajasekhar Balasubramanian dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Nasional Singapura.
Ia menyambung, "Jadi, kita harus meningkatkan transparansi. Di saat yang sama, kami juga harus memperingatkan masyarakat mengapa penting untuk melindungi kesehatan mereka dari paparan partikel yang terhirup."
Berdasarkan perkembangan iklim, El Nino diperkirakan akan jadi lebih serius dalam dua bulan ke depan. "Fenomena cuaca El Nino sangat terkait dengan kondisi lebih kering dan panas. Curah hujan juga sangat sedikit selama El Nino," sambung Prof Bala.
Kondisi iklim yang lebih kering ini meningkatkan risiko kebakaran lahan gambut dan vegetasi, dan dapat "memicu terjadinya kabut asap lintas batas, yang dapat berdampak pada seluruh Asia Tenggara," tambahnya.
Peningkatan Titik Api di Sumatra
Peningkatan titik api telah diamati di Sumatra. Sebanyak 23 titik api terdeteksi pada Minggu, 3 September 2023, dan 28 titik api pada hari sebelumnya, sebagian besar di wilayah selatan Sumatra, kata Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura (NEA). Cuaca kering diperkirakan akan terus berlanjut di wilayah selatan dan tengah Sumatra.
"Hal ini dapat meningkatkan (jumpah) titik panas dan kabut asap di sana dan menyebabkan risiko cuaca berkabut yang memengaruhi Singapura," kata NEA, yang mengaku memantau situasi tersebut dengan cermat. Prof Bala mengatakan, pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa tindakan pencegahan.
"Seberapa efektifnya (upaya pencegahan), sangat sulit diketahui. Namun, menurut pengamatan saya, mereka telah melakukan beebagai hal yang mungkin dilakukan dengan sumber daya yang mereka miliki," tambahnya, sambil mengharapkan tindakan yang lebih proaktif akan diambil seiring meningkatnya jumlah titik api.
"Sebisa mungkin, kita harus mencegah terjadinya kebakaran (hutan dan lahan). Jadi kita harus benar-benar memikirkan semacam alat pendeteksi untuk mengetahui di mana kebakaran terjadi, dan memastikan bahwa api tidak jadi tidak terkendali dan jadi kebakaran hutan."
Advertisement
Perlunya Pemantauan Kebakaran Hutan dan Lahan
Associate Professor Steve Yim dari Asian School of the Environment di Nanyang Technological University mengatakan perlunya pemantauan ketat terhadap kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dan mempertimbangkan angin yang ada. Jadi, persiapan dini dapat dilakukan untuk memitigasi dampak kabut asap lintas batas.
"Saya pikir, pemantauan ketat terhadap kejadian kebakaran sangat penting, karena itulah sumber polutannya," katanya. "Di saat yang sama, kita memerlukan prediksi awal mengenai cuaca, terutama curah hujan, arah angin, dan kecepatan angin, yang akan sangat penting untuk persiapan awal jika terjadi kabut asap lintas batas."
"Jadi, menurut saya, pemantauan ketat terhadap kejadian kebakaran regional dan prakiraan cuaca akan jadi informasi yang sangat penting bagi pemerintah di wilayah kita (Singapura)," ia menambahkan.
Dengan tingginya risiko kabut asap lintas batas, para pengamat di Singapura menyarankan masyarakat untuk memastikan bahwa mereka memiliki masker wajah N95 dan alat pembersih udara. Prof Bala mengatakan, kualitas udara yang buruk dapat menempatkan orang-orang dengan masalah kesehatan pada risiko yang lebih besar, terutama bagi mereka yang menderita penyakit pernafasan seperti bronkitis dan asma.
Bersiap Hadapi Potensi Bencana Kabut Asap
Prof Bala mengatakan, "Masker N95 telah dirancang khusus untuk melindungi orang dari paparan partikel, yang ukurannya mungkin jauh lebih kecil dibandingkan partikel biasa yang kita hadapi sehari-hari, dan beberapa partikel ini berasal dari kabut asap yang juga bisa jadi racun."
"Sangat penting untuk memastikan bahwa orang-orang tidak berpartisipasi dalam aktivitas luar ruangan, kecuali jika benar-benar diperlukan," imbuhnya.
Sejak Mei tahun ini, Singapura sebenarnya sudah bersiap menghadapi bencana kabut asap lintas batas yang semula mereka perkirakan terjadi mulai Juni 2023. Layanan Meteorologi Singapura (MSS) mengatakan dalam keterangan pers, 30 Mei 2023, gugus tugas kabut antar-lembaga telah mengoordinasikan rencana aksi menangani kabut asap yang mungkin terjadi.
Periode Juni hingga September adalah musim kemarau yang biasa terjadi di Singapura dan wilayah sekitarnya, termasuk Indonesia. Tapi, MSS menyatakan dua fenomena iklim, yakni kondisi El Nino dan positif Dipol Samudra Hindia, dapat menyebabkan musim kemarau yang lebih intens dan berkepanjangan tahun ini, bahkan hingga Oktober 2023.
Advertisement