Liputan6.com, Jakarta Selama beberapa minggu belakangan, persoalan polusi udara Jabodetabek terus menjadi topik hangat. Bagaimana tidak? Kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) turut mengalami kenaikan seiring dengan polusi udara yang parah.
Disebutkan juga dalam dua tahun terakhir tepatnya selama 2021-2023, polusi udara di area Jabodetabek tidak pernah memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Advertisement
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, WHO telah memperbarui standar batas aman PM2.5, yaitu rerata 24 jam di angka 15 μg/m3 dan rerata satu tahun di angka 5 μg/m3. Sementara itu, di Jabodetabek di rentang tahun 2021 - 2023 kadar PM2.5 lebih dari 15 μg/m3.
Artinya, kualitas udara Jabodetabek memang melebihi batas aman yang selama ini sudah ditetapkan oleh WHO. Lantas, apa komentar pakar terkait standar WHO soal polusi udara tersebut?
Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) sekaligus Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Prof Tjandra Yoga Aditama menuturkan bahwa sebenarnya setiap negara tidak perlu mengikuti standar WHO.
"Secara umum, baik untuk polusi udara maupun masalah kesehatan lain, maka setiap negara tidak harus 100 persen mengikuti WHO," ujar Tjandra melalui keterangan yang diterima Health Liputan6.com, Jumat (8/9/2023).
Negara Tentukan Kriteria Sendiri
Menurut Tjandra, masing-masing negara bisa menentukan standarnya sendiri soal batas aman dan tidaknya suatu kondisi, termasuk mengenai polusi udara.
"Masing-masing negara dapat menentukan kriteria sendiri. Demikian juga kebijakan kesehatan lain. Kebijakan kesehatan kita juga tidak semua sama persis dengan rekomendasi WHO," kata Tjandra.
Selanjutnya Tjandra menambahkan, tentang kadar PM 2.5 versi WHO, maka angka yang dipakai sekarang itu adalah angka baru.
"Dengan angka ini maka sekitar 90 persen anak-anak di dunia terpapar dengan polusi di atas ambang batas WHO," ujar Tjandra.
Ambang Batas Aman Polusi Udara di Negara Lain
Tjandra mengungkapkan bahwa negara lain pun memiliki ambang batasnya masing-masing perihal polusi udara. Salah satunya dilakukan oleh negara India.
"Negara lain juga punya ambang batas yang berbeda. Publikasi AQLI 29 September tentang India menyebutkan, 'Tingginya kadar polusi udara 2021 itu ternyata memberi dampak penurunan rentang usia (lifespan) penduduk New Delhi menjadi lebih pendek 11,9 tahun', kalau digunakan batas aman menurut WHO," kata Tjandra.
Berbeda halnya jika analisa yang dipakai langsung menggunakan standar polusi nasional di India. Maka, usia harapan hidupnya menjadi lebih rendah.
"Analisa lain, kalau menggunakan data standar polusi nasional India maka penduduk New Delhi dapat kehilangan usia harapan hidup selama 8,5 tahun," ujar Tjandra.
Advertisement
Hal yang Lebih Penting dari Standar Polusi Udara
Dalam kesempatan yang sama, Tjandra mengungkapkan bahwa dalam kondisi seperti ini, ada hal yang lebih penting dari sekadar menentukan standar bahaya polusi udara untuk tiap negara.
"Bagaimanapun, jelas sekarang kita dalam situasi polusi udara yang sangat serius, mau kita pakai standar apapun juga," kata Tjandra.
Sehingga, menurut Tjandra, lebih penting untuk berfokus pada solusi apa yang bisa dilakukan agar kondisi dapat secepatnya terkendali.
"Jadi jauh lebih penting sekarang melakukan upaya terobosan out of the box agar polusi dapat segera terkendali. Agar dampak jangka pendek yang sudah terlanjur terjadi jangan sampai menjadi dampak jangka panjang yang mengkhawatirkan," pungkas Tjandra.