Liputan6.com, Jakarta - Special Envoy atau Utusan Khusus Presiden untuk The Global Blended Finance Alliance (GBFA), Mari Elka Pangestu, mengatakan bahwa perubahan iklim tidak bisa dipandang sebelah mata, terutama bagi negara berpenghasilan rendah. Dampak dari perubahan iklim bagi negara berpendapatan rendah sangat terasa.
Jika dikalkulasikan di dalam data, dampak perubahan iklim ke Produk Domestik Bruto (PDB) sebuah negara sampai 12 persen. Hal ini berdasarkan laporan iklim dan pembangunan tingkat negara yang dilakukan Bank Dunia terhadap 25 negara.
Advertisement
"Jadi ini bukan hanya sekedar angka-angka yang beredar, tapi benar-benar didasarkan pada analisis. Dan kerugian PDB dapat menutupi dampak yang lebih besar terhadap kesejahteraan," ujar Mari Elka Pangestu dalam sambutannya di acara Indonesia Sustainability Forum (ISF), Jakarta, Jumat (8/9/2023).
Mari Elka Pangestu menyebut bahwa kerugian PDB yang terjadi akibat perubahan iklim akan berdampak pada kelompok rentan, yakni kelompok masyarakat paling rentan, dan termiskin, serta perempuan.
"Saya berikan contoh yang sangat sederhana, bahwa seorang perempuan di sebuah desa harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air yang dibutuhkan untuk desa tersebut," terang dia.
Mantan Direktur Bank Dunia itu juga bilang, hal itu juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang berpenghasilan rendah yang akan menurun sekitar 1,24 persen. Bahkan kerugiannya akan meningkat sekitar 7 persen.
"Hal ini berdasarkan analisis Bank Dunia. Pertumbuhan akan menurunkan 1,24 persen dan kerugian ini dapat meningkat sekitar 7 persen, coba tebak? Pendapatan kelompok 40 persen terbawah bisa turun 2,2 persen," tutur dia.
Tak hanya itu, kata Mari, kesehatan dan kualitas polusi sumber daya manusia akan menurunkan angka harapan hidup sebesar 1,2 persen per tahun dan hilangnya pendapatan tenaga kerja sebesar 0,6 persen PDB.
"Kesehatan dan kualitas polusi sumber daya manusia akan menurunkan angka harapan hidup," tambahnya.
Reporter: Siti Ayu Rachma
Sumber: Merdeka.com
Sekjen PBB Ingatkan ASEAN Harus Kolaborasi Atasi Perubahan Iklim
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, mengingatkan bahwa kerjasama sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah perubahan iklim.
Hal itu disampaikan Antonio Guterres dalam konferensi pers usai melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Ruang Kakatua, Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (7/9/2023).
"Kerja sama yang lebih besar juga sangat dibutuhkan untuk iklim," kata Antonio Guterres. Apalagi kata dia, pada bulan Juni, Juli, dan Agustus yang lalu merupakan periode tiga bulan terpanas dalam catatan. Oleh karena itu, Sekjen PBB ini menyerukan Pemimpin di semua negara termasuk pemimpin di ASEAN harus segera mencari solusi untuk mengatasi masalah iklim.
"Apa yang disebut hari-hari panas di musim kemarau tidak hanya menggonggong, tapi juga menggigit. Planet kita telah mengalami musim panas yang membara – musim panas terpanas yang pernah tercatat," ujarnya.
"Para pemimpin harus segera mencari solusi untuk mengatasi masalah iklim. Kita masih bisa menghindari kekacauan iklim yang terburuk tetapi waktu hampir habis. Kita tidak punya waktu lagi," tambahnya.
Advertisement
Pakta Solidaritas Iklim
Antonio mengatakan, pihaknya telah menyerukan Pakta Solidaritas Iklim, di mana semua penghasil emisi besar melakukan upaya ekstra untuk mengurangi emisi dan negara-negara kaya memobilisasi sumber daya keuangan dan teknis untuk mendukung negara-negara berkembang.
"Dan saya telah mempresentasikan rencana untuk meningkatkan upaya kita: Agenda Percepatan, yang menyerukan negara-negara maju untuk mencapai nol emisi sebisa mungkin di tahun 2040, dan negara-negara berkembang sebisa mungkin di tahun 2050," pungkasnya.