Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pelajar SMP Negeri 22 Tanjung Kertang, Rempang, Kota Batam terpaksa dievakuasi ke Klinik Batalyon Marinir lantaran terdampak gas air mata yang digunakan aparat keamanan membubarkan massa yang rusuh saat pengamanan pengukuran lahan untuk pengembangan proyek Rempang Eco City pada Kamis, 7 September 2023.
Terkait hal ini, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan mengklaim, aparat keamanan menembakkan gas air mata sesuai dengan prosedur pengamanan. Namun, asap yang dimaksudkan untuk membubarkan massa malah meluas hingga ke area sekolah lantaran tertiup angin.
Advertisement
“Yang ada, karena tindakan pengamanan oleh aparat kepolisian dengan menyemprotkan gas air mata, ketiup angin, sehingga terjadi gangguan pengelihatan untuk sementara. Dan pihak Polda Kepri sudah membantu untuk membawa ke tim kesehatan,” tutur Ahmad di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (8/9/2023).
Ahmad menegaskan, tidak ada korban baik dari pihak masyarakat maupun aparat keamanan dalam peristiwa bentrokan tersebut.
“Jadi itu tidak benar ada siswa pingsan, kemudian apalagi ada yang menginformasikan seorang bayi meninggal, itu tidak benar. Kita sudah lakukan pengecekan itu tidak benar,” jelas dia.
Sejauh ini, kata Ahmad, situasi di lokasi sudah kondusif. Dia mengklaim, masyarakat setempat telah memahami tugas dari aparat keamanan yang mengamankan proses pengukuran lahan untuk pengembangan proyek Rempang Eco City.
“Jadi kita tidak bentrok, tapi kita melakukan pengamanan. Sekali lagi poinnya adalah situasi kondusif, tidak ada korban di pihak masyarakat dan di pihak aparat keamanan,” katanya.
“Ini adalah kegiatan pengamanan, imbas dari pada gas air mata yang tujuannya adalah untuk membubarkan warga,” ucap Ahmad menandaskan.
Tindakan Represif Aparat Dikritik
Sebelumnya, sejumlah pihak turut mengkritik tindakan represif aparat yang menembakan gas air mata. Saat hendak membubarkan massa penolak pembangunan 'Rempang Eco-City'.
Akibat warga masih belum setuju dengan pengembangan kawasan tersebut yang merupakan kampung adat masyarakat Melayu. Sehingga sempat menggelar sweeping kepada petugas yang melakukan pengukuran lahan.
Salah satunya Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengecam keras tindakan represif aparat. Karena turut berdampak kepada dua sekolah yang terkena tembakan gas air mata, yaitu SMP Negeri 22 Galang dan SD Negeri 24 Galang.
“Ironisnya, ini bukan kekerasan yang pertama terkait pelaksanaan proyek strategis nasional yang dipaksakan sehingga mengancam hidup warga masyarakat. Ini menandakan proyek strategis nasional kembali bermasalah. Jangan paksa masyarakat," kata Usman dalam keteranganya.
Kekerasan di Pulau Rempang ini, dianggap Usman telah mengulangi pola yang sama dalam beberapa konflik agraria, seperti yang terjadi di Padang dan Bandung, Agustus lalu.
Secara terpisah, Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) juga mengkritik aksi represif yang berlebihan excessive use of power. Berujung timbulnya aksi kekerasan terhadap warga yang sudah harus dihentikan oleh kepolisian.
"Perbedaan pandangan terkait pelaksanaan keputusan pemerintah tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara kekerasan yang mencederai hati nurani masyarakat," kata Pengamat Kepolisian dari ISESS Bambang Rukminto dalam keteranganya.
Bahkan, Bambang juga mengungkit tiga aturan yang telah jelas mengatur penggunaan kekuatan dan tindakan yang harus diambil saat berhadapan dengan massa aksi.
Mulai dari Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, dan Perkap Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru Hara.
"Kekerasan aparat negara di Pulau Rempang ini menunjukkan bahwa jajaran Kepolisian belum memahami peraturan yang dibuatnya sendiri," tuturnya.
Advertisement