Liputan6.com, Jakarta - Utusan Khusus Presiden dalam Global Blended Finance Alliance, Mari Elka Pangestu, menyayangkan janji Just Energy Transition Partnership (JETP) terkait pemberian donor USD 20 miliar, atau setara Rp 306 triliun (kurs Rp 15.300 per dolar AS) untuk pensiun dini PLTU batu bara yang belum kunjung cair.
Padahal, Mari Elka Pangestu berkata Pemerintah Indonesia telah berkoordinasi soal rencana pensiun dini PLTU batu bara tersebut. Pemerintah juga sudah menyampaikan apa saja yang diperlukan.
Advertisement
"Yang perlu terjadi adalah koordinasi dari segi donor, bagaimana mereka juga harus berkoordinasi. Sehingga tidak hanya pledge, tapi juga benar-benar ada dana yang bisa keluar," ujar Mari Elka Pangestu di Indonesia Sustainibility Forum (ISF) di Park Hyatt Jakarta, Jumat (8/9/2023).
Masalahnya, ia mengamini pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan bahwa melepas ketergantungan terhadap batu bara butuh waktu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juta telah menyampaikan, sejak Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 (COP26) pada 2021 lalu, Indonesia terus berprogres.
"Gimana kita membuktikan bahwa ini bisa dilakukan, early coal exit, terus renewable replacement-nya, dan mengatasi masalah social dan environment yang timbul," imbuh Mari.
Guna mencapai tujuan itu, pemerintah juga telah menggalang dukungan dana dari berbagai pihak, baik dari sisi swasta, lembaga internasional seperti Bank Dunia dan ADB, hingga dana filantropi seperti yang dijanjikan JETP.
"Kalau itu sudah bisa kita hasilkan, di situlah kuncinya, replikasi dari model yang sudah bisa dibuktikan. Dari replikasi itu kita baru bisa dapat scaling up. Itu mudah-mudahan bisa cepat bisa lambat. Tapi kita harap kalau berhasil bisa lebih cepat," tutur Mari Elka Pangestu.
Menko Luhut Kembali Tagih Janji Manis Negara Maju: Sekarang Mana Duitnya
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan kembali menagih janji manis negara maju dalam komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP). Indonesia sudah siap menjalankan program tetapi negara maju dan lembaga internasional belum memperlihatkan niat baik untuk mengucurkan pembiayaan.
JETP merupakan kerja sama pembiayaan untuk mendorong transisi energi di negara berkembang. Pembiayaan JETP diberikan oleh negara maju dan organisasi internasional kepada negara berkembang untuk mempercepat peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan.
Dalam perjanjian ini, Indonesia sudah berkomitmen untuk melakukan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap Baru Bara atau PLTU batu bara.
Luhut mengatakan, saat ini tengah dikaji rencana mematikan PLTU Suralaya tahap awal. Namun, program pensiun dini PLTU batu bara ini juga membutuhkan biaya. Sayangnya, sampai saat ini negara maju dan lembaga internasional yang memiliki komitmen dalam JETP belum menjalankan kesepakatan.
"Untuk early retirement tadi yang bayar dulu duitnya mana. Sampai sekarang kita belum tahu uangnya," kata Luhut selepas Bloomberg CEO Forum at ASEAN di Fairmont Hotel, Jakarta, Rabu (6/9/2023).
Luhut menyayangkan janji dana JETP yang belum terealisasi sampai sekarang. Padahal, pemerintah telah menyiapkan program untuk melakukan transisi energi seperti yang diminta.
"Ya, mereka kan yang minta kita buat, ya kita buat. Mereka yang janjiin duitnya, ya sekarang mana duitnya," tegas Luhut.
Tagihan serupa telah berulang kali diutarakan Menko Luhut. Pasalnya, menurut dia sokongan dana untuk mempensiunkan PLTU batu bara dari kemitraan JETP masih belum jelas.
Advertisement
Komitmen Rp 305,8 Triliun
Adapun komitmen dana yang dihimpun dalam rencana investasi komprehensif (CIP) JETP untuk pensiun dini PLTU batu bara nilainya mencapai USD 20 miliar, atau setara Rp 305,8 triliun (kurs Rp 15.290 per dolar AS).
Luhut menyayangkan ketidakjelasan itu. Pasalnya, pemerintah telah menyiapkan PLTU batu bara yang siap dipensiunkan lebih cepat dalam program JETP.
"Saya kira ada satu PLTU yang sudah mau segera kita kerjakan. Tapi kan kita nunggu uangnya dari konsorsium, sampai sekarang uangnya belum jelas," kata Luhut di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurut dia, Indonesia seakan dipersepsikan mundur dalam menerima program pendanaan dari kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam International Partners Group (IPG), seperti Inggris, Amerika Serikat dan Uni Eropa.
"Justru itu kita malah diberitakan kita yang mundur, padahal dari mereka yang enggak jelas," ujar Luhut.