Dari Ibnu Rusyd hingga Ibnu Batutah, Inilah 5 Tokoh Besar Islam dari Maroko

Sebagai gerbang penyebaran Islam ke Eropa, Maroko jadi penentu kemajuan di Eropa. Oleh karena itu, tak heran jika muncul banyak tokoh besar dalam sejarah Islam dari Maroko

oleh Putry Damayanty diperbarui 11 Sep 2023, 12:30 WIB
sumber : wikimedia.com

Liputan6.com, Jakarta - Lindu dahsyat mengguncang Maroko, Jumat (8/9/2023). Pada Minggu (10/9/2023), dilaporkan lebih dari 2.000 orang meninggal dunia dalam gempa bumi ini.

Bagi Indonesia, Maroko terasa dekat meski berada jauh di Afrika Utara sana. Sebab, Maroko adalah negara dengan populasi muslim yang besar dan merupakan negara Islam. 

Diketahui Islam pertama kali dibawa ke Maroko pada tahun 680 oleh invasi Arab Uqba ibn Nafi, seorang jenderal yang melayani Damaskus di bawah Bani Umayyah. Pada 788, Idrisids memerintah Maroko, menjadi dinasti pertama yang melakukannya. 

Setelah Islam mengadopsi, beberapa Berber membentuk dinasti Islam mereka sendiri dan memerintah atas negeri. Kebanyakan Berber masuk Islam setelah Arab lebih datang ke Maroko dengan budaya dan adat istiadat. Sejak saat itu Islam telah menjadi agama resmi.

Maroko merupakan salah satu wilayah yang pernah menjayakan peradaban Islam. Sebagai gerbang penyebaran Islam ke Eropa, Maroko jadi penentu kemajuan di Eropa. Oleh karena itu, tak heran jika muncul banyak tokoh besar dalam sejarah Islam dari Maroko.

Mulai dari ilmuwan muslim, pemimpin besar, hingga pengelana hebat berasal dari negeri maghrib tersebut. Mengutip dari laman langit7.id, berikut ini daftar 5 tokoh besar Islam yang berasal dari Maroko.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


1. Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd atau Averroes merupakan salah satu filsuf muslim paling berpengaruh di Barat. Gagasan dan pemikirannya memicu kebangkitan ilmu pengetahuan di Barat.

Saat masih muda, Ibnu Rusyd sudah menerima pendidikan yang istimewa tentang hadis, kedokteran, dan teologi. Ia juga mempelajari hukum Islam atau fikih dengan ulama bernama Al-Hafidz Abu Muhammad ibn Rizq yang bermazhab Maliki. Selain itu, Ibnu Rusyd juga belajar Kitab Al-Muwatta atau Al-Muwaththa karya Imam Malik.

Saat muda, Ibnu Rusyd sering ikut dalam pertemuan ilmuwan di Andalus, salah satunya pertemuan rutin para filsuf, dokter, dan sastrawan di Kota Sevilla. Pada 1153, ketika Andalus berada di bawah kekuasaan Muwahhidun, Ibnu Rusyd melakukan penelitian astronomi di Marrakesh (Maroko) dan membantu pembangunan berbagai perguruan tinggi yang sedang dilakukan pemerintah.

Setelah itu, Ibnu Rusyd kian giat mendalami ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama. Terutama bidang filsafat. Ibnu Rusyd meninggal dunia pada 11 Desember 1198. Mulanya, jenazah Ibnu Rusyd dimakamkan di Maroko, tetapi kemudian dipindahkan ke Kordoba.


2. Yusuf bin Tasyfin

Yusuf bin Tasyfin merupakan penguasa Islam yang membawa Maroko ke puncak kejayaannya. Ia menjadi sultan kedua Dinasti Murabithun di Maroko menggantikan Abu Bakar bin Umar pada 1072 M dan berkuasa hingga 1106 M.

Sejarawan menyebut Dinasti Murabithun mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Yusuf bin Tasyfin. Hal itu ditandai dengan pembangunan Marrakesh (asal kata Maroko) sebagai pusat pemerintahan.

Tamir Badar dalam buku Para Penakluk Muslim yang Tak Terlupakan menulis, Yusuf Bin Tasyfin dikenal sebagai penguasa yang sangat zuhud terhadap urusan dunia.Meski memegang tampuk kepemimpinan, namun Yusuf bin Tasyfin tidak suka menampakkan kemewahan dan kesombongan. Dia menjadi seorang yang sangat sederhana dan berpenampilan seperti rakyat biasa.

Raghib As-Sirjani dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Andalusia mengatakan, meski gaya hidup sederhana, Yusuf bin Tasyfin mampu membawa Dinasti Murabithun di puncak kejayaan. Kekuasaannya membentang sepanjang Afrika Utara hingga Eropa.


3. Fatima Al-Fihri

Fatima Al-Fihri adalah muslimah pendiri universitas pertama di dunia yakni Universitas al-Qarawiyyin pada 857 M. Perguruan tinggi itu diakui Guinness Book of World Records sebagai lembaga tertua di dunia yang beroperasi sebagai universitas pemberi gelar akademik.

Mengutip laman Jerman Deutsche Welle (DW), Fatima membangun Universitas Al-Qarawiyyin dari sebuah masjid dengan nama yang sama. Masjid itu bukan hanya tempat ibadah lima waktu, namun dijadikan pusat pendidikan pada masa itu.

Fatima merupakan putri dari Muhammad Bin Abdullah Al-Fihri, seorang saudagar kaya raya yang hidup menetap bersama keluarga pada masa pemerintahan Raja Idris II. Dia menjadi salah satu nama perempuan hebat dalam sejarah Islam.

Fatima tumbuh dan berkembang dalam lingkungan cinta ilmu, mencintai ilmu-ilmu keagamaan, umum, sains, arsitektur, dan bangunan. Di kota Fez (Maroko), dia mengembangkan sayap bisnis. Dari keuntungan bisnis itulah, dia membangun masjid yang dinamakan Al-Qarawiyyin.

Masjid Al-Qarawiyyin inilah yang bertransformasi menjadi universitas. Juga menjadi kiblat dunia pendidikan modern. Mulai dari kurikulum, sistem pengajaran, sampai urusan simbol akademik.

Bahkan, toga ala Fatima Al-Fihri ini masih dipakai oleh kampus-kampus di penjuru dunia hingga kini. Toga berbentuk segi empat itu merupakan simbol yang diinspirasi dari bentuk ka'bah di Makkah.


4. Ibnu Thufail

Ibnu Thufail atau dipanggil di Barat dengan sebutan Abubacer adalah salah filsuf muslim yang berpengaruh di Eropa. Sirajuddin Zar dalam buku Filsafat Islam mengatakan, pada masa khalifah Abu Ya’kub Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat.

Mustofa dalam buku Filsafat Islam menulis, pada 558 H/1163 M, Ibnu Thufail pernah diangkat sebagai hakim sekaligus dokter untuk keluarga istana.

“Bermula dari perkenalan itu, Abu Ya’kub Yusuf menyarankan Ibnu Rusyd lewat Ibnu Thufail agar mengulas karya-karya Aristoteles,” tulis Mustofa dalam buku Filsafat Islam.

Namun, bukan semua itu yang menjadikan nama Ibnu Tufail dikenang dalam sejarah Islam, bahkan sejarah dunia. Dia dikenal dari tulisan-tulisan. Dia memiliki buku di bidang kedokteran, astronomi, dan filsafat. Dari sekian buah karyanya, Risalah Hayy Ibnu Yaqzan fi Asrar al- Hikmah al-Masyriqiyyah adalah yang termahsyur. Kitab ini mempresentasikan pemikiran inti Ibnu Thufail dalam ranah filsafat.

Risalah Hayy Ibnu Yaqzan atau kehidupan anak kesadaran, di Barat dikenal sebagai Philosophus Autodidactus, telah menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah sebagai salah satu karya paling berharga yang pernah ada di bidang filsafat.

Dalam mengarang buku ini, Ibnu Tufail banyak terpengaruh filsafat Plato. Pemikiran-pemikiran filosofis Ibnu Thufail ketika menulis buku ini telah mencapai taraf yang paling matang. Dia menulis pemikiran-pemikiran itu dalam bentuk novel alegori sembari menawarkan sebuah korelasi filsafat antara akal dan agama dalam pencarian kebenaran hakiki.


5. Ibnu Batutah

Siapa yang tak kenal Ibnu Batutah? Pengelana hebat ini merupakan tokoh besar Islam yang berdarah asli Maroko. Separuh hidup Ibnu Batutah dihabiskan dalam pengembaraan mengelilingi belahan timur bumi. Terkadang dia mengikuti rombongan unta, di lain waktu dia menumpang kapal, dan tak jarang Ibnu Batutah juga berjalan kaki untuk mencapai negeri tujuan.

Selama 29 tahun, Ibnu Batutah telah berkelana ke lebih dari 40 negara. Kisah-kisah perjalanannya itu ditulis menjadi sebuah buku berjudul Ar-Rihlah. Bagi banyak sejarawan, Ar-Rihlah menjadi salah satu sumber pengetahuan, untuk mengetahui seperti apa kehidupan pada abad ke-14.

Perjalanan keliling dunia itu bermula saat dia naik haji 1325 M. Ibnu Batutah sudah pernah mengunjungi negeri-negeri Islam seperti Persia (iran) hingga Irak, Azerbaijan. Dari sana dia meneruskan perjalanan ke Mogadishu, lalu ke Kenya dan Tanzania.

Dia lalu meneruskan perjalanan ke Turki. Dari situ dia meneruskan perjalanan ke India dan tiba di Kota Delhi pada 1334 M. Pada 1342, dia diutus ke China. Perjalanan menuju China tidak mudah, dia sempat terdampar di Maladewa cukup lama akibat badai.

Dia juga singgah di Sri Lanka, lalu menumpang kapal melalui kawasan Asia Tenggara. Dia baru menginjakkan kaki di daratan China, tepatnya pelabuhan Quanzhou pada 1345. Sekitar tahun ini pula, Ibnu Batutah berlabuh di timur Sumatera.

Akhir peralanan setelah menjelajahi China, dia akhirnya memutuskan kembali ke kampung halamannya di Maroko. Dia tiba di Maroko pada 1349, dan tiba di tempat kelahirannya di Tangier. Pada saat itu, kedua orangtuanya meninggal dunia.

Hal itu membuat Ibnu Batutah hanya tinggal sejenak, lalu memulai perjalanan ke Spanyol. Dari Spanyol, dia melanjutkan perjalanan ke Timbuktu, yang berada di wilayah Kekaisaran Mali di Gurun Sahara. Sepanjang perjalanan itu, dia tidak pernah menulis cerita atau pengalaman yang dialami.

Saat pulang ke Maroko pada 1354, sultan negeri itu memerintahkannya untuk mengumpulkan kisah perjalanannya. Setahun berikutnya, dia menghabiskan waktu mendiktekan perjalanan kepada seorang penulis bernama Ibnu Juzayy.

Hasilnya adalah sebuah catatan sejarah lisan yang diberi judul Sebuah Hadiah bagi Mereka yang Merenungkan Keajaiban Kota dan Keindahan Bepergian, yang lebih dikenal sebagai Ar-Rihlah yang artinya perjalanan.

Setelah Ar-Rihlah selesai ditulis, Ibnu Batutah menghilang dari catatan sejarah. Dia diyakini bekerja sebagai hakim di Maroko dan meninggal sekitar tahun 1368, tetapi hanya sedikit yang diketahui tentang akhir hayatnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya