Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia termasuk negara yang beruntung, karena perekonomiannya cukup resilien dan terjaga di tengah badai krisis.
Hal itu disampaikan Sri Mulyani saat mengisi acara Forbes Global CEO Conference 2023 di Singapura. Diketahui, sebelumnya Sri Mulyani telah mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke KTT G20 India, kemudian singgah di Singapura.
Advertisement
"Sebelum kembali ke tanah air, pagi ini saya singgah di Singapura. Kali ini, untuk memenuhi undangan menghadiri agenda @forbes Global CEO Conference," tulis Sri Mulyani dikutip dari instagram pribadinya @smindrawati, Selasa (12/9/2023).
Bendahara negara Indonesia ini menyampaikan beberapa topik dalam Forbes Global CEO Conference. Salah satunya mengenai ketidakpastian, mulai dari ketidakpastian geopolitik, suku bunga, hingga perjanjian dagang antar negara.
"Pada sesi saya yang dimoderatori oleh Rich Karlgaard (Futurist & Editor-at-Large Forbes Media), saya sampaikan beberapa topik. Salah satunya, adalah mengenai ketidakpastian —ketidakpastian geopolitik, suku bunga, hingga perjanjian dagang antar negara," ujarnya.
Menurut Sri Mulyani, untuk menghadapi ketidakpastian, para pemimpin dunia harus aktif di dalam fora diskusi, termasuk dalam mengatasi perubahan iklim. Mulai dari forum tingkat tinggi seperti COP hingga beragam diskusi lain terkait bagaimana kita dapat saling membangun kapasitas serta berbagi pengetahuan dan juga sumber daya untuk menahan dampak perubahan iklim.
"Saya juga jelaskan kepada Karl, Indonesia termasuk negara yang beruntung karena perekonomian kita cukup resilien dan terjaga di tengah badai krisis. Pertumbuhan perekonomian kita konsisten berada di atas 5 persen (bahkan tumbuh 5,17 persen di kuartal lalu)," ujarnya.
Lebih beruntungnya lagi, kata Sri, Indonesia bisa melalui berbagai tantangan tanpa banyak drama. Selain itu, Sri Mulyani juga menyampaikan dua topik yang cukup disorot Indonesia dan dunia, bonus demografi dan AI.
"Dua hal yang sama-sama harus ditangani secara berhati-hati, supaya dapat membawa lebih banyak manfaat bagi bangsa kita..!," pungkasnya.
Indonesia Punya Modal Penting Hadapi Gejolak Ekonomi Global, Apa Saja?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku optimistis Indonesia bisa melewati berbagai tantangan pertumbuhan ekonomi kedepannya. Mengingat, saat ini ekonomi global tengah bergejolak.
Dia mengungkap, salah satu modal kuat Indonesia adalah rasio utang yang dimiliki yang terus menurun. Kemudian, tingkat defisit anggaran dan juga ruang fiskal yang masih memadai.
Maka, modal-modal tadi dinilai mampu menguatkan posisi Indonesia menghadapi beragam tantangan kedepan.
"Alhamdulillah untuk Indonesia tadi dengan debt yang makin kita kelola menurun, defisit mengecil kita menciptakan fiscal space, sehingga ketika Indonesia dihadapkan pada berbagai guncangan insyaaAllah kita selalu memiliki cara meresponsnya," jelas dia dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, di Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Sri Mulyani menyebut, realisasi defisit anggaran di tahun 2022 menurun tajam dari tahun sebelumnya. Pada 2022 tercatat defisit anggaran sebesar Rp 460,4 triliun atau 2,35 persen.
Angka ini jauh dibawah prediksi defisit anggaran dalam APBN awal sebesar Rp 840,2 triliun. Sementara itu, di 2021 realisasi defisit anggaran mencapai sekitar Rp 775 triliun.
Jika dilihat dari sisi rasio utang pun, Sri Mulyani masih tetap percaya diri. Menurutnya, rasio utang Indonesia masih jauh lebih rendah ketimbang banyak negara lain.
Sebut saja, data rasio utang yang dikantonginya saat ini sebesar 37,5 persen. Jauh di bawah India dengan rasio utang diatas 80 persen.
Advertisement
Tantangan yang Tak Mudah
Pada kesempatan yang sama, Sri Mulyani mengungkap ada sejumlah tantangan yang dihadapi semua negara. Mulai dari kondisi geopolitik hingga perubahan iklim yang berdampak ke ekonomi.
"Tantangan pasca pandemi tidak lebih mudah. Dunia kompleks dengan geopolitik yang meruncing, perubahan iklim, dan juga digitalisasi yang menimbulkan dampak terhadap labor market dan pasar tenaga kerja," ungkapnya.
Bendahara Negara juga mencatat, ekonomi dunia melemah dengan inflasi yang masih relatif tinggi yang direspons dengan pengetatan moneter. Yakni adanya kenaikan suku bunga dan likuiditas yang semakin ketat.
"Ini menimbulkan debt distress di berbagai negara yang memiliki suku bunga meningkat dengan debt ratio yang tinggi dan fiscal space yang sangat kecil atau bahkan tidak ada. Sehingga mereka tidak bisa merespons berbagai guncangan yang masih akan terjadi," paparnya.