Liputan6.com, Jakarta - PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia prediksi kinerja keuangan emiten crude palm oil (CPO )akan mendapatkan dukungan dari naiknya harga minyak sawit karena musim kemarau berkepanjangan sebagai akibat fenomena cuaca kering yaitu El Nino.
Research Analyst Mirae Asset Rizkia Darmawan mengatakan, El Nino diprediksi menekan kinerja operasional perkebunan sawit, tetapi terhambatnya produksi akan membuat harga minyak sawit mentah (CPO) dunia berpotensi terangkat karena penurunan produksi tersebut.
Advertisement
"Fenomena El Nino memengaruhi permintaan minyak nabati dunia, salah satunya CPO karena produksinya atau suplainya turun di tingkat global dan kemudian mendongkrak harga komoditas tersebut di pasaran," ujar dia dalam keterangan resminya, Selasa (12/9/2023).
Dia bilang, harga CPO sudah naik menjadi di kisaran RM3.800 per ton sejak Juni hingga beberapa hari terakhir. Sejak awal tahun, rerata harga CPO berada pada kisaran RM3.900 per ton dan sudah turun sekitar 12%, sempat turun hingga kisaran RM3.300 per ton pada Juni tetapi kembali naik hingga awal bulan ini.
Faktor lainnya adalah masih lebih rendahnya harga CPO dibanding harga minyak nabati lainnya seperti minyak rapa (rapeseed), minyak kacang kedelai, dan minyak biji matahari sehingga ada kemungkinan permintaan atas CPO juga akan meningkat.
Sebagian besar emiten CPO, lanjutnya, akan menerima dampak positif dari kenaikan harga komoditas yang masuk ke dalam kategori bahan makanan (soft commodity) itu.
Dampak El Nino diprediksi masih akan terjadi dan diprediksi akan membuat harga CPO naik lagi hingga akhir tahun, tetapi sangat kecil kemungkinan akan kembali ke atas level RM4.600 per ton (sekitar USD 1.000 per ton) seperti pada rentang 2021-2022.
Risiko Kenaikan Harga Komoditas CPO
Meskipun demikian, ada beberapa risiko terhadap prediksi kenaikan harga komoditas CPO yaitu besaran produksi yang akan terganggu karena efek cuaca El Nino serta faktor kebijakan pemerintah untuk menjaga kestabilan harga minyak goreng domestik di tengah kenaikan harga CPO global.
Efek dari kenaikan harga CPO juga akan terjadi pada beberapa emiten CPO yang menjadi lingkup riset Mirae Asset. Beberapa emiten yang di-cover tersebut adalah PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP, rekomendasi trading buy dengan target harga Rp 1.180 untuk 12 bulan ke depan), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI, hold dengan target harga Rp 8.250), dan PT Nusantara Sawit Sejahtera Tbk (NSSS).
Di sisi sektor komoditas tambang dan energi (metal & mining commodity), ia mengatakan kinerja keuangan perusahaan di industri batu bara relatif akan impas terhadap dampak dari El Nino, sedangkan kinerja perusahaan di industri nikel akan lebih diuntungkan untuk rentang jangka panjang.
"Secara jangka panjang, produsen nikel dan industri terkaitnya akan diuntungkan dari strategi hilirisasi (downstreaming) Indonesia terutama terkait dengan industri kendaraan listrik yang sangat tergantung dari baterai, di mana nikel merupakan bahan baku utama untuk baterai yang bagus,” imbuhnya.
Emiten batu bara juga diprediksi akan mengalami peningkatan produksi tetapi di saat yang sama akan mengalami penurunan kinerja keuangan karena pelemahan harga Si Emas Hitam di dunia.
Advertisement
Potensi Kenaikan Inflasi Global
Sementara itu, Senior Economist Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto menambahkan, peningkatan harga komoditas dunia termasuk CPO dan minyak dunia berpotensi menyebabkan kenaikan inflasi global. Hal ini juga akan sangat berdampak kepada negara-negara maju yang saat ini masih berusaha untuk menurunkan inflasi.
"Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang dinilai sukses meredam inflasi sedangkan pengendalian inflasi masih menjadi isu utama negara-negara maju saat ini, seperti AS, Inggris, dan negara-negara Euro Zone. Masih tingginya inflasi di masing-masing negara saat ini, yang juga dapat diperburuk oleh kenaikan harga komoditas dan minyak dunia, dapat berdampak kepada arah kebijakan moneter di negara-negara tersebut,” kata Rully.
Dia mengatakan, Indonesia diprediksi masih dapat meredam laju inflasi, yang diprediksi akan berada pada 5,25 persen hingga akhir tahun. masih terbuka kemungkinan bank sentral AS atau the Fed akan menaikkan kembali suku bunga kebijakan mereka atau FFR meningkat inflasi yang masih berada jauh di atas target.
Hal ini diprediksi masih akan memicu volatilitas pasar global, yang juga akan berdampak kepada pasar finansial di Indonesia. Tekanan terhadap Rupiah masih akan tetap tinggi, apalagi disertai dengan sentimen negatif terhadap emerging market. Hal ini disebabkan memburuknya kondisi ekonomi Tiongkok.
Dalam memitigasi risiko tekanan terhadap Rupiah, BI bersama pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan untuk memperkuat sektor finansial di dalam negeri dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap USD sehingga dapat memitigasi risiko fluktuasi pada masa yang akan datang.