Liputan6.com, Tripoli - Tidak ada Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban dalam banjir Libya. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Direktur Perlindungan WNI dan BHI Judha Nugraha.
"KBRI Tripoli telah melakukan komunikasi dengan otoritas di Libya Timur dan komunitas masyarakat Indonesia. Sampai hari ini, Senin 11 September 2023, tidak terdapat informasi adanya WNI yang menjadi korban banjir besar di Libya timur," ujar Judha dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (12/9/2023).
Advertisement
Judha lebih lanjut mengatakan bahwa jumlah WNI di Libya yang tercatat di data base KBRI Tripoli sebanyak 282 orang. Sebagian besar mereka bertempat tinggal di Libya barat.
"Dalam keadaan darurat, WNI di seluruh Libya dapat menghubungi hotline KBRI Tripoli 24 jam dengan nomor +218 94 481 5608," kata Judha.
Banjir besar melanda wilayah Libya timur, seperti Kota Benghazi, Sousse, Al Bayda, Al-Marj, dan Derna pada Senin (11/9). Pemerintah Libya telah menetapkan status siaga/darurat, sementara operasi pencarian dan penyelamatan masih berlangsung.
"KBRI Tripoli terus memantau perkembangan di lapangan dan telah mengeluarkan imbauan melalui jejaring masyarakat agar WNI di wilayah tersebut meningkatkan kewaspadaan dan terus memantau prakiraan cuaca melalui media resmi pemerintah," tutur Judha.
10.000 Orang Dilaporkan Hilang, Derna Terdampak Parah
Melansir BBC, Selasa, Kepala delegasi Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) Libya Tamer Ramadan mengatakan bahwa kematian akibat banjir Libya yang dipicu Badai Daniel kemungkinan berjumlah besar.
"Tim kami di lapangan masih melakukan penilaian ... kami belum memiliki jumlah pasti saat ini. Jumlah orang hilang mencapai 10.000 orang sejauh ini," kata Ramadan yang berbicara melalui tautan video dari Tunisia.
Sebagian besar wilayah Derna, yang berpenduduk sekitar 100.000 jiwa, dilaporkan terendam banjir setelah dua bendungan dan empat jembatan ambruk.
"Jumlah jenazah yang ditemukan di Derna lebih dari 1.000," kata Hichem Chkiouat, menteri penerbangan dan bagian dari komite tanggap darurat pemerintah wilayah timur kepada Reuters melalui telepon.
"Saya tidak melebih-lebihkan ketika saya mengatakan bahwa 25 persen kota telah hilang. Banyak sekali bangunan yang ambruk."
Sebelumnya, Perdana Menteri Osama Hamad yang berbasis di wilayah timur Libya menyebutkan bahwa jumlah korban tewas mencapai 2.000 orang. Dia mengatakan kepada saluran TV Libya, "Seluruh lingkungan di Derna telah hilang, bersama dengan penduduknya... tersapu air."
Selain wilayah timur, Kota Misrata di bagian barat juga termasuk di antara wilayah yang dilanda banjir.
Advertisement
Upaya Penyelamatan Terkendala Kekacauan Politik
Libya berada dalam kekacauan politik sejak Muammar Gaddafi digulingkan dan dibunuh pada tahun 2011. Peristiwa itu menyebabkan Libya terpecah menjadi pemerintahan sementara yang diakui secara internasional dan beroperasi dari ibu kota, Tripoli, dan satu pemerintahan lagi di wilayah timur.
Menurut jurnalis Libya Abdulkader Assad, perpecahan politik menghambat upaya penyelamatan karena kedua belah pihak berwenang tidak mampu merespons bencana alam dengan gesit.
"Tidak ada tim penyelamat, tidak ada penyelamat terlatih di Libya. Segala sesuatu selama 12 tahun terakhir adalah tentang perang," katanya kepada BBC.
"Ada dua pemerintahan di Libya ... Hal ini sebenarnya memperlambat bantuan yang datang ke Libya karena ini agak membingungkan. Ada orang-orang yang menjanjikan bantuan tetapi bantuan tidak kunjung datang."
Pemerintah yang berbasis di Tripoli dilaporkan telah mengirimkan sebuah pesawat yang membawa 14 ton pasokan medis, kantong jenazah, dan lebih dari 80 dokter dan paramedis.
Adapan utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk Libya Richard Norton mengatakan bahwa Washington akan mengirim bantuan ke Libya timur melalui koordinasi dengan mitra PBB dan pihak berwenang Libya.
Mesir, Jerman, Iran, Qatar, dan Turki termasuk di antara negara-negara yang menyatakan telah mengirimkan atau siap mengirimkan bantuan.