China Rancang UU untuk Jerat Warga yang Berbusana Melukai Perasaan Bangsa

Badan legislatif di China tengah mempertimbangkan perubahan signifikan pada undang-undang mereka yang akan memberikan kewenangan kepada otoritas untuk mendenda dan menahan masyarakat berdasarkan pakaian yang dianggap "menyakiti perasaan bangsa."

oleh Farel Gerald diperbarui 13 Sep 2023, 10:01 WIB
Ilustrasi toko pakaian. (pixabay.com)

Liputan6.com, Jakarta - Badan legislatif di China tengah mempertimbangkan perubahan signifikan pada undang-undang lama mereka. Jika mendapatkan persetujuan, otoritas setempat akan berwenang untuk mendenda dan menahan warga atau korporasi berdasarkan pakaian yang mereka kenakan, terutama jika pakaian tersebut dianggap "menyakiti perasaan bangsa".

Kekhawatiran mengenai kebebasan berekspresi dan pakaian di Tiongkok menjadi sorotan utama di tengah pembahasan RUU itu. Dilansir dari CNN pada Senin, 11 September 2023, proposal tersebut diajukan oleh Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional dan dipublikasikan di situs web resmi mereka.

Tujuan utama RUU itu adalah melarang pakaian dan simbol yang, menurut interpretasi pihak berwenang, "merusak semangat bangsa China." Ungkapan "semangat bangsa" sering kali menjadi kode bagi patriotisme, atau dalam beberapa kasus, dianggap sebagai tanda kurangnya patriotisme.

Rancangan amandemen ini mencerminkan terminologi dan bahasa yang telah digunakan oleh pemerintah China dalam upayanya untuk mengontrol narasi dan kebebasan berpendapat di dalam negeri. Selain itu, bahasa tersebut juga sering digunakan dalam merespons persepsi atau pandangan dari negara atau entitas bisnis asing yang dianggap meremehkan atau menentang Beijing, China.

Proposal ini hadir setelah mereka memberlakukan sederet kebijakan sebelumnya yang membatasi ekspresi individu, termasuk aturan yang melarang artis dengan tampilan yang dianggap "tidak maskulin" untuk tampil di depan umum dan penindakan terhadap penggunaan tato.

Dalam rancangan undang-undang yang diajukan, akan ada larangan spesifik terhadap penggunaan pakaian atau simbol tertentu di tempat-tempat publik. Meski demikian, dokumen tersebut belum merinci secara spesifik mengenai pakaian atau simbol apa yang akan dilarang.


Membatasi Kebebasan Berpendapat

Ilustrasi bendera Republik China. (Pixabay)

Bagi mereka yang melanggar, sanksi yang dijatuhkan bisa berupa penahanan hingga 15 hari dan denda sebesar 5.000 yuan (Rp10,5 juta). Tidak hanya pakaian, rancangan amandemen ini juga menekankan pembatasan terhadap kebebasan berbicara.

Akan ada larangan terhadap produksi, distribusi, penerbitan, dan penyebaran konten yang dianggap merusak "semangat" China. Ini mencerminkan upaya berkelanjutan pemerintah untuk memperkuat kontrol atas narasi dan persepsi publik mengenai identitas dan citra bangsa.

Usulan amandemen tersebut merupakan bagian dari Undang-Undang Hukuman Administrasi Keamanan Publik yang diberlakukan sejak 2006. Berdasarkan peraturan yang ada, polisi telah diberi kewenangan untuk menahan seseorang untuk beberapa minggu terkait beragam kejahatan, yang meliputi vandalisme hingga gangguan ketertiban umum. Badan pembuat undang-undang di China berencana mengadakan konsultasi publik terkait usulan tersebut sepanjang September 2023.

Di sisi lain, di dunia maya, sejumlah warganet China mengekspresikan kekhawatiran mereka dan mengajak orang lain untuk menolak draf tersebut. Beberapa ahli hukum juga menyoroti potensi masalah dari usulan amandemen tersebut, terutama karena kurangnya petunjuk yang jelas.

"Siapakah yang akan menentukan apa yang menjadi 'semangat bangsa China', dan melalui mekanisme apa?" ungkap Tong Zhiwei, seorang profesor studi konstitusi dari East China University of Political Science and Law di Shanghai, melalui akun Weibo-nya, platform sosial media mirip X, yang dulunya Twitter di China.


Dapat Mengancam Hak Warga Sipil

Ilustrasi masyarakat China. (Dok. Pixabay)

Zhiwei juga memperingatkan bahwa jika pasal ini disahkan sesuai dengan draf undang-undang saat ini, maka penegakan hukum dan peradilan dapat dilakukan berdasarkan interpretasi subjektif pemimpin, yang berpotensi berdampak negatif yang signifikan.

Lao Dongyan, seorang profesor hukum pidana dari Universitas Tsinghua di Beijing, China, menyampaikan bahwa perubahan undang-undang yang diajukan dapat mengancam hak-hak warga sipil. "Pemerintah secara langsung mengintervensi pilihan busana harian masyarakat, yang merupakan bentuk campur tangan yang berlebihan," ungkapnya melalui Weibo.

Lao juga mengekspresikan kecemasannya bahwa amandemen ini bisa memperkuat nasionalisme radikal dan dapat memperburuk hubungan dengan sejumlah negara, mengakibatkan posisi negara China menjadi lemah dalam konteks diplomasi. Rancangan amandemen ini muncul di tengah pergeseran pandangan politik terhadap pakaian di China, terutama yang berkaitan dengan busana Jepang.

Tren meningkatnya gerakan "Hanfu", yang menampilkan masyarakat mengenakan pakaian tradisional China dari era sebelum Dinasti Qing, umumnya dianggap sebagai refleksi dari nasionalisme yang tumbuh di antara generasi muda. Sebaliknya, busana tradisional Jepang, seperti kimono, sering menjadi sasaran kritik di tengah meningkatnya sentimen nasionalis terhadap Jepang.


Sentimen Anti-Jepang

Ilustrasi kimono. (dok. Bruno Aguirre/Unsplash)

Pada Agustus 2023, seorang penggiat anime dari China mengklaim bahwa dia ditangkap oleh kepolisian setelah berfoto dengan mengenakan kimono, pakaian khas Jepang, di kota Suzhou, bagian timur negara China. Seorang wanita yang berdandan cosplay terinspirasi dari manga Jepang "Summer Time Rendering" menjadi sorotan dan sumber perdebatan di platform media sosial China. Beberapa warganet menganggap kostum yang dikenakannya tidak mencerminkan patriotisme.

Kejadian yang mirip juga terjadi pada 2019 ketika seorang pria yang mengenakan kimono diserang oleh petugas keamanan sebuah universitas. Insiden tersebut memicu perdebatan panas di dunia maya China terkait sentimen anti-Jepang yang sering kali muncul di negara ini.

Seusai rilis draf amandemen baru-baru ini, seorang pengguna Weibo menanyakan apakah para cosplayer atau pekerja restoran Jepang yang memakai kimono akan melanggar aturan yang diajukan. "Dalam undang-undang, seharusnya dijelaskan dengan jelas tentang simbol apa yang dilarang dan apa yang diperkenankan," komentarnya.

Di WeChat, platform komunikasi populer di China lainnya, seorang warganet lainnya merenungkan apakah mengadopsi gaya yang ia anggap sebagai "kapitalisme Barat" akan diterima. "Kenapa kita tidak memilih mengenakan jas tradisional Tiongkok atau Hanfu?" ia mempertanyakan.

Infografis Heboh Kabar China Klaim Natuna hingga Tuntut Setop Pengeboran Migas. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya