Liputan6.com, Jakarta Kasus Dokumen Terbang dalam perkara dugaan korupsi pertambangan nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara yang merugikan negara Rp 5,7 triliun kian menjadi sorotan. Pasalnya, kasus korupsi itu memunculkan efek domino terhadap industri pertambangan mineral dan batu bara yang berpotensi menimbulkan kerugian negara lebih besar.
Diketahui, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara telah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus itu baik dari pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Lawu Agung Mining (LAM), dan PT Kabaena Kromit Pratama (KKP). Penetapan tersangka ini berkaitan dengan Kerja Sama Operasi (KSO) di wilayah Antam dengan PT Lawu dan perusahaan daerah seluas 22 ha di Konawe Utara.
Advertisement
Peneliti Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Yosef C A Swamidharma menilai, kasus ini terjadi akibat belum adanya aturan turunan yang tuntas secara administratif. Misalnya mekanisme lelang dan wilayah pertambangan sudah memiliki inventori, serta mekanisme penugasan untuk area-area yang belum memiliki data-data eksplorasi.
"Yang utama adalah mekanisme diutamakan orang yang kompeten, dibuat transparan dengan cara direview oleh pihak lain supaya lebih terbuka. Kalau ada kekurangan-kekurangan yang masih ada di-list-kan. Hal ini proses maksimum yang harus dilakukan," kata Yosef, Rabu (13/9/2023).
Praktisi Hukum Pertambangan Arie Nobelta Kaban menjelaskan, perkara dokumen terbang ini harus dilihat dari masalah Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Pelanggaran
Dilihat dari kasus ini, tersangka dalam Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Aneka Tambang Tbk ini diduga melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo 18 UU Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1), 56b KUHPidana.
"Jika dilihat dari kasus tersebut, tidak ada pasal gratifikasi," tegas Arie.
Negara Rugi
Ketua Asosiasi Penambang Tanah Pertiwi (Aspeti) Arief Setyadi lantas menyoroti potensi penurunan pendapatan negara akibat efek domino jika RKAB yang diterbitkan oleh Ditjen Minerba Kementerian ESDM pada periode 2021-2023 dinyatakan salah prosedur.
"Dibutuhkan strategi menjaga iklim investasi oleh pemerintah, memelihara stabilitas ekonomi dan politik, mengembangkan sistem logistik, penyederhanaan regulasi," kata Arief.
Sementara Ketua Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan, kondisi yang dialami Ditjen Minerba saat ini tidak mudah. Pasalnya, kebijakan yang mempercepat bisa menjadi hal yang menjebak.
"RKAB ini kalau sudah ditandatangani berarti itu dikatakan legal. Bagaimana prosesnya itu nanti selama ini resmi ya tetap dipakai. Kalau RKAB tidak benar, maka kontrol dari lingkungan dan resources menjadi tidak ada," ujarnya.
Advertisement
Peran Pengusaha
Sebaliknya, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno memandang, tidak sepenuhnya kisruh RKAB menjadi tanggungjawab Ditjen Minerba. Justru, ia melihat pengusaha tambang juga berperan dalam menyumbang kesalahan dalam penyusunan RKAB.
"Kesalahan yang utama tidak di Minerba, tetapi kesalahan itu ada di pengusaha. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 menyebutkan setiap tambang harus membuat rencana kerja wilayah tambang, kemudian diturunkan dalam rencana jangka pendek," ungkapnya.
Menurut dia, kenapa pengurusan RKAB lama karena sekarang semua ditarik ke pusat. Sebelumnya kewenangan itu boleh dikeluarkan daerah. "Prosesnya lama dan dulu daerah boleh melakukan, dan itu ingin ditertibkan sejak 2020," pungkas Djoko.