Liputan6.com, Jakarta - Kadang pemikiran seseorang unik dan ekstrem, dengan dalih fokus ibadah, istri atau pasangan dianggap mengganggu perjuangan ibadahnya maka istri atau pasangannya dipilih untuk diceraikan.
Pemikiran seperti itu sering terjadi bagi seseorang yang sedang getol-getolnya melakukan ibadah. Sehingga melalaikan yang lainnya, bahkan tak ingin dibebani yang lainnya, hanya fokus ibadah.
Hal tersebut merupakan cara yang berlebihan dalam beribadah. Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai berlebihan dalam ibadah ini.
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Utsman bin Mazh’un Minta Izin Nabi Ingin Ceraikan Istrinya
Mengutip nuonline, alkisah, Utsman bin Mazh’un terlihat berlebihan dalam beribadah. Ia bahkan sampai pernah meminta izin kepada Nabi untuk menceraikan istrinya dan fokus beribadah.
أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ أَذِنْتَ لِي فَطَلَّقْتُ خَوْلَةَ، وَتَرَهَّبْتُ وَاخْتَصَيْتُ وَحَرَّمْتُ اللَّحْمَ، وَلَا أَنَامُ بِلَيْلٍ أَبَدًا، وَلَا أُفْطِرُ بِنَهَارٍ أَبَدً
Artinya: “Utsman berkata (meminta izin) kepada Nabi SAW: “Jika Engkau mengizinkan, Aku akan mentalaq Khaulah. Aku akan menjadi rahib (tidak menikah), aku akan mengosongkan diriku, mengharamkan daging, tidak tidur di malam hari (untuk beribadah) dan tidak makan di siang hari (berpuasa) selamanya.” (Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Kairo, Darul kutub al-Misriyah, cet 2, 1964], juz XVIII, halaman 87).
Alih-alih setuju dan mengapreasinya, Nabi Muhammad SAW malah menegur Utsman dan menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya bukan termasuk bagian dari sunnahnya dan bukan bagian dari Islam.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِنْ سُنَّتِي النِّكَاحَ وَلَا رَهْبَانِيَّةَ فِي الْإِسْلَامِ إِنَّمَا رَهْبَانِيَّةُ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَخِصَاءُ أُمَّتِي الصَّوْمُ وَلَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ. وَمِنْ سُنَّتِي أَنَامُ وَأَقُومُ وَأُفْطِرُ وَأَصُومُ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Artinya: “Nabi Muhammad SAW berkata: “Termasuk sunnahku adalah menikah, tidak ada ke-rahiban (dengan tidak menikah) di dalam Islam, ke-rahiban di dalam umatku ialah berjihad di jalan Allah, pengosongan umatku dengan berpuasa, janganlah kalian mengharamkan hal-hal baik yang telah Allah halalkan untuk kalian, di antara sunnahku ialah tidur, bangun, berbuka dan berpuasa. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku tidak termasuk bagian kaumku”. (Al-Qurthubi, halaman 87).
Advertisement
Ini Pelajaran yang Bisa Dipetik
Dalam kisah tersebut, Nabi Muhammad SAW memberikan pelajaran kepada umat Islam untuk selalu bersikap moderat dalam segala hal, termasuk dalam beribadah. Sebab segala hal yang dilakukan secara berlebihan akan berakibat buruk pada akhirnya.
Hal tersebut sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari bahwa Salman Al-Farisi pernah menasehati Abu Darda yang kemudian ditetapkan (sunnah taqririyah) oleh Nabi SAW.
اِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ سَلْمَانُ
Artinya: “Sungguh bagi Tuhanmu terhadap dirimu memiliki hak, bagi dirimu atas dirimu juga terdapat hak, bagi keluargamu terhadap dirimu terdapat hak. Maka berilah setiap yang memiliki hak sesuai porsinya. Ia kemudian mendatangi Nabi Muhammad SAW dan menyebutkan masalah ini kepada Nabi. Nabi bersabda: “Salman benar”. (HR. Al-Bukhari). Wallahu a’lam.
Penulis: Nugroho Purbo