Liputan6.com, Solo - Menyambut peringatan Maulid Nabi 12 Rabiul Awal 1440 H, masyarakat Solo menggelar tradisi sekaten. Tradisi yang telah menjadi warisan budaya ini menjadi simbol harapan yang dinantikan masyarakat Solo setiap tahunnya.
Mengutip dari surakarta.go.id, istilah sekaten memiliki akar pada kata Arab, syahadatin, yang mencerminkan arti kesaksian iman atau syahadat. Hal ini juga disampaikan oleh KRT Haji Handipaningrat dalam karya Perayaan Sekaten.
Lambat laun, kata tersebut meluas menjadi suhatain yang merujuk pada menghindari perbuatan buruk dan menyimpang. Pengertian ini terus berkembang hingga menjadi sakhatain, yang menghapuskan konotasi buruk pada binatang dan setan.
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, ada juga sakhotain, yang mengajarkan pemeliharaan akhlak mulia dan budi luhur. Proses perkembangan ini melahirkan sekati, yang menekankan bahwa manusia harus mampu memilah baik dan buruk.
Akhirnya, kata sekat merefleksikan pembatasan diri dari perbuatan jahat, menandai batasan antara kebajikan dan kejahatan. Tradisi sekaten kemudian tak hanya mewujudkan hiburan dan ritual, tetapi juga menjadi panduan hidup yang dapat diterapkan oleh setiap individu.
Sementara itu, jejak sejarah perjalanan tradisi sekaten berkembang sejak abad ke-15. Tradisi ini berakar dari Kerajaan Demak di pesisir utara Jawa.
Islam menyebar ke berbagai daerah dengan berbagai metode, termasuk melalui kesenian, budaya, dan pernikahan. Salah satu pendekatan unik dalam penyebaran Islam adalah melalui budaya, sehingga terciptalah tradisi sekaten.
Gagasan ini berakar dari Sunan Kalijaga yang mendorong penyelenggaraan perayaan untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW pada Rabiul Awal. Dengan bertumpu pada gagasan ini, sistem perayaan berkembang hingga mencapai dua Kerajaan yang lahir dari Mataram Islam, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Hingga saat ini, upacara tradisi sekaten masih terus dijalankan dan dirawat. Perpaduan aspek kebudayaan, religi, dan kesenian membuat sekaten tak hanya dipandang sebagai peristiwa tahunan, tetapi juga sebagai cerminan filosofi hidup yang penuh makna.
Penulis: Resla Aknaita Chak