6.000 Orang Tewas Akibat Banjir Libya, Sistem Peringatan Dini Banjir Kurang Layak?

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyesalkan situasi di Libya yang tidak memiliki sistem peringatan dini banjir yang layak.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Sep 2023, 08:00 WIB
Kota Derna, Libya, menjadi kota yang terdampak banjir paling parah. (AP Photo/Yousef Murad)

Liputan6.com, Tripoli - Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyayangkan bahwa tidak ada sistem peringatan dini untuk banjir yang mumpuni di Libya. Pasalnya, kehadiran sistem itu bisa membantu mengurangi jumlah korban jiwa akibat banjir besar yang melanda negara tersebut. 

Jumlah korban tewas akibat banjir di Libya telah mencapai 6.000 orang menurut laporan Al Jazeera. 

Dilansir VOA Indonesia, Jumat (15/9/2023), Kepala WMO  Petteri Taalas mengatakan sebagian besar kematian dalam bencana banjir bandang yang melanda beberapa kota di Libya akhir pekan lalu sebenarnya dapat dicegah jika saja ada sistem peringatan dini yang layak dan beroperasi di daerah itu.

“Jika ada layanan meteorologi yang beroperasi normal, pihak berwenang dapat mengeluarkan peringatan, sementara pihak manajemen darurat dapat memulai proses evakuasi lebih cepat, sehingga kita dapat mencegah jatuhnya sebagian besar korban,” jelasnya.

Berbicara dalam konferensi pers di Jenewa, Kamis (14/9), saat tim SAR masih berupaya keras mencari korban yang selamat dan sekaligus mengevakusi ribuan mayat dari balik puing-puing reruntuhan bangunan dan pinggir pantai, Taalas mengatakan Pusat Meteorologi Nasional Libya sebenarnya telah mengeluarkan peringatan 72 jam sebelum banjir tiba.

Peringatan itu disebarluaskan ke semua otoritas pemerintah lokal melalui email dan media. Belum jelas apakah pihak berwenang kemudian menindaklanjuti peringatan itu hinga ke warga masyarakat Libya atau tidak.


WMO Sudah Lama Memberi Imbauan

Sejumlah bangunan runtuh akibat banjir besar juga terlihat di Derna, Libya, Rabu, 13 September 2023. (AP Photo/Yousef Murad)

WMO telah sejak lama mempromosikan perlunya sistem peringatan dini yang lebih baik dan lebih luas di seluruh dunia untuk membantu mempersiapkan diri menghadapi dampak bencana alam.

Badai Daniel yang sangat kuat mencapai puncaknya hari Minggu (10/9), memicu hujan deras antara 150-240 milimeter dan banjir dahsyat di banyak kota di Libya timur pada hari Minggu (10/9). Badai berkecepatan 70-80 kilometer per jam itu menumbangkan menara-menara listrik dan pepohonan, sehingga menyulitkan komunikasi antar kota.

Kota Derna adalah yang paling parah terkena dampaknya, di mana dua bendungan tua di pegunungan kota itu runtuh, mendorong air bah hingga setinggi tujuh meter memasuki pusat kota dan menyapu seluruh warganya. 

Beberapa hal yang perlu diingat ketika berkomunikasi dan menyebarluaskan peringatan atau informasi apapun adalah: apakah warga punya akses pada teknologi, faktor literasi dan bahasa lokal. Jangan sungkan melakukan latihan dan mengkaji hasil latihan sehingga dapat mengindentifikasi kesenjangan antara strategi yang disiapkan dan praktik di lapangan, tambah ZFRA.

Selanjutnya, lihat seberapa cepat dan bermanfaatnya peringatan bencana ketika disebarluaskan dengan telpon – baik lewat pesan teks atau pesan suara – juga radio, televisi, sirene dan pengeras suara, papan pengumuman di jalan-jalan, kode warga bendera atau lampu, hingga pengerahan para sukarelawan untuk mendatangi langsung setiap rumah dari pintu ke pintu.


Warga Libya Bayar Harga Sangat Mahal

Pihak otoritas Libya melaporkan sedikitnya 5.300 jiwa menjadi korban dalam bencana ini. (AP Photo/Yousef Murad)

Stephanie Williams, peneliti senior di Brookings Institution di Washington DC yang juga menjabat sebagai Penasihat Khusus PBB Untuk Libya mengatakan bencana yang terjadi minggu ini bukan hanya bencana akibat krisis iklim, tetapi juga konflik yang berlarut-larut.

“Konflik dan perpecahan yang terjadi selama bertahun-tahun berkelindan dengan penyimpangan administratif dan tata Kelola. Ini semua menyatu dan menciptakan situasi yang sangat dahsyat saat ini. Ketidakstabilan politik akan membuat banyak orang saling menyalahkan nanti,” jelasnya. 

Surat kabar Arab News milik pemerintah Arab Saudi mengatakan “kematian dan kehancuran yang mengejutkan di Libya akibat intensitas badai itu juga mengungkap kerentanan Libya setelah konflik panjang antara pemerintah yang berkuasa dan yang bersaing selama lebih dari satu dekade.”

Analis politik senior di International Crisis Group, Claudia Gazzini mengatakan kepada surat kabar New York Times bahwa “selama sepuluh tahun terakhir Libya diselimuti satu perang ke perang lain, dari satu krisis politik ke krisis politik lain. Ini berarti selama sepuluh tahun terakhir ini tidak banyak investasi pada infrastruktur negara.” 

Analis di Middle East Institute di Washington DC, Malak Eltaeb, mengatakan pada VOA bahwa konflik dan kerusuhan telah membuat layanan sosial menjadi sangat lemah dan upaya memelihara fasilitas yang ada – seperti bendungan – telah gagal. Tidak ada strategi mitigasi, sistem peringatan dini, atau rencana evakuasi.”

Sebagian besar korban tewas dan hilang dalam bencana banjir bandang di Libya berasal dari kota Derna, sekitar 900 kilometer timur Tripoli.

Infografis Journal Dunia Kepanasan, Akibat Perubahan Iklim Ekstrem?. (Liputan6.com/Tri Yasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya