Kata Pengamat Soal Tren Social Commerce yang Kian Populer di Indonesia

Menurut pengamat, perkembangan social commerce yang terus berkembang tidak lepas dari pengalaman berbelanja baru yang ditawarkan bagi konsumen.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 16 Sep 2023, 15:01 WIB
Workshop Jurnalis bertajuk "Dampak Social Commerce pada UMKM di Indonesia” yang digelar FORWAT. (Liputan6.com/Agustinus M. Damar)

Liputan6.com, Jakarta - Tren social commerce tidak dimungkiri tengah bertumbuh di Indonesia, terutama konten live shopping. Untuk diketahui, social commerce merupakan fenomena berbelanja online langsung melalui kanal media sosial.

Meski dianggap baru, praktisi pemasaran dan behavorial science, Ignatius Untung, tren social commerce ini sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Namun, bentuknya memang tidak seperti sekarang.

Menurut Untung, social commerce--seperti TikTok--kini menjadi ramai, karena menawarkan pengalaman yang berbeda. Ia menuturkan, media sosial seperti TikTok atau YouTube sebenarnya merupakan platform untuk konten hiburan.

Format ini berbeda dari Instagram atau Facebook yang dibentuk karena lingkaran pertemanan. Jadi, orang yang berkunjung ke aplikasi media sosial seperti TikTok atau YouTube memang awalnya mencari konten hiburan.

"Sebenarnya ini sama halnya ketika konsumen mengunjungi mal, di mana tidak seluruhnya ingin membeli sesuatu. Kebanyakan dari mereka mungkin awalnya ingin berjalan-jalan, tapi ketika melihat sesuatu jadi membeli," tuturnya dalam Workshop Jurnalis bertajuk "Dampak Social Commerce pada UMKM di Indonesia” yang digelar Forum Wartawan Teknologi (Forwat).

Hal ini berlaku pula di platform seperti TikTok. Untung menuturkan, awalnya banyak orang yang mungkin hanya ingin mencari konten hiburan, tapi ketika melihat sesuatu yang menarik, mereka ingin membelinya.

Terlebih, pengalaman belanja online di media sosial ini lebih memudahkan pengguna, karena mereka tidak perlu berganti aplikasi untuk melakukan transaksi.

Senada dengan Untung, Ketua Umum Indonesian Digital Emporwerment Community (IDIEC) M. Tesar Sandikapura mengatakan social commerce merupakan keniscayaan.

 

 


Tidak Lepas dari Gaya Hidup Generasi Muda

Ilustrasi belanja online/Freepik-snowing.

Ia menuturkan, salah satu pertumbuhan tren social commerce ini juga tidak lepas dari kebiasaan generasi muda saat ini. Menurutnya, generasi muda saat ini begitu erat dengan konsumsi konten di media sosial.

"Biasanya, mereka ini suka kontennya lebih dulu, baru kemudian membeli. Ini berbeda dari generasi saya yang mungkin kurang menyukai cara seperti itu. Namun, ini adalah inovasi," ujar Tesar melanjutkan.

Oleh sebab itu, ia menuturkan, apabila pemerintah ingin mengatur sistem ini diperlukan perbincangan lebih dulu dengan semua pemangku kepentingan. Baik dari pemilik platform hingga para penjual yang memanfaatkan fitur tersebut.

Hal ini perlu dilakukan agar bisa mencari titik tengah terkait persoalan social commerce. "Teknologi itu berubah cepat, tinggal bagaimana regulasi bisa melakukan mix and match agar bisa melindungi semua pihak," tuturnya.


Menteri Teten Tolak TikTok Jalankan Bisnis Media Sosial dan e-Commerce Barengan

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki melarang TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan. (Dok KemenkopUKM)

Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki menolak TikTok yang merupakan platform media sosial asal China menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia.

Penolakan yang dilakukan oleh Indonesia ini seiring dengan pelarangan yang dilakukan oleh beberapa negara lain seperti Amerika Serikat dan India.

"India dan Amerika Serikat berani menolak dan melarang TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan. Sementara, di Indonesia TikTok bisa menjalankan bisnis keduanya secara bersamaan," kata Menteri Teten dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (6/9/2023).

Meski begitu, TikTok tetap diperbolehkan untuk berjualan tapi tidak bisa disatukan dengan media sosial. Hal ini untuk mencegah praktik monopoli yang merugikan UMKM domestik.

"Dari riset, dari survei kita tahu orang belanja online itu dinavigasi, dipengaruhi perbincangan di media sosial. Belum lagi sistem pembayaran, logistiknya mereka pegang semua. Ini namanya monopoli," ucap Menteri Teten.

Selain perlunya mengatur tentang pemisahan bisnis media sosial dan e-commerce. Menteri Teten juga akan mengatur tentang cross border commerce agar UMKM dalam negeri bisa bersaing di pasar digital Indonesia.

(Dam/)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya