TikTok Kena Denda Rp 5,6 Triliun karena Kasus Pelanggaran Data Anak di Uni Eropa

Komisi Perlindungan Data Irlandia (DPC) memberikan denda besar kepada TikTok karena pelanggaran GDPR Uni Eropa terkait data anak-anak.

oleh M. Labib Fairuz Ibad diperbarui 17 Sep 2023, 16:00 WIB
Logo Tiktok

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Data Irlandia (DPC) mengenakan denda sebesar EUR 345 juta (sekitar Rp 5,6 triliun) kepada TikTok. Sanksi denda ini dikenakan karena TikTok dianggap melanggar Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) Uni Eropa terkait penanganan data anak-anak. 

Seperti yang diwartakan The Hacker News, Minggu (17/9/2023), investigasi ini dimulai pada September 2021 dan memeriksa bagaimana TikTok memproses data pribadi anak-anak yang berusia antara 13 hingga 17 tahun dalam periode 31 Juli sampai 31 Desember 2020.

Temuan utama dalam investigasi ini mencakup:

  • Secara default, konten yang diunggah oleh anak-anak akan masuk pada konten publik, sehingga membahayakan anak-anak dari risiko luar
  • Kurangnya transparansi informasi kepada pengguna anak
  • Penerapan pola gelap untuk mengarahkan pengguna memilih opsi menganggu privasi selama proses registrasi dan saat mengunggah video
  • Kelemahan dalam pengaturan Family Sharing yang memungkinkan pengguna dewasa untuk memasangkan akun mereka dengan akun anak di bawah umur.

Selain denda finansial, DPC telah memerintahkan TikTok untuk memperbaiki mekanisme pemrosesannya dalam waktu tiga bulan.

TikTok telah merespons dengan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keputusan tersebut dan mengklaim bahwa kritiknya berfokus pada fitur dan pengaturan yang sudah ada sejak tiga tahun lalu. 

Perusahaan juga berencana untuk meluncurkan alur pendaftaran ulang yang didesain ulang untuk pengguna baru berusia 16 dan 17 tahun, yang akan otomatis menjadi akun pribadi.

Perlu dicatat bahwa TikTok didenda sebelumnya oleh pengawas perlindungan data Prancis pada Januari 2023 karena pelanggaran aturan persetujuan cookie dan permasalahan dengan mekanisme opt-out.

Kasus ini mencerminkan peningkatan perhatian terhadap privasi data dan perlindungan anak-anak di dunia digital, serta upaya otoritas regulasi untuk memastikan bahwa perusahaan teknologi mematuhi peraturan dan menjaga privasi pengguna.


Project S TikTok Ancam UMKM Lokal, HIPMI Wanti-Wanti Ini ke Pemerintah

Kristiawan, pioner yang mencetuskan ide olahan kripik ‘So Kressh’.

Terlepas dari sanksi denda di Uni Eropa, TikTok juga tengah disorot di Indonesia. Kali ini terkait dengan serbuan produk impor via TikTok yang mengancam eksistensi produk UMKM.

Ketua Bidang UMKM Koperasi dan Kewirausahaan Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Tri Febrianto meminta Pemerintah Indonesia untuk memberikan perhatian serius dan memperkuat eksistensi UMKM dengan mewaspadai serbuan produk impor dari berbagai e-commerce. Salah satunya melalui platform digital TikTok dengan Project S.

Menurut Buyung panggilan Tri Febrianto Project S milik TikTok berpotensi menjadi tsunami besar bagi pertumbuhan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam negeri.

Lanjutnya HIPMI mendorong Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan untuk segera merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.50 Tahun 2020 untuk memperkuat ketentuan perizinan usaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui system elektronik.

“Revisi ini diharapkan segera dilakukan untuk melindungi UMKM di Tanah Air. pasalnya untuk saat ini perdagangan di ranah media sosial seperti ruang yang kosong (tanpa regulasi), ini yang kemudian memicu pihak TikTok bisa bertindak dengan seenaknya dengan menciptakan pertarungan usaha tidak seimbang dengan pelaku UMKM lokal”, ucapnya.


Bunuh UMKM Lokal

Ilustrasi e-commerce/Shutterstock-ESB Professional.

Masih soal TikTok, ia juga menyoroti dengan menjamurnya sosial e-commerce di Indonesia ini dikhawatirkan akan membunuh UMKM lokal. Banjirnya produk impor yang dijual reseller di TikTok Shop memiliki harga yang lebih rendah ketimbang produk buatan UMKM asli Indonesia. Sehingga produk-produk UMKM tak laku dijual.

“Sosial e-commerce hari ini menjadi mimpi buruk bagi para UMKM Lokal, karena yang berjualan melalui sosial e-Commerce telah menjelma menjadi predator pricing dimana para produsen di e-commerce memutus mata rantai penjualan yang sangat panjang ditambah lagi mereka menjual dengan harga yg lebih murah dari pesaing tujuannya untuk mematikan pesaingnya, ini sangat berbahaya”, pungkasnya.

Untuk diketahui, Project S merupakan platform e-commerce yang diluncurkan oleh perusahaan induk TikTok, ByteDance. Platform ini dilaporkan telah beroperasi di pasar Inggris pada 21 Juni 2023 kemarin.


TikTok Shop

TikTok Shop gelar program TikTok Shop For Your Fashion untuk dukung brand fashion lokal lebih maju. (Dok/Fimela.com/TikTok Shop).

Berbeda dengan TikTok Shop yang beroperasi sebagai platform penjualan online di mana para pedagang dapat memamerkan dan menjual produk mereka, Project S merupakan platform di mana perusahaan langsung menjual dagangannya sendiri.

Dalam penerapan Project S ini, para pemilik akun TikTok di Inggris dapat menggunakan fitur belanja baru dalam aplikasi TikTok mereka yang disebut Trendy Beat. Fitur ini menawarkan barang-barang yang populer, seperti alat untuk mengekstrak kotoran telinga atau menyikat bulu hewan dari pakaian.

Diberitakan semua barang yang diiklankan itu nantinya akan langsung dikirim dari China, dan dijual oleh perusahaan milik TikTok yang terdaftar di Singapura. Modelnya mirip dengan cara Amazon membuat dan mempromosikan sendiri rangkaian produk terlarisnya.


Infografis: Beragam Model Kejahatan Siber

Infografis Kejahatan Siber (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya