Liputan6.com, Jakarta Stabilitas makro ekonomi diperkirakan akan jadi fokus utama pemerintah hingga 2024 mendatang. Pasalnya, stabilitas makro ekonomi kerap diyakini jadi penentu terwujudnya stabilitas sosial dan politik, khususnya menyangkut kebijakan harga energi.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro memproyeksikan, kebijakan harga energi murah kemungkinan masih akan digunakan sebagai salah satu instrumen utama untuk mencapai stabilitas makro ekonomi sampai akhir 2023. Ia memprediksi itu bakal dilanjutkan untuk tahun anggaran 2024.
Advertisement
"Hal tersebut diantaranya tercermin dari asumsi volume BBM subsidi, volume LPG subsidi, dan nilai subsidi listrik pada APBN 2023 dan APBN 2024 yang justru tercatat lebih tinggi jika dibandingkan dengan asumsi APBN 2021 dan APBN 2022," jelas Komaidi dalam keterangan tertulis, Minggu (17/9/2023).
Untuk 2024 saja, alokasi subsidi pada energi murah jauh lebih tinggi dibanding 2023. Sebagai gambaran, asumsi volume BBM Solar subsidi mencapai 19 juta kiloliter di tahun depan, dibandingkan 17 juta kiloliter di 2023.
Sementara asumsi volume LPG subsidi yakni 8,03 juta metrik ton di 2024 berbanding 8 juta metrik ton di 2023. Lalu, subsidi listrik sebesar Rp 75,6 triliun di 2024 yang lebih tinggi dibanding 2023 sebesar Rp 72,3 triliun.
Kontribusi Harga Energi ke Inflasi
Menurut Komaidi, data dan informasi yang menyebutkan bahwa kontribusi energi sebagai salah satu komponen utama pembentuk inflasi di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir, kemungkinan akan semakin memperbesar peluang pemerintah untuk memberlakukan kebijakan harga energi murah di tahun anggaran 2023-2024.
"Berdasarkan laporan data sosial ekonomi, BBM disebut menjadi salah satu komoditas utama penyumbang inflasi. Untuk laporan data sosial ekonomi periode Agustus 2023 misalnya, bensin dilaporkan menjadi kontributor terbesar dalam pembentukan inflasi dibandingkan komoditas yang lainnya," paparnya.
Harga Energi Jadi Beban
Kendati demikian, Komaidi menilai kebijakan harga energi murah berpotensi jadi beban dan kontraproduktif terhadap perekonomian dalam jangka panjang. Sebab, biaya fiskal untuk mempertahankan kebijakan tersebut bakal menyedot anggaran, dan jadi beban perekonomian secara keseluruhan.
"Kebijakan harga energi murah dapat menjadi penyebab industri energi di dalam negeri tidak berkembang dan memicu terjadinya ketergantungan terhadap impor energi yang semakin besar. Dalam tingkatan tertentu, kondisi tersebut pada dasarnya telah terjadi pada Indonesia," kata Komaidi.
"Impor minyak mentah dan produk BBM Indonesia tercatat meningkat dari 169 juta barel pada tahun 2000 menjadi 279 juta barel pada 2022. Impor LPG juga tercatat meningkat dari 22 ribu ton pada tahun 2005 menjadi 6,73 juta ton pada tahun 2022," terangnya.
Di sisi lain, kebijakan harga energi murah juga dianggap jadi salah satu penyebab pengembangan infrastruktur energi dan pengusahaan energi baru terbarukan (EBT) di Tanah Air relatif stagnan. Kapasitas kilang Indonesia tercatat hanya bertambah dari 1,05 juta barel per hari pada 2006 menjadi 1,15 juta barel pada 2022. Pembangunan infrastruktur jaringan gas juga relatif lambat, beberapa diantaranya harus diintervensi pemerintah seperti pembangunan pipa gas Cirebon-Semarang (Cisem).
"Kebijakan harga energi murah juga menjadi penyebab pengembangan dan pengusahaan EBT, salah satunya panas bumi menjadi relatif lambat. Dengan sumber daya panas bumi yang dilaporkan sekitar 27.000 MW, kapasitas pembangkit listrik panas bumi Indonesia tercatat hanya bertambah dari 852 MW pada 2006 menjadi 2.360 MW pada 2022," imbuh Komaidi.
Advertisement
Subsidi Tepat Sasaran
Kata Komaidi, penerapan subsidi tepat sasaran dan langsung untuk kelompok tertentu bisa jadi solusi untuk menjaga stabilitas makro ekonomi, paralel dengan iklim investasi energi di Indonesia.
"Dengan kebijakan tersebut, ruang untuk dapat mendorong pengembangan dan pengusahaan sektor energi di dalam negeri melalui kebijakan harga energi yang lebih wajar dan pemberian insentif secara langsung, jika diperlukan dapat menjadi lebih terbuka," ujar Komaidi.
Ia menganggap rencana penyesuaian kebijakan subsidi saat ini dapat menjadi basis untuk penerapan subsidi tepat sasaran. Beberapa kebijakan dinilai perlu dilakukan modifikasi, semisal harga gas bumi tertentu (HGBT) menjadi pemberian insentif secara langsung kepada pelaku usaha.
"Kemudian, modifikasi rencana distribusi tertutup LPG 3 kg menjadi pemberian subsidi langsung pada penerima manfaat, dan modifikasi kebijakan subsidi/pembatasan BBM tertentu menjadi subsidi langsung kepada pengguna BBM. Hal itu karena modifikasi dari model kebijakan subsidi harga menjadi subsidi langsung kepada peneriman manfaat merupakan esensi dari penerapan kebijakan targeted/closed subsidi," tuturnya.