Liputan6.com, Jakarta - Umat Islam di dunia masih dalam suasana duka. Dua negara dengan populasi mayoritas muslim, Maroko dan Libya dilanda bencana alam dahsyat dan menimbulkan ribuan korban jiwa.
Dua pekan lalu, terjadi gempa Maroko. Belum lagi usai penangangan dilakukan, banjir menerjang Libya.
Umat Islam seluruh dunia mengirimkan bantuan untuk korban bencana alam di kedua negara tersebut. Mereka bersedekah untuk membantu saudara yang tengah ditimpa musibah.
Baca Juga
Advertisement
Ada satu pertanyaan yang kerap mengemuka, bolehkah zakat didistribusikan untuk korban bencana alam? Pertanyaan ini muncul karena ketersediaan zakat lebih stabil dibandingkan sedekah, infak, atau jariyah, yang lebih cenderung bersifat insidentil.
Untuk menjawab itu, perlu dibedakan terlebih dahulu antara penyaluran dana infak dan sedekah dengan dana zakat untuk korban bencana. Mengenai dana infak dan shadaqah yang disalurkan untuk korban bencana, tentunya tidak ada persoalan karena memang tidak ada dalil spesifik yang menentukan orang-orang atau golongan yang berhak menerimanya.
Lalu bagaimana dengan dana zakat yang secara spesifik telah ditentukan, yaitu: fakir, miskin, amil, muallaf, memerdekakan hamba sahaya, membebaskan orang yang berhutang, pada jalan Allah, dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagaimana firman-Nya: Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [QS. at-Taubah (9): 60]?
Simak Video Pilihan Ini:
Hukum Distribusi Zakat untuk Korban Bencana
Mengutip laman muhammadiyah.or.id, ayat di atas memang tidak secara spesifik menyebutkan korban bencana sebagai salah satu yang berhak menerima dana zakat. Namun demikian, melihat kondisi yang sedang dialami oleh korban bencana, tidak menutup kemungkinan mereka mendapatkan bagian dari dana zakat dengan menganalogikannya sebagai golongan fakir dan miskin, dengan dua pertimbangan:
Pertama, korban bencana berada dalam kondisi sangat membutuhkan, sebagaimana pengertian fakir dan miskin menurut jumhur ulama adalah orang-orang yang dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan.
Kedua, orang yang dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan ini diperbolehkan untuk meminta-minta, sebagaimana sabda Nabi saw:
“Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya dan Qutaibah bin Said, keduanya menceritakan dari Hammad bin Zaid. Yahya berkata: Hammad bin Zaid menceritakan pada kami dari Harun bin Riyab, Kinanah bin Nu’aim al-‘Adawiy dari Qobishah bin Muhariq al-Hilaly, ia berkata: Aku membawa beban berat, lalu mendatangi Rasulullah saw, lalu aku bertanya kepada Nabi saw tentangnya. Beliau menjawab: “Tinggallah kamu sampai shadaqah datang, lalu kami memberikannya padamu”. Kemudian Rasulullah saw bersabda: Ya Qabishah, sesungguhnya tidak boleh meminta-minta kecuali untuk tiga orang; seseorang yang membawa beban berat, maka halal baginya meminta-minta sampai memperolehnya kemudian menghentikannya; seseorang yang tertimpa bencana yang menghancurkan hartanya, halal baginya meminta-minta sampai mendapat makanan untuk hidup dan tegak kembali; dan seseorang yang tertimpa kemiskinan sehingga tiga orang dari kaumnya membenarkan bahwa dia tertimpa kemiskinan, maka halal baginya meminta-minta sampai mendapat makanan untuk hidup dan tegak kembali.
Adapun meminta-minta di luar itu haram ya Qabishah, makan dari hasilnya pun haram.” [HR. Muslim].
Dari keterangan di atas, kiranya sudah dapat difahami bahwa penyaluran dana Zakat untuk korban bencana dibolehkan dengan ketentuan diambilkan dari bagian fakir miskin, atau boleh juga dari bagian orang yang berhutang (gharimin), karena dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya, korban bencana harus berhutang. Dengan demikian bagian mustahiq yang lain tidak terabaikan, karena dapat disalurkan secara bersama-sama.
Tim Rembulan
Advertisement