Liputan6.com, Jakarta Stabilitas makro ekonomi diprediksi akan menjadi fokus utama pemerintah selama tahun anggaran 2023-2024. Berbagai kondisi terutama terkait dengan tahun politik berpotensi menjadikan stabilitas makro ekonomi sebagai prioritas utama pemerintah.
Pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, menjelaskan, beriringan dengan hal tersebut, kebijakan harga energi sering menjadi pilihan utama dalam mencapai stabilitas makro ekonomi.
Advertisement
Hal itu karena energi memiliki peran penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, terutama terkait aspekekonomi baik untuk kegiatan produksi, distribusi, maupun konsumsi.
Pihaknya memproyeksikan, kebijakan harga energi murah atau kebijakan harga energi yang diberlakukan seperti saat ini kemungkinan masih akan digunakan sebagai salah satu instrumen utama untuk mencapai stabilitas makro ekonomi sampai dengan akhir tahun anggaran 2023 bahkan dapat berlanjut untuk tahun anggaran 2024.
"Jika mencermati asumsi makro energi yang ditetapkan dalam APBN, kebijakan harga energi murah kemungkinan masih akan tetap dipertahankan untuk tahun anggaran 2023-2024," kata Komaidi dalam laporan ReforMiner: StabilitasMakroEkonomi dan KebijakanHargaEnergi di Indonesia, Senin (18/9/2023).
Menurutnya, hal tersebut diantaranya tercermin dari asumsi volume BBM subsidi, volume LPG subsidi, dan nilai subsidi listrik pada APBN 2023 dan APBN 2024 yang justru tercatat lebih tinggi jika dibandingkan dengan asumsi APBN 2021 dan APBN 2022.
Data dan informasi yang menyebutkan bahwa kontribusi energi sebagai salah satu komponen utama pembentuk inflasi di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir, kemungkinan akan semakin memperbesar peluang pemerintah untuk memberlakukan kebijakan harga energi murah di tahun anggaran 2023-2024.
"Berdasarkan laporan data sosial ekonomi, BBM disebut menjadi salah satu komoditas utama penyumbang inflasi," ujarnya.
Data Sosial Ekonomi
Sementara, untuk laporan data sosial ekonomi periode Agustus 2023 misalnya, bensin dilaporkan menjadi kontributor terbesar dalam pembentukan inflasi dibandingkan komoditas yang lainnya
Komaidi menilai meskipun kebijakan harga energi murah relatif positif untuk kepentingan stabilitas makro ekonomi dalam jangka pendek, kebijakan tersebut berpotensi menjadi beban dan kontraproduktif terhadap perekonomian dalam jangka panjang.
"Biaya fiskal dan biaya ekonomi yang diperlukan untuk dapat mempertahankan kebijakan harga energi murah di dalam jangka panjang cukup besar, dan berpotensi menjadi beban perekonomian secara keseluruhan," jelasnya.
Lebih lanjut, menurutnya, kebijakan harga energi murah dapat menjadi penyebab industri energi di dalam negeri tidak berkembang dan memicu terjadinya ketergantungan terhadap impor energi yang semakin besar.
Dalam tingkatan tertentu, kondisi tersebut pada dasarnya telah terjadi pada Indonesia. Impor minyak mentah dan produk BBM Indonesia tercatat meningkat dari 169 juta barel pada tahun 2000 menjadi 279 juta barel pada 2022 dan impor LPG juga tercatat meningkat dari 22 ribu ton pada tahun 2005 menjadi 6,73 juta ton pada tahun 2022.
Disisi lain, ia menilai kebijakan harga energi murah juga menjadi salah satu penyebab pengembangan infrastruktur energi dan pengusahaan EBT di dalam negeri relatif stagnan.
Advertisement
Kapasitas Kilang
Kapasitas kilang Indonesia tercatat hanya bertambah dari 1,05 juta barel per hari pada 2006 menjadi 1,15 juta barel pada 2022. Pembangunan infrastruktur jaringan gas juga relatif lambat dan beberapa diantaranya harus diintervensi pemerintah seperti pembangunan pipa gas Cirebon-Semarang (Cisem).
Tak hanya itu saja, kebijakan harga energi murah juga menjadi penyebab pengembangan dan pengusahaan EBT -salah satunya panas bumi- menjadi relatif lambat. Dengan sumber daya panas bumi yang dilaporkan sekitar 27.000 MW, kapasitas pembangkit listrik panas bumi Indonesia tercatat hanya bertambah dari 852 MW pada 2006 menjadi 2.360 MW pada 2022.
"ReforMiner menilai penerapan kebijakan subsidi yang diberlakukan secara targeted/closed subsidi dan kebijakan pemberian insentif langsung untuk kelompok tertentu dapat menjadi solusi untuk dapat menjaga stabilitas makro ekonomi dan secara paralel memperbaiki iklim investasi sektor energi di Indonesia," ujarnga.
Alhasil, dengan mekanisme kebijakan subsidi tertutup atau subsidi langsung, tujuan untuk mencapai stabilitas makro ekonomi tetap dapat dicapai dengan alokasi anggaran subsidi yang lebih terukur.
"Dengan kebijakan tersebut, ruang untuk dapat mendorong pengembangan dan pengusahaan sektor energi di dalam negeri melalui kebijakan harga energi yang lebih wajar dan pemberian insentif secara langsung jika diperlukan dapat menjadi lebih terbuka," pungkasnya.