Liputan6.com, Tripoli - Banjir besar yang melanda wilayah timur Libya pada 11 September 2023 telah menelan ribuan korban jiwa. Merujuk pada data World Health Organization (WHO), Minggu 17 September, setidaknya 3.958 orang tewas dan 9.000 orang dinyatakan masih hilang.
Runtuhnya dua bendungan menyebabkan sekitar 30 juta meter kubik air lepas ke Kota Derna, kota-kota lain juga terdampak. Hujan ekstrem yang setara dengan curah hujan selama setahun turun dalam waktu 24 jam menjadi penyebab utamanya.
Advertisement
World Meteorological Organization (WMO) yang berbasis di Jenewa, Swiss, mencatat bahwa banyak wilayah di Libya menerima antara 150 hingga 240 milimeter curah hujan. Kota Al-Bayda bahkan mencatat 414,1 milimeter dalam 24 jam, mencetak rekor tertinggi.
Secara rata-rata, Derna biasanya menerima 274 milimeter hujan dalam setahun menurut German Weather Service.
Dalam sebuah diskusi dengan Nature.com seperti dikutip dalam situsnya, Senin (18/9/2023), peneliti menyebutkan bahwa bencana ini semakin memburuk karena adanya kombinasi antara perubahan iklim dan akibat dari perang saudara yang berlangsung selama enam tahun di Libya, juga krisis pemerintahan yang menyertainya.
Mark Zeitoun, direktur jenderal dari pusat penelitian Geneva Water Hub, menyebut hal ini sebagai "kutukan antara perang dan cuaca."
Peningkatan Intensitas Badai Daniel
Para ahli banjir mengungkapkan bahwa terjadi curah hujan yang tidak biasa, dan perubahan iklim mungkin telah memperburuk situasi ini dengan menguatkan Badai Daniel, sebuah sistem cuaca bertekanan rendah yang muncul di atas Laut Mediterania sekitar tanggal 4 September.
Menurut informasi dari WMO, badai ini membuat tercetaknya rekor curah hujan di Yunani pada tanggal 5-6 September. Salah satu stasiun cuaca di desa Zagora, Yunani, melaporkan bahwa dalam kurun waktu 24 jam, turun hujan sebanyak 750 milimeter, yang menurut WMO dianggap setara dengan sekitar 18 bulan curah hujan.
Badai ini kemudian semakin menguat ketika bergerak di atas laut, menjadi apa yang dikenal sebagai Medicane oleh para meteorolog, yakni badai di wilayah Mediterania yang memiliki karakteristik mirip dengan badai tropis. Badai ini kemudian mendarat di Libya pada tanggal 10 September.
72 jam sebelum Badai Daniel mencapai Libya, Pusat Meteorologi Nasional di Tripoli telah mengirimkan peringatan serius kepada semua otoritas pemerintah dan mendorong tindakan pencegahan. Meskipun status darurat telah dinyatakan di wilayah timur Libya, namun tidak mempengaruhi efektivitas pelaksanaan upaya tanggap darurat.
Advertisement
Pandangan Para Ahli tentang Cuaca Ekstrem di Libya
Jasper Knight, seorang ahli geosains dari Universitas Witwatersrand di Johannesburg, Afrika Selatan, menyatakan bahwa curah hujan dan banjir ini adalah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya di Libya.
Meskipun pesisir Mediterania Libya cenderung hijau, karena dilindungi oleh Pegunungan Atlas di sebelah barat dari badai Atlantik, tetapi curah hujan seberat ini belum pernah terjadi dalam beberapa dekade terakhir.
"Ketika Anda pergi lebih jauh ke pedalaman, wilayahnya menjadi sangat kering dengan cepat. Saya bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali hujan meluas lebih jauh ke pedalaman,” ujar Jasper Knight.
Kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering dan parah adalah salah satu konsekuensi yang diamati dari perubahan iklim. Temuan ini telah terkonfirmasi dalam Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change tentang Perubahan Iklim.
Laporan tersebut mengindikasikan terdapat keyakinan tinggi bahwa frekuensi dan intensitas dari peristiwa hujan lebat telah meningkat sejak tahun 1950-an di sebagian besar wilayah daratan yang memiliki data observasional yang memadai untuk analisis tren.
Dalam laporan tersebut juga menambahkan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia kemungkinan merupakan pendorong utama dari peristiwa ini.
Walau tidak ada yang dapat memastikan dengan pasti apakah suatu peristiwa tertentu disebabkan atau memburuk akibat perubahan iklim, Günter Blöschl, seorang ahli hidrologi dari Vienna University of Technology, mengatakan bahwa studi atribusi dapat memperkirakan sejauh mana perubahan iklim mempengaruhi Badai Daniel.
"Sampai saat ini, tanpa analisis rinci, jawabannya adalah ya. Terdapat keterkaitan sebab-akibat yang cukup jelas,” ungkap Günter Blöschl.
Pengaruh Suhu Laut dan Jet Streams dalam Peningkatan Intensitas Badai Daniel di Laut Mediterania
Menurut Hayley Fowler, seorang peneliti yang mempelajari dampak perubahan iklim di Newcastle University di Inggris, ia setuju bahwa peningkatan intensitas tersebut berasal dari kenaikan suhu permukaan laut. Peningkatan suhu di permukaan laut menyuplai energi dan kelembaban ke dalam Badai Daniel, yang mengakibatkan peningkatan kecepatan angin dan jumlah curah hujan.
Menurut Álvaro Pimpão Silva, seorang ahli iklim di WMO, suhu permukaan laut tidak mencapai level yang sangat tinggi, namun mencapai di atas 26 °C.
Hal tersebut lebih dari cukup untuk memperkuat dan memicu badai semacam ini setelah terbentuk. Selain itu, di sekitar pesisir Libya, suhu permukaan laut bahkan mencapai di atas 27,5 °C.
Hayley Fowler menyebutkan bahwa faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah perubahan dalam jet streams, yaitu arus udara tinggi yang mempengaruhi pola cuaca. Badai Daniel tertahan di tempat selama beberapa hari oleh fenomena ‘blok omega’, di mana aliran jet membentuk pola yang menyerupai huruf omega dalam aksara Yunani.
Menurut Günter Blöschl, peristiwa pemblokiran semacam ini telah menjadi penyebab dari banyak peristiwa cuaca ekstrem di Eropa, termasuk banjir parah di Jerman pada bulan Juli 2021.
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa perubahan iklim sedang membuat kejadian pemblokiran terjadi lebih sering. Fowler menyatakan, "Tentu saja terjadi pergeseran pola dalam tiga atau empat tahun terakhir ini, khususnya dalam pola aliran jet yang tampaknya semakin berombak.”
Blöschl menyatakan bahwa belum dapat dipastikan apakah perubahan iklim sedang mempengaruhi kejadian pemblokiran. Meskipun sedang mempelajari hal tersebut, namun ia belum siap untuk mempublikasikan hasil penelitiannya, "Ini adalah kemungkinan, namun belum terbukti.”
Namun, hasil studi tahun 2020 yang dilakukan oleh Blöschl dan timnya menunjukkan bahwa Eropa memang lebih sering mengalami banjir. Dalam kurun 30 tahun terakhir, frekuensi banjir jauh melampaui periode 500 tahun sebelumnya.
Advertisement
Dampak Politik, Sosial, dan Infrastruktur Terhadap Parahnya Banjir di Libya
Terdapat konsensus bahwa situasi politik dan sosial di Libya turut berperan dalam keparahan bencana ini.
Libya sebelumnya dikuasai oleh pemimpin militer Muammar Gaddafi selama bertahun-tahun sebelum terjadinya Arab Spring. Setelah kejatuhannya pada tahun 2011, Libya terperosok dalam perang saudara dan dikenakan sanksi internasional pada tahun yang sama.
"Negara ini tengah kacau," ungkap Knight. Saat ini, Libya memiliki dua pemerintahan bersaing, satu di barat dan satu lagi di timur, dan ekonominya sedang berjuang.
Menurut Zeitoun, literatur tentang dampak perang terhadap infrastruktur menunjukkan bahwa jika suatu negara dikenai sanksi, pemeliharaan infrastruktur krusial tidak dapat dijaga. "Pada akhirnya, mereka akan mengalami kegagalan," ungkapnya kepada Nature.
Blöschl mengatakan bahwa infrastruktur yang buruk di Libya setidaknya sama pentingnya dengan cuaca ekstrem dalam menyebabkan kehancuran. Kemungkinan besar, bendungan di atas Derna tidak dibangun dengan standar tinggi dan tidak mendapatkan perawatan yang teratur.
"Kurangnya pemeliharaan adalah salah satu faktor yang turut menyumbang pada bencana ini,” ujar Blöschl.
Blöschl menekankan bahwa permasalahan ini melibatkan aspek infrastruktur sosial, termasuk tata kelola sistem pertahanan banjir. Penting untuk memiliki sistem peringatan yang dapat mencapai semua individu yang berpotensi terdampak, sementara mereka juga harus mendapatkan pelatihan mengenai cara merespons situasi darurat.
"Seringkali, latihan terkait banjir diabaikan, jika para pemimpin ingin memastikan kesiapan, maka latihan ini harus dilakukan secara teratur," tambah Blöschl.
Zeitoun menambahkan, "Jika negara telah lebih baik dalam hal rencana kesiapsiagaan dan tanggap darurat, mungkin tidak ada 5.000 orang yang kehilangan nyawa saat ini."