Investasi Asing Langsung di China Merosot 5 Persen, Asia Tenggara Jadi Perhatian

Kementerian Perdagangan China melaporkan investasi asing langsung atau FDI turun 5,1 persen menjadi 847,5 miliar yuan atau sekitar USD 117 miliar hingga Agustus 2023.

oleh Agustina Melani diperbarui 18 Sep 2023, 18:41 WIB
Investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) di China merosot lebih dari lima persen hingga Agustus 2023.(AP Photo/Mark Schiefelbein)

Liputan6.com, Jakarta - Investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) di China merosot lebih dari lima persen hingga Agustus 2023. Penurunan FDI itu di tengah upaya menarik modal asing.

Dikutip dari SCMP.com, ditulis Senin (18/9/2023), Kementerian Perdagangan menyebutkan FDI turun 5,1 persen menjadi 847,5 miliar yuan atau sekitar USD 117 miliar hingga Agustus 2023. Jumlah itu setara Rp 1.797 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat 15.365 terhadap rupiah). Kementerian Perdagangan menyebutkan, penurunan itu disebabkan oleh lambatnya pemulihan ekonomi global dan tingginya basis tahun lalu.

"Investasi asing adalah perilaku pasar, dan fluktuasi berkala adalah hal normal. Kita perlu melihat skala dan strukturnya serta kondisi saat ini, dan jangka panjang,” demikian dikutip dari rilis resmi.

Di sisi lain, FDI di sektor manufaktur naik 6,8 persen YoY hingga Agustus, dan di sektor manufaktur berteknologi tinggi naik 19,7 persen. Pejabat Kementerian Perdagangan menilai, kualitas investasi terus meningkat dengan melihat data itu.

Selama periode tersebut, 33.154 perusahaan yang masuk penanaman modal asing (PMA) didirikan di China, naik 33 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Angka itu mencerminkan kepercayaan investor asing terhadap investasi jangka panjang di China.

Beijing telah berulang kali berjanji untuk menarik investasi untuk meningkatkan pemulihan ekonomi setelah pandemi COVID-19. Akan tetapi, investasi asing justru semakin melirik Asia Tenggara.

Kelompok pelaku usaha di China juga telah menyampaikan kekhawatiran mengenai pembatasan aliran data lintas batas, undang-undang anti-spionase baru dan serangkaian investigasi terhadap konsultan Amerika Serikat yang menurut mereka telah merusak kepercayaan bisnis.

Pada kuartal II, kewajiban investasi langsung, ukuran alternatif untuk investasi asing baru di China anjlok hingga USD 4,9 miliar. Angka itu terendah sejak pencatatan dimulai pada awal 1998, menurut data neraca pembayaran yang dirilis the State Administration of Foreign Exchange.

 


Dampak Geopolitik

Seorang pekerja membersihkan pintu kaca toko barang mewah di sebuah pusat perbelanjaan di Beijing, China, Senin (6/3/2023). Pejabat ekonomi China menyatakan keyakinannya bahwa mereka dapat memenuhi target pertumbuhan tahun ini sekitar 5 persen dengan menghasilkan 12 juta pekerjaan baru dan mendorong pengeluaran konsumen setelah berakhirnya kontrol antivirus yang membuat jutaan orang tetap di rumah. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

“Ini bukan kejutan besar mengingat meningkatnya ketegangan geopolitik. Kami percaya pemisahan ini mungkin menjadi hambatan terbesar bagi pertumbuhan China pada masa depan,” demikian dalam catatan ekonom Nomura pada bulan lalu.

“Menurunnya FDI mungkin telah membebani sektor ekspor secara signifikan, karena ekspor perusahaan asing yang beroperasi di China menyumbang sekitar 30 persen dari total ekspor China,”

Proses ini tampaknya telah berdampak buruk pada ekspor China. Menurut data resmi bea cukai, ekspor dari produsen asing turun 15,5 persen year on year (YoY) dalam tujuh bulan.

“Pada masa lalu, dampak geopolitik lebih tertuju pada perekonomian masa depan, karena dampaknya terbatas terhadap kondisi ekonomi saat ini. Tapi tahun ini, semua orang sudah merasakan guncangannya,” ujar Ekonom Nomura, Lu Ting pada awal bulan ini.


Perekonomian China Loyo Dibanding AS, Ekonomi Indonesia Terancam?

Seorang pekerja berdiri di atas perancah lokasi konstruksi di sebuah pusat perbelanjaan, Beijing, China, Senin (6/3/2023). Pejabat ekonomi China menyatakan keyakinannya bahwa mereka dapat memenuhi target pertumbuhan tahun ini sekitar 5 persen dengan menghasilkan 12 juta pekerjaan baru dan mendorong pengeluaran konsumen setelah berakhirnya kontrol antivirus yang membuat jutaan orang tetap di rumah. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyampaikan kondisi ekonomi global khususnya dua negara adidaya yakni China dan Amerika Serikat yang menjadi mitra perdagangan utama Indonesia.

Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Erwindo Kolopaking, menyebut ekonomi China saat ini dalam kondisi yang loyo dibandingkan ekonomi Amerika Serikat yang masih cukup baik di tengah ketidakpastian.

"Ekonomi China ini tidak sebaik yang kita bayangkan," kata Erwindo dalam acara pelatihan wartawan BI di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Minggu (10/9/2023).

Erwindo mengatakan, padahal pelaku ekonomi sangat meyakini pada awal tahun ini akan ada stimulus-stimulus tambahan dari China. Namun, ternyata kondisinya kurang baik, hal itu dikarenakan masih terdapat utang di sektor rumah tangga yang tinggi serta konsumsi dan kinerja properti yang memburuk.

Menurutnya, jika dilihat beberapa tahun terakhir, kata Erwindo, sebetulnya China mendorong infrastruktur yang baik, mulai dari jaln maupun bangunan dan lainnya. Namun, ketika China mencoba mendorong ke sektor konsumsi hasilnya belum mampu sepenuhnya menopang perekonomian domestik.

 

 

 


Ekonomi Amerika Serikat

Ilustrasi wall street (Photo by Robb Miller on Unsplash)

Alhasil, saat perekonomian China melambat maka akan berdampak terhadap negara-negara sekitar, termasuk Indonesia. Sebab, China merupakan mitra dagang Indonesia.

"Sehingga ketika perekonomian China melambat ini berdampak signfikan kepada negara-negara sekitar salah satunya Indonesia," ujarnya.

Ekonomi Amerika Serikat

Sementara itu, ekonomi Amerika Serikat justru lebih baik dari perkiraan sebelumnya. Hal itu dikarenakan, stimulus yang diberikan pada saat masa pandemi Covid-19 membuat masyarakat memiliki bekal yang cukup banyak untuk menopang konsumsi. Hal itulah yang membuat inflasi di Amerika Serikat stabi di atas target The Fed.

"Akibatnya The Fed juga diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga yang tadinya di kuartal III tapi sepertinya akan diundur pada kuartal IV 2023. Ini juga akan mendorong ketidakpastian di pasar keuangan," kata Erwindo.

Lebih lanjut, dengan akan berkahirnya tahun fiskal Amerika Serikat pada kuartal III-2023, dinilai akan mendorong pasar keuangan sedikit bergejolak.

"Pada intinya pertumbuhan ekonomi terjaga, PMI globalnya juga relatif membaik, penjualan eceran global di AS juga masih tinggi karena memang sisi permintaan di Amerika sangat kuat," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya