Liputan6.com, Rabat - Kesengsaraan yang dialami warga Maroko usai mengalami bencana alam rupanya belum berakhir.
Usai gempa bumi dahsyat melanda Pegunungan Atlas pada 8 September 2023 lalu, pernikahan anak perempuan di bawah umur dan sejumlah bentuk eksploitasi lainnya rupanya tersebar secara online di sana, hingga membuat para aktivis dan organisasi hak perempuan waspada.
Advertisement
Dilansir Al Jazeera, Rabu (20/9/2023), sejumlah pria mengunggahnya di dunia maya dan mempromosikan pernikahan di bawah umur secara daring. Salah satu pria misalnya, yang disebut merupakan sukarelawan gempa, berfoto di samping anak perempuan yang usianya sekitar 10 tahun.
"Dia tidak mau ikut denganku ke (Casablanca) tapi dia berbisik bahwa kalau dia besar nanti kita akan menikah," tulis pria itu dalam caption Instagram story-nya dengan foto dirinya dan anak perempuan itu.
Sejumlah akun Facebook juga mengunggah tulisan dengan nada serupa, seraya mendorong para pria untuk menikahi anak perempuan yang masih belia.
"Mengapa Anda menikahi seseorang yang manja, yang masih ingin berpakaian terbuka dan ketat, menghabiskan banyak uang, membesarkan anak-anak Anda dengan tidak pantas," tulis postingan tersebut, yang mendesak para pria untuk menikahi "gadis yang tidak mau meminta apa pun"
Media lokal melaporkan bahwa setidaknya satu pria ditangkap minggu ini karena mempromosikan konten semacam itu. Ia merupakan seorang pelajar berusia 20 tahun dari kota Errachidia, yang menuliskan bahwa ia pergi ke daerah terkena gempa Maroko dengan tujuan melakukan pelecehan seksual terhadap gadis-gadis muda.
Jadi Sorotan Para Aktivis
Hal tersebut lantas menjadi perhatian para aktivis dan organisasi perempuan.
"(Pria-pria ini) telah menganjurkan untuk menikahi gadis-gadis ini, beberapa di antaranya membenarkan penafsiran agama (mereka). Bahkan jika mereka masih di bawah umur, kami akan menyelamatkan mereka (kata mereka)," ujar Yasmina Benslimane, seorang aktivis Maroko dan aktivis hak asasi manusia.
Keadaan ini juga membuat Benslimane dan organisasinya mendesak adanya respons bantuan yang peka gender terhadap gempa bumi.
"Kami tahu bahwa hal seperti itu akan terjadi, akan ada risiko kekerasan berbasis gender, akan ada risiko eksploitasi, dan inilah yang terjadi dengan kasus-kasus mengkhawatirkan yang kita lihat secara online," kata Benslimane.
Advertisement