Liputan6.com, Jakarta Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2024, Pemerintah menargetkan Pendapatan Negara sebesar 2,781,3 triliun dan Belanja Negara Rp 3,304,1 triliun.
Adapun defisit dan pembiayaan anggaran yang masing-masing ditargetkan atau Rp 522,8 triliun.
Advertisement
“APBN itu merupakan instrumen untuk menstimulasi ekonomi, menjawab berbagai tantangan - tantangan demografi, perubahan iklim, tantangan untuk mendorong produktivitas, daya saing, juga untuk mengawal agenda pembangunan agar tetap optimal dalam framework pengelolaan fiskal yang sehat,” ucap Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN) BKF Kemenkeu, Wahyu Utomo dalam diskusi Bedah APBN 2024 yang disiarkan secara daring pada Rabu (20/9/2023).
Target RAPBN 2024 Realistis
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menilai, RAPBN 2024 merupakan target yang cukup realistis, karena memlertimbangkan dinamika dan naik-turunnya perekomonian Indonesia di tahun depan.
"Angka-angka yang tercantum dalam RAPBN khususnya asumsi itu menurut saya cukup realistis. Memang pasti ada risiko, naik dan turunnya pasti terjadi. Tetapi kita menetapkan angka berapapun pasti ada diskusinya, pro kontranya (risiko)," tuturnya.
“Kalau untuk inflasi, khususnya nilai kurs dan ICP itu (merupakan) referensi, karena akan mempengaruhi baik di penerimaan maupun pengeluaran,” lanjut dia.
Seperti diketahui, Indonesia menargetkan laju inflasi di angka 2,8 persen untuk tahun 2024 dan nilai tukar Rupiah di kisaran Rp.15.000.
Terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditargetkan 5,2 persen untuk 2024, Piter mengungkapkan, angka tersebut merupakan angka yang realistis mengingat 2024 sebagai tahun politik Indonesia yang menandai mulainya proses transisi baru. “Menurut saya wajar saja angkanya dibuat konservatif. Karena kalau (ditarget) terlalu tinggi, dengan gejolak politik saat ini juga jadi tidak realistis,” ujarnya.
Tetap Optimis
Senada, Kepala Ekonom PermataBank Josua Pardede menilai bahwa, dari sisi makro, RAPBN 2024 mencerminkan optimisme Pemerintah.
“(RAPBN 2024) ini tentunya perlu ditangkap oleh masyarakat dan pelaku bisnis bahwa kita harus tetap optimis di tengah kondisi global yang tidak menentu,” kata Josua.
Menurutnya, target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen dan inflasi di 2,8 persen masih dapat tercapai meski Indonesia masih berjuang menangani inflasi pangan di tengah tren kenaikan harga beras, serta kondisi ekonomi di negara maju yang masih melambat.
“Juga yang perlu kita cermati risiko defiasi untuk harga ICP (patokan harga minyak mentah Indonesia) inikan buntut dari kebijakan OPEC yang membatasi produksi minyak global. Namun kita juga bisa melihat bahwa potensi ekonomi global yaitu Amerika dan China juga mengalami perlambatan,” papar Josua.
Berikutnya, terkait dengan lifting oil, di mana menunjukkan penurunan setiap tahunnya.
“Maka dari itu Pemerintah perlu mendorong investasi di hulu migas misalnya, agar produksi minyak (terjaga) sambil menjalankan transisi energi,” bebernya.
Advertisement
4 Tantangan Berat Indonesia Jadi Negara Maju di 2045
Sebelumnya, Indonesia kini berambisi untuk menjadi negara high income (berpendapatan tinggi) dan menjadi bagian 5 besar untuk ranking PDB terbesar di dunia serta menjadi negara maju di 2045 mendatang.
Namun, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN) BKF Kemenkeu, Wahyu Utomo mengungkapkan, ada beberapa tantangan dalam mewujudkan target Visi Indonesia Maju di 2045.
Tantangan itu salah satunya adalah tensi geopolitik, pandemi, perubahan iklim, dan digitalisasi.
Wahyu melihat, geopolitik merupakan sumber utama ketidakpastian yang akan bertahan dan meningkat dalam jangka menengah-panjang.
“Perang di Ukraina masih berlangsung, kemudian ada ketegangan Amerika-China. Dampaknya apa? rantai pasok terganggu, harga komoditas volatile, dan inflasi yang belum sepenuhnya normal,” ungkap Wahyu dalam diskusi Bedah APBN 2024 yang disiarkan secara daring pada Rabu (20/9/2023).
Kemudian ada Pandemi yang diperlukan untuk dilakukannya antisipasi penyebaran lanjutan atau munculnya wabah baru.
“Kita bisa belajar dari pandemi kemarin bahwa pandemi itu memang sebuah tragedi, tapi banyak sekali memberika pelajaran kepada kita. Kita harus siap ketika nanti (terjadi lagi) pandemi, misalnya menyiapkan sistem kesehatan yang lebih handal, yang adaptif, sistem sosial yang adaptif sekaligus pengelolaan fiskal yang fleksibel tapi responsif,” jelasnya.
Perubahan Iklim
Terkait perubahan iklim, Wahyu melihat, dampak dari perubahan iklim semakin terlihat dari bencana alam yang melanda berbagai negara di dunia, juga probabilitas terjadinya bencana yang semakin tinggi.
Wahyu menambahkan, “Tapi perubahan iklim ini juga membuka peluang di ekonomi. Kalau kita bisa menangkap peluang itu maka akan menjadi modalitas untuk mendorong pertumbuhan”.
Tantangan berikutnya, adalah digitalisasi ekonomi. Menurut Wahyu, hal itu menjadi tantangan sekaligus peluang jika Indonesia mampu membuat ekonomi lebih kompetitif di sektor tersebut.
Advertisement