Liputan6.com, Ciamis - Kabupaten Ciamis masih memegang teguh kerukunan antar umat beragama. Hal itu bisa dilihat di Dusun Susuru, Desa Kertajaya, Kecamatan Panawangan.
Wilayah Dusun Susuru dihuni oleh masyarakat dengan empat keyakinan berbeda, yaitu Islam, Katolik, Protestan, dan Penghayat. Perbedaan tersebut justru membuat masyarakat setempat memiliki toleransi tinggi dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi gambaran nyata tentang unity in diversity.
Mengutip dari dispar.ciamiskab.go.id, perkembangan agama di Dusun Susuru berawal dari ajaran Madrais. Ajaran ini dibawa oleh tokoh asal Dusun Susuru yang menimba ilmu di Padepokan Madrais, Kuningan. Ia menimba ilmu pada paruh pertama abad ke-20.
Baca Juga
Advertisement
Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian dari Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya, Akhmad Satori, pada 2012. Dalam penelitiannya, Akhmad Satori menyebutkan bahwa Madrais menjadi ajaran yang disebarkan di Dusun Susuru oleh salah satu tokoh tersebut. Ajaran Madrais ini juga dikenal dengan nama Agama Djawa Sunda (ADS).
Ajaran Madrais masuk ke Dusun Susuru yang awalnya dihuni umat beragama muslim. Selanjutnya, beberapa masyarakat pun mengikuti ajaran tersebut.
Baru pada 1960-an, pemerintah melarang perkembangan ADS dan memerintahkan para pengikutnya untuk memasuki agama apa pun sesuai pilihan mereka. Namun, beberapa umat agama yang merasa tidak cocok dengan keyakinannya kembali mendirikan ADS dengan nama Penghayat Kepercayaan atau Penghayat.
Dari sanalah lahir empat kepercayaan yang hingga kini diyakini masyarakat Dusun Susuru. Dalam keberagaman beragama, masyarakat Dusun Susuru tetap hidup rukun berdampingan dan saling gotong royong. Hal ini terus dijaga dan menjadi keunikan tersendiri di Dusun Susuru.
Rumah-tumah ibadah di dusun ini pun dibangun berhadap-hadapan dan hanya terpisah oleh jalan. Seperti halnya gereja yang bersebrangan dengan pesantren dan rumah ibadah Penghayat yang berhadapan dengan masjid.
Tidak hanya dari segi agama, masyarakat Dusun Susuru juga saling gotong royong dalam berbagai pembangunan, salah satunya pembangunan rumah ibadah. Masyarakat setempat juga tidak akan mengadakan kegiatan di hari yang sama dengan ritual agama tertentu.
Penulis: Resla Aknaita Chak